nuklir.jpg
Dunia

Melesat Tajam, Anggaran Nuklir Dunia Kalahkan Anggaran Pengentasan Kelaparan

  • Sulit dipercaya kondisi ini terjadi baru dua tahun berlalu sejak para pemimpin lima negara bersenjata nuklir terbesar bersama-sama menegaskan kembali bahwa perang nuklir tidak dapat dimenangkan dan tidak boleh dilakukan,

Dunia

Amirudin Zuhri

JAKARTA- Pengeluaran senjata nuklir di seluruh dunia meningkat sebesar US$10,8 miliar atau sekitar Rp177 triliun antara tahun 2022 hingga 2023. Dari peningkatan itu 80% datang dari Amerika Serikat.

Hal ini terungkap dari laporan  International Campaign to Abolish Nuclear Weapons yang dirilis Senin 17 Juni 2024.  ICAN adalah sebuah organisasi kampanye internasional untuk menghapuskan senjata nuklir. 

Peningkatan sebesar US$10,8 miliar ini menyebabkan pengeluaran global tahunan untuk senjata nuklir mencapai US$91,4 miliar. Atau sekitar Rp1.497 triliun (kurs Rp16.300). Dari tahun 2019 hingga 2023, US$387 miliar telah dihabiskan untuk senjata nuklir atau sekitar Rp6.340  triliun.

Sebagai perbandingan, Direktur Eksekutif Program Pangan Dunia pada 2021 menyatakan,  untuk mengakhiri kelaparan dunia, dunia membutuhkan US$40 miliar per tahun hingga tahun 2030.  Atau sekitar Rp655 triliun. Ini  berarti total US$360 miliar selama sembilan tahun. 

“Jumlah tersebut US$27 miliar lebih sedikit dibandingkan jumlah yang dihabiskan sembilan negara untuk persenjataan nuklir mereka hanya dalam waktu lima tahun,” tulis ICAN dalam laporannya. Sembilan negara tersebut adalah Amerika,  China, Rusia, Inggris, Prancis, India, Israel, Korea Utara dan Pakistan.

ICAN menunjuk sejumlah perusahaan senjata yang mengambil untung dari lonjakan pengeluaran untuk nuklir ini. Sebanyak 20 perusahaan teratas yang mengerjakan senjata nuklir memperoleh lebih dari US$31 miliar atau sekitar Rp507 triliun  dari pekerjaan mereka yang terkait dengan nuklir pada tahun 2023. Dan ada setidaknya US$335 miliar atau sekitar Rp5.488 triliun dalam anggaran  kontrak nuklir dengan perusahaan-perusahaan ini. Beberapa di antaranya berlanjut hingga lebih dari satu dekade.

“Honeywell International, Northrop Grumman, BAE Systems, Lockheed Martin, dan General Dynamics menduduki puncak daftar perusahaan yang mendapat untung dari pengeluaran senjata nuklir,” lanjut laporan itu.

Membanjirnya dana publik ke kontraktor swasta juga dibarengi dengan belanja besar-besaran yang dilakukan perusahaan-perusahaan tersebut. Ini sebagai upaya membentuk perdebatan seputar belanja pemerintah. Perusahaan-perusahaan tersebut menghabiskan US$118 juta untuk melobi pemerintah di Amerika dan Prancis pada tahun 2023. Dan menyumbangkan lebih dari US$6 juta kepada lembaga think tank yang meneliti dan menulis tentang senjata nuklir.

Lockheed Martin berkontribusi pada sebagian besar lembaga think tank. Mereka  termasuk: Atlantic Council, Brookings Institution, Chatham House, Center for a New American Security, Center for Strategic and International Studies, Hudson Institute, dan Observer Research Foundation.

Jumlah Hulu Ledak Turun

Peningkatan pengeluaran untuk senjata nuklir tidak sebanding dengan peningkatan jumlah absolut hulu ledak nuklir. Jumlah yang terus menurun sejak akhir Perang Dingin. Namun  jumlah senjata nuklir yang dikerahkan untuk digunakan dengan rudal dan pesawat terbang telah meningkat .

Direktur Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI)  Dan Smith mengatakan  jumlah hulu ledak nuklir secara global terus menurun. Ini  seiring dengan pembongkaran senjata era perang dingin secara bertahap. 

“Sayangnya kita terus melihat peningkatan dari tahun ke tahun dalam jumlah hulu ledak nuklir yang beroperasi,” katanya. Dia juga meyakini tren ini sepertinya akan terus berlanjut dan mungkin semakin cepat di tahun-tahun mendatang dan sangat mengkhawatirkan. 

SIPRI menunjuk pada ketegangan akibat perang Ukraina dan Gaza yang melemahkan diplomasi nuklir. Tahun lalu, Rusia menangguhkan partisipasinya dalam perjanjian terakhir yang membatasi kekuatan nuklir strategis Rusia dan Amerika. Sementara Washington menunda pembagian data senjata nuklirnya dengan Rusia sebagaimana diwajibkan dalam perjanjian tersebut.

SIPRI juga mengutip ancaman berulang-ulang Rusia dalam menggunakan senjata nuklir dan perang Israel-Hamas. Momentum yang membatalkan perjanjian informal antara Amerika dan Iran untuk mengurangi ketegangan. 

Konflik tersebut juga telah melemahkan upaya untuk melibatkan Israel dalam Konferensi Pembentukan Zona Timur Tengah yang Bebas Senjata Nuklir dan Senjata Pemusnah Massal Lainnya. “Hal ini telah berkontribusi pada melemahnya diplomasi senjata nuklir secara keseluruhan,” kata SIPRI dalam siaran persnya 18 Juni 2024.

Wilfred Wan, Direktur Program Senjata Pemusnah Massal SIPRI mengatakan pihaknya belum pernah melihat senjata nuklir memainkan peran penting dalam hubungan internasional sejak perang dingin.

“Sulit dipercaya kondisi ini terjadi baru dua tahun berlalu sejak para pemimpin lima negara bersenjata nuklir terbesar bersama-sama menegaskan kembali bahwa perang nuklir tidak dapat dimenangkan dan tidak boleh dilakukan,” katanya.