Medsos Diblokir, Ribuan Warga Myanmar Turun ke Jalan, Protes Kudeta Militer
Ribuan orang turun di jalan-jalan pada hari kedua di kota terbesar Myanmar pada Minggu, 7 Februari 2021, untuk memprotes penggulingan kekuasaan sipil dan penahanan oleh junta militer terhadap pemimpin terpilih Aung San Suu Kyi pekan lalu.
Dunia
JAKARTA – Ribuan orang turun di jalan-jalan pada hari kedua di kota terbesar Myanmar pada Minggu, 7 Februari 2021, untuk memprotes penggulingan kekuasaan sipil dan penahanan oleh junta militer terhadap pemimpin terpilih Aung San Suu Kyi pekan lalu.
Para pengunjuk rasa di Yangon membawa balon-balon merah “warna yang mewakili Liga Nasional Suu Kyi untuk Partai Demokrasi (NLD)” dan meneriakkan, “Kami tidak ingin kediktatoran militer! Kami ingin demokrasi!” dilansir Reuters.
Menjelang tengah hari, sekitar 100 orang juga berkumpul di kota pesisir Mawlamine di tenggara dan mahasiswa serta dokter berkumpul di kota Mandalay.
- Pemberdayaan Perempuan di Perusahaan Jepang Masih Alami Krisis Pada Tahun 2021
- Lebanon Bakal Cabut Subsidi BBM untuk Warganya
- Tandatangani Kontrak, David Guetta Resmi Bergabung dengan Warner Music
Sehari sebelumnya, ribuan orang turun ke jalan-jalan di Yangon untuk mengecam kudeta oleh militer serta menuntut pembebasan pemimpin terpilih, Aung San Suu Kyi.
Aksi itu merupakan demonstrasi pertama yang berlangsung di jalanan sejak para jenderal merebut kekuasaan pada Senin, 1 Februari 2021.
“Diktator militer, gagal, gagal; Demokrasi, menang, menang,” teriak para pengunjuk rasa.
Mereka mendesak militer membebaskan Suu Kyi sang peraih Nobel Perdamaian beserta para pemimpin Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinannya, yang telah ditahan sejak kudeta pada Senin.
“Melawan kediktatoran militer”, demikian tulisan di spanduk yang diusung oleh para peserta unjuk rasa. Banyak di antara mereka yang berpakaian warna merah khas NLD. Beberapa orang juga membawa bendera-bendera merah.
“Kami kehilangan kebebasan, keadilan, dan sangat membutuhkan demokrasi,” tulis seorang pengguna Twitter. “Tolong dengarkan suara Myanmar.”
Demonstrasi pada Sabtu merupakan tanda pertama kerusuhan jalanan di Myanmar, negara yang dalam sejarahnya diwarnai dengan serangkaian tindakan keras berdarah terhadap pengunjuk rasa.
Demonstrasi anti kudeta pada Sabtu juga berlangsung di Melbourne, Australia, serta Taipei, ibu kota Taiwan.
Blokir Media Sosial
Sebelumnya, gerakan pembangkangan sipil telah berkembang di Myanmar sepanjang minggu ini.
Gerakan itu ditandai dengan aksi mogok kerja, antara lain oleh para dokter dan guru. Juga setiap malam, selalu ada orang-orang yang memukul-mukul panci dan wajan untuk menunjukkan kemarahan.
Selain sekitar 150 penangkapan yang dilaporkan oleh kelompok hak asasi manusia pascakudeta Senin, media lokal melaporkan sekitar 30 orang telah ditahan karena protes yang berisik.
- 11 Bank Biayai Proyek Tol Serang-Panimbang Rp6 Triliun
- PTPP Hingga Mei 2021 Raih Kontrak Baru Rp6,7 Triliun
- Rilis Rapid Fire, MNC Studios Milik Hary Tanoe Gandeng Pengembang Game Korea
Junta Myanmar telah mencoba membungkam perbedaan pendapat dengan memblokir sementara Facebook, juga Twitter dan Instagram pada Sabtu dalam menghadapi gerakan protes yang berkembang.
Pihak berwenang memerintahkan penyedia layanan internet untuk tidak memberikan akses bagi Twitter dan Instagram “sampai pemberitahuan lebih lanjut”, kata perusahaan telepon seluler Norwegia Telenor Asa.
Permintaan untuk layanan VPN telah melonjak di Myanmar. Layanan tersebut memungkinkan segelintir orang masih bisa mengakses media sosial yang dilarang junta.
Namun, para pengguna VPN melaporkan gangguan pada layanan data seluler, yang diandalkan sebagian besar orang di negara berpenduduk 53 juta itu untuk mendapatkan berita dan berkomunikasi.
Sejak kudeta, Suu Kyi tidak terlihat di depan umum.
Pengacara Suu Kyi dan Presiden Win Myint, yang digulingkan, menyebutkan kedua kliennya itu ditahan di rumah mereka dan mengatakan ia tidak bisa menemui Suu Kyi dan Win Myint karena mereka masih diinterogasi.
Suu Kyi menghadapi dakwaan mengimpor enam walkie-talkie secara ilegal, sementara Win Myint dituduh melanggar pembatasan virus corona.
“Tentu saja, kami menginginkan pembebasan tanpa syarat karena mereka tidak melanggar hukum,” kata Khin Maung Zaw, pengacara veteran yang mewakili keduanya.
Suu Kyi, 75 tahun, pada masa lalu menghabiskan sekitar 15 tahun dalam tahanan rumah selama perjuangan melawan junta militer sebelum transisi demokrasi, yang bermasalah, dimulai pada 2011.
Kudeta militer di Myanmar itu dikecam para pemimpin dunia juga Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres. Mereka mendesak pemimpin militer Myanmar melepaskan kekuasaan yang direbutnya dan membebaskan para politisi.
Militer berargumentasi bahwa pemilihan umum yang dimenangkan Aung San Suu Kyi itu berlangsung tidak jujur. Militer juga mendakwa Suu Kyi melakukan tindakan melanggar hukum dengan mengimpor handy talky secara ilegal.
Dalam pidatonya yang menyinggung soal kudeta di Myanmar, Presiden AS Joe Biden antara lain mengatakan tidak pernah diragukan lagi bahwa dalam sistem pemerintahan demokrasi, militer tak boleh membatalkan hasil pemilihan umum. (SKO)