<p>Ilustrasi cukai rokok dan cukai hasil tembakau (CHT) / Shutterstock</p>
Industri

Melihat Kontribusi Cukai Rokok di Balik Tarik Ulur Kenaikan CHT

  • Kontribusi cukai rokok terhadap penerimaan negara sangat besar bahkan lebih besar dari dividen yang ditebarkan BUMN ke negara.
Industri
Daniel Deha

Daniel Deha

Author

JAKARTA -- Kenaikan cukai rokok merupakan salah satu proposal pemerintah untuk APBN 2022 yang paling bontot mencapai tahap finalisasi atau persetujuan di DPR. Masih ada tarik ulur kepentingan antara industri rokok versus politik kesehatan global.

Belakangan ramai percakapan di kalangan pelaku industri hasil tembakau (IHT) dan pemerintah mengenai rencana kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok tahun depan.

Diskursus yang mengemuka terbelah ke dalam dua front. Pelaku IHT menolak kenaikan tarif CHT menjadi lebih tinggi dari saat ini sebesar 12,5%. 

Sebaliknya, pemerintah bersiteguh menaikkan tarif CHT guna mengendalikan konsumsi rokok di kalangan anak-anak dan juga mengerek penerimaan negara yang keropos akibat terhantam pandemi.

Pemerintah cenderung didukung oleh sejumlah akademisi dan praktisi yang memang menganggap masa depan Indonesia bisa lebih baik tanpa rokok.

Dengan kedua pihak belum menemukan titik temu, perbincangan mengenai isu kenaikan CHT pun menjadi liar.

Ada sejumlah asosiasi yang menganggap kebijakan pemerintah ditunggangi antek asing yang ingin menggerus komoditas unggulan petani Indonesia tersebut.

Belum lagi, masuknya rokok-rokok ilegal asing di pasar domestik dinilai sangat mengganggu penjualan industri rokok. Disebutkan, dengan mengendalikan industri rokok domestik, pemerintah tampak membiarkan rokok ilegal beredar.

Perbincangan paling moderat kedua pihak yang tengah bersitegang ini barangkali berada di lingkaran isu bahwa pemerintah harus mampu mengakomodasi keluhan dan jeritan petani dan IHT yang terpukul akibat penurunan produktivitas.

Perlu diperjelas bahwa pajak rokok dan cukai rokok itu berbeda. Pajak rokok adalah pungutan atas cukai rokok. Sedangkan, cukai rokok merupakan pungutan oleh negara terhadap rokok dan produk tembakau lainnya, termasuk sigaret, cerutu, dan rokok daun.

Kebijakan Tarif Cukai Rokok

Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP-RTMM-SPSI) Sudarto (kanan) usai menyampaikan pernyataan sikap menolak kenaikan Cukai Hasil Tembakau (CHT) di Jakarta, Kamis, 2 September 2021. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia

Menurut catatan yang tersedia, Joko Widodo merupakan salah satu presiden yang paling banyak melakukan perubahan kebijakan tarif rokok.

Sejak menjabat pertama kalinya di tahun 2014, Jokowi sudah menaikkan tarif cukai rokok di atas 70%. Hampir tiap tahun Jokowi melakukan perubahan pengenaan cukai rokok.

Mula-mula, Jokowi menaikkan tarif cukai rokok sebesar 8,72% pada tahun 2015. Kemudian naik lagi menjadi 11,19% pada 2016. Di tiga tahun berikutnya, Jokowi memangkas tarif CHT masing-masing menjadi 10,04%.

Hingga awal 2020, Jokowi kembali menaikkan tarif CHT menjadi lebih tinggi yaitu 23%. Terakhir, tarif CHT diturunkan lagi menjadi 12,5% pada awal 2021, tetapi berencana menaikkannya lagi pada 2022.

Jauh sebelum Jokowi, sebetulnya kebijakan pengenaan cukai rokok ini sudah berlaku sejak Presiden pertama Indonesia Sukarno. Bahkan, jika mengulik lebih jauh ke belakang, cukai rokok sudah mulai berlaku sejak pemerintahan kolonial Belanda.

