Melihat Tantangan Perbankan dalam Menyalurkan Kredit ke EBT
- Pertama, risiko proyek menjadi salah satu tantangan utama. Investasi dalam proyek EBT seringkali melibatkan risiko yang lebih tinggi dibandingkan dengan proyek-proyek konvensional.
Perbankan
JAKARTA - Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Dian Ediana Rae, memberikan gambaran tentang tantangan penyaluran kredit hijau ke sektor Energi Baru Terbarukan (EBT) di sektor perbankan.
Dalam menjawab pertanyaan terkait nominal kredit yang sudah disalurkan ke sektor EBT pada tahun 2023, Dian menyatakan bahwa data tersebut masih dalam tahap pengumpulan dan validasi. Oleh karena itu, rincian lebih lanjut mengenai nominal kredit yang disalurkan ke EBT masih dalam proses kompilasi.
Terkait dengan tantangan dalam menyalurkan kredit ke EBT, Dian mengidentifikasi beberapa aspek yang mungkin dihadapi oleh industri perbankan.
- Cara Mendaftar Kartu Kredit di BCA
- Kenapa Platina Sering Digunakan untuk Menyambung Tulang Manusia?
- Inilah 10 Bank Syariah Terbesar di Dunia pada Tahun 2023
Pertama, risiko proyek menjadi salah satu tantangan utama. Investasi dalam proyek EBT seringkali melibatkan risiko yang lebih tinggi dibandingkan dengan proyek-proyek konvensional.
Faktor-faktor seperti ketidakpastian persediaan bahan tambang dan risiko bencana alam dapat meningkatkan risiko proyek secara signifikan.
Kedua, kurangnya data dan pengalaman menjadi hal yang perlu diatasi. Data yang terkait dengan EBT masih terbatas, dan industri perbankan masih memerlukan lebih banyak pengalaman dalam menilai risiko kredit yang terkait dengan proyek EBT.
“Saat ini OJK terus berupaya mendorong industri perbankan untuk secara bertahap mulai mengatasi tantangan tersebut melalui penyelenggaraan capacity building untuk peningkatan pemahaman perbankan tentang risiko pembiayaan pada proyek EBT,” kata Dian melalui jawaban tertulis, Senin, 26 Februari 2024.
Tantangan ketiga yang dihadapi oleh industri perbankan adalah pembiayaan jangka panjang. Proyek-proyek EBT memerlukan pembiayaan dengan tenor yang cukup panjang, dan tidak semua bank memiliki likuiditas yang sesuai untuk memberikan kredit dengan tenor jangka panjang.
Oleh karena itu, OJK terus mendorong industri perbankan untuk mengatasi tantangan ini agar lebih aktif dalam menyalurkan kredit ke sektor EBT, yang pada akhirnya akan mempercepat transisi menuju energi bersih dan berkelanjutan.
Potensi Macet Kredit EBT
Dalam konteks potensi macet kredit EBT, Diang memberikan gambaran mengenai langkah-langkah antisipatif yang telah diambil oleh regulator.
Pertama, pemantauan dan pengawasan menjadi kunci. OJK secara ketat memonitor penyaluran kredit oleh perbankan kepada industri EBT untuk mendeteksi potensi masalah sejak dini. Hal ini melibatkan evaluasi portofolio kredit, analisis risiko, dan pemantauan rasio keuangan perbankan.
Kedua, penerapan kebijakan prudensial juga menjadi langkah antisipatif. OJK menerapkan kebijakan sesuai dengan praktik terbaik internasional untuk memastikan bahwa bank-bank memiliki modal yang cukup untuk menanggulangi risiko kredit, termasuk penyaluran kredit ke sektor EBT. Kebijakan ini bisa mencakup persyaratan modal minimum dan pelaksanaan uji ketahanan (stress test).
Langkah ketiga yang diambil adalah edukasi dan komunikasi. Regulator aktif dalam memberikan edukasi dan komunikasi kepada masyarakat, investor, dan pelaku industri terkait kebijakan, perkembangan, serta langkah-langkah yang diambil untuk menjaga stabilitas sektor EBT dan perbankan.
- Digempur Boikot, Saham Unilever (UNVR) Peroleh Rekomendasi Overweight
- IHSG Masih Rawan Koreksi, Saham EXCL, GOTO, HMSP, dan PTRO Menarik Disimak
- PGN (PGAS) Anggarkan Rp3,54 Triliun Untuk Bangun Jargas, Bagaimana Prospek Sahamnya?
Dengan langkah-langkah antisipatif ini, OJK berharap dapat mengurangi potensi risiko dan memastikan keberlanjutan penyaluran kredit ke sektor EBT.
Regulator percaya bahwa melalui pemantauan yang cermat, kebijakan prudensial yang tepat, dan komunikasi yang efektif, kepercayaan investor dapat tetap terjaga, sehingga sektor EBT dapat terus berkembang secara berkelanjutan.
Tren Kredit Hijau
Dalam rangka mempromosikan keberlanjutan dan memitigasi dampak perubahan iklim, perbankan telah memainkan peran penting dengan meningkatkan penyaluran kredit hijau.
Pada tahun 2019, porsi kredit berkelanjutan masih sebesar Rp927 triliun atau 19,78% dari total kredit. Namun, sejak itu, terjadi peningkatan yang signifikan. Pada tahun 2022, total penyaluran kredit dan pembiayaan mencapai Rp1.571 triliun atau 30,22% dari total kredit industri.
Lebih lanjut, Diang menjelaskan bahwa berdasarkan laporan implementasi Rencana Aksi Keuangan Berkelanjutan (RAKB) pada Desember 2022, penyaluran pembiayaan berkelanjutan ke Kegiatan Usaha Energi Terbarukan (EBT) mencapai Rp42,6 triliun.
Meskipun angka ini hanya sekitar 2,81% dari total penyaluran pembiayaan bank kepada Kegiatan Usaha Berkelanjutan (KUBL), OJK optimis bahwa tren penyaluran kredit/pembiayaan berkelanjutan akan terus meningkat seiring pertumbuhan total kredit industri yang mencapai lebih dari 10% year-on-year (yoy).