Aturan tersebut kemudian diadopsi oleh pemerintahan Indonesia di era kemerdekaan. Salah satunya tertuang dalam Staatsblad Nomor 234 Tahun 1949 tentang Ordonansi Cukai Tembakau. Aturan-aturan itu mengatur soal pita cukai, bea ekspor, dan bea masuk impor. Termasuk besaran jumlah yang diterima pemerintah dari pengutipan cukai rokok.

Menurut aturan ini pajak untuk rokok-rokok sigaret dan tembakau iris sebesar 60% dan untuk hasil-hasil lain yang dikenakan cukai tembakau 40% dari harga eceran.

Sukarno kemudian merevisi aturan warisan kolonial itu melalui Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1951 tentang Perubahan Peraturan Cukai Tembakau.

Peraturan ini mengatur penetapan besarnya pungutan cukai hasil tembakau, dengan cara melekatkan pita cukai warna-warni yang beragam di beberapa jenis atau penggolongan hasil tembakau yang diproduksi.

Menurut PP ini, cukai sigaret mesin dan tembakau iris 50% dan untuk rokok-rokok sigaret lain yang dibuat dengan mesin 40% dari harga eceran dan untuk hasil-hasil lain yang dikenakan cukai termasuk klobot dan serutu adalah 30% dari harga eceran.

Lima tahun kemudian, Sukarno menerbitkan Undang-undang Nomor 16 Tahun 1956 tentang Pengubahan dan Penambahan Ordonansi Cukai Tembakau (Staatsblad No. 517).

Beleid itu ditetapkan dengan tujuan mengurangi dampak makin banyaknya perusahaan rokok yang bangkrut, akibat tingginya cukai tembakau. Pemerintah termasuk menurunkan dan membebaskan cukai rokok.

Sejarah kebijakan kemudian berlanjut di rezim baru di bawah Presiden Soeharto. Namun sebetulnya Soeharto tidak memberi perhatian pada sektor ini. Buktinya, baru pada tahun 1995 dia menerbitkan UU Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai.

UU kemudian diatur dalam PP Nomor 24 Tahun 1996 tentang Pengenaan Sanksi Administrasi di Bidang Cukai, PP Nomor 25 Tahun 1996 tentang Izin Pengusaha Barang Kena Cukai, dan PP Nomor 55 Tahun 1996 tentang Penyidikan Tindak Pidana Bidang Kepabeanan dan Cukai.

Di masa Reformasi, pemerintah pertama kali mengeluarkan Undang-undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas UU Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai.

Seiring perkembangan, cukai hasil tembakau kini dimasukkan ke dalam perhitungan dana bagi hasil, antara pemerintah pusat dan daerah penghasil tembakau dalam apa yang disebut dana bagi hasil CHT (DBHCHT).

Di mana sebesar 50% akan digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya petani/buruh tani tembakau dan buruh rokok.

Dari alokasi ini, sebesar 35% akan diberikan melalui dukungan program pembinaan lingkungan sosial yang terdiri dari BLT kepada buruh tani tembakau dan buruh rokok, sebesar 5% untuk pelatihan profesi kepada buruh tani/buruh pabrik rokok termasuk bantuan modal usaha kepada buruh tani/buruh pabrik rokok yang akan beralih menjadi pengusaha UMKM.

Selain itu, sebesar 10% untuk dukungan melalui program peningkatan kualitas bahan baku. Sedangkan alokasi lainnya yaitu sebesar 25% adalah untuk mendukung program jaminan kesehatan nasional, dan 25% untuk mendukung penegakan hukum dalam bentuk program pembinaan industri, program sosialisasi ketentuan di bidang cukai, serta program pemberantasan Barang Kena Cukai ilegal.

Dalam kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah sebetulnya menimbulkan kontradiksi. Misalnya, pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ada PP Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. PP ini mengatur salah satunya soal bahaya merokok bagi anak.

Kemudian melahirkan PP No 39 Tahun 2014 tentang Daftar Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal yang menekan industri rokok nasional.

Berikut Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) No 64/MIND/PER/7/2014 tentang Pengawasan dan Pengendalian Usaha Industri Rokok.

Termasuk Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 205/PMK.011/2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 179/PMK.011/2012 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau serta PMK di tahun-tahun berikutnya.

Sebaliknya, pemerintah juga sekaligus mendorong pelaku industri meningkatkan produktivitas mereka karena rokok memiliki daya saing tinggi.

Untuk mendukung ekspor hasil tembakau, misalnya, pemerintah telah memberikan fasilitas berupa penundaan pembayaran pita cukai untuk penjualan lokal bagi perusahaan yang dominan melakukan ekspor dari normalnya 60 hari menjadi 90 hari, fasilitas Kawasan Berikat (KB), dan Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE).

Di sisi lain, menurut data Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), selama kurun waktu sembilan tahun sejak 2013-2021, terjadi tren penurunan produksi rokok, di mana terjadi penurunan sebanyak 3,56 miliar batang setiap tahunnya.

Pada 2020, produksi sigaret putih mesin (SKM) turun 47,6 miliar batang (17%), sedangkan penyerapannya turun 47.600 ton tembakau pada pabrik SKM.

Sampai Mei 2021, penurunan produksi SKM masih terjadi di kisaran negatif 7,5% dibandingkan dengan tahun 2020.

Diperkirakan, pada tahun ini produksi IHT turun 10% menjadi 297,53 miliar batang dibandingkan dengan 330,59 miliar batang tahun lalu.

Tren penurunan produktivitas industri rokok ini akan terus terjadi di masa depan. Salah satunya karena banyak pabrik rokok yang bangkrut.

Hal itu didorong pula oleh kebijakan Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang dalam 10 tahun terakhir telah mengurangi jumlah pabrik rokok.

Pada tahun 2016, jumlah pabrik rokok turun dari 4.669 pabrik menjadi 754 pabrik saja.

Kontribusi Cukai Rokok

Ilustrasi cukai rokok / Foto: Sanyangtaxconsultants.com

Pemerintah memiliki kepentingan dalam menaikkan tarif CHT tahun depan. Salah satu yang paling rasional adalah mengerek penerimaan negara.

Hal itu bisa terbaca dari kontribusi cukai rokok terhadap penerimaan negara. Di mana cukai rokok merupakan penyumbang tebesar pendapatan negara.

Kepala Subdirektorat Tarif Cukai dan Harga, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan, Akbar Harfianto baru-baru ini mengatakan, saat ini hampir 96% penerimaan cukai berasal dari CHT.

Karena itulah pemerintah terus mengembangkan atau memperluas ekstensifikasi cukai kelompok CHT dengan merujuk pada UU Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai.

Tahun depan, pemerintah menargetkan penerimaan cukai rokok sebesar Rp203,9 triliun termasuk dengan menaikkan tarif CHT lebih dari 12%.

Target tersebut melonjak 11,84 % terhadap outlook penerimaan cukai APBN 2021 senilai Rp182,2 triliun.

Melihat data dalam lima tahun terakhir, tergambar bahwa memang kontribusi cukai rokok terus meningkat. Tahun 2017, penerimaan cukai tercatat sebesar Rp153,3 triliun. Angkanya naik menjadi Rp159,5 triliun pada tahun 2018.

Pada tahun 2019, pemerintah mendapat setoran cukai sebesar Rp172,3 triliun. Tahun lalu, penerimaannya sedikit menurun menjadi Rp144,8 triliun.

Jauh ke belakang, gambaran peningkatan sumbangan cukai untuk negara makin jelas. Pada tahun 2011 misalnya, negara mendapat Rp77 triliun dari cukai rokok. Di tahun berikutnya bertambah menjadi Rp95 triliun.

Pendapatan meningkat lagi sampai Rp108,5 triliun di 2013. Pada 2014 menembus Rp118,1 triliun dan pada tahun 2015 mencapai Rp144,6 triliun.

Dalam sepuluh tahun terakhir, total cukai rokok yang disetor ke negara mencapai Rp1.316,6 triliun.

Melihat tren peningkatan cukai rokok, dapat diproyeksikan bahwa jumlahnya makin gemuk di masa depan.

Dibandingkan dengan cukai rokok, dividen yang disetorkan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ke negara justru lebih kecil. Tahun depan, misalnya, Menteri BUMN Erick Thohir menargetkan dividen sebesar Rp43 triliun.

Selama sepuluh tahun terakhir, dividen BUMN tidak pernah lebih dari Rp45 triliun. Tahun ini, Erick menargetkan pendapatan negara dari dividen sebesar Rp30 triliun saja.

Tahun lalu, jumlah setoran dividen ke kasa negara sebesar Rp44 triliun.

Dalam kurun waktu 2010, 2019, Kementerian Keuangan mencatat, BUMN dan badan usaha yang dikelola negar menyetorkan pendapatan ke negara dalam bentuk dividen sebesar Rp377,8 triliun. Dibandingkan dengan total cukai rokok, kontribusi dividen BUMN hampir empat kali lebih kecil.

Ironi Impor Tembakau

Ilustrasi perkebunan tembakau / Foto: Balittas.litbang.pertanian.go.id

Petani tembakau domestik sebetulnya terhimpit di antara kepentingan industri rokok dan pemerintah.

Di satu sisi, untuk menaikkan produktivitas rokok, IHT cenderung gemar mengimpor tembakau karena ketersediaan pasokan dalam negeri yang hanya sekitar 40%.

Dengan begitu harga tembakau domestik turun. Guna melindungi petani tembakau, pemerintah menaikkan bea masuk impor bahan baku tembakau menjadi 15%.

Di sisi lain, pemerintah menerapkan cukai tinggi atas hasil tembakau tersebut yang membuat pelaku usaha menjerit. Ada simbiosis mutualisme politik ekonomi dan perdagangan yang sulit terurai dalam jaringan bisnis rokok.

Indonesia sebetulnya memiliki tembakau Virginia yang saat ini mulai dikembangkan di beberapa daerah, seperti di Bali, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Barat (NTB) dengan total lahan seluas 43.674 hektar.

Namun, pada tahun 2019 produksinya hanya sekitar 58.261 ton. Sedangkan permintaan pabrik rokok untuk memproduksi sigaret kretek mesin (SKM) mild cukup besar. Lantas, impor tembakau menjadi pilihan industri.

Tren impor tembakau terus meningkat belakangan ini. Pada tahun 2017 tercatat sebanyak 119,54 ribu ton. Kemudian pada tahun 2018 sebanyak 121,39 ribu ton, tahun 2019 sebanyak 110,92 ribu ton. Jumlah impor cenderung di kisaran 110 ribu ton.

Pernah ada wacana agar tembakau impor akan dikenakan cukai sebesar 60% dari harga pasar, sedangkan rokok yang mengandung tembakau impor akan dikenakan biaya cukai tiga kali lipat dari harga dasarnya.

Namun kebijakan tersebut ditolak oleh pelaku industri rokok. Kebijakan itu dinilai akan mengikis produksi rokok karena kebutuhan industri akan pasokan tembakau tidak terpenuhi.

Pada akhirnya, persoalan pertembakauan di Indonesia memang masih sangat dinamis. Yang perlu dilakukan adalah mengeksekusi aturan pada momen yang tepat dan memiliki dampak ekonomi terhadap masyarakat.

Kenaikan cukai rokok di momentum pandemi seperti ini bagi pelaku usaha rokok tidaklah adil lantaran sudah terpukul akibat pandemi.

Bila hal itu terjadi maka akan terjadi ledakan harga rokok di pasaran, atau jika perusahaan tetap mempertahakan harga saat ini, maka terjadi penyusutan jumlah batang rokok.*