logo
Ilustrasi bank syariah.
Perbankan

Memahami Lapkeu Bank Konvensional dan Syariah: Indikator Kesehatan dan Perbedaan

  • Salah satu perbedaan utama antara perbankan konvensional dan syariah adalah sistem akad yang digunakan dalam transaksi. Bank syariah tidak memberikan pinjaman secara langsung, tetapi menggunakan skema jual beli atau sewa-menyewa.

Perbankan

Idham Nur Indrajaya

JAKARTA – Memahami laporan keuangan perbankan merupakan keterampilan penting, baik bagi masyarakat umum maupun jurnalis ekonomi. Dalam acara "Media Gathering dan Pelatihan Jurnalistik: Cara Membaca Laporan Keuangan Publikasi", Hasrul Abdurahman, Financial Planning & Accounting Division Head Bank Mega Syariah, menjelaskan berbagai aspek penting dalam membaca laporan keuangan bank, termasuk perbedaan antara perbankan konvensional dan syariah.

Risiko Likuiditas dalam Perbankan

Likuiditas merupakan faktor krusial dalam stabilitas perbankan. Menurut Hasrul, besarnya dana yang dihimpun oleh suatu bank tidak selalu mencerminkan kekuatan finansialnya. Salah satu contohnya adalah deposito yang dapat dicairkan kapan saja oleh pemiliknya, yang dapat memengaruhi kondisi likuiditas bank.

“Kalau deposito besar, bukan berarti bank itu kuat. Ada risiko likuiditas yang harus diperhitungkan. Bahkan deposito bisa dicairkan sebelum jatuh tempo jika nasabah membutuhkan dan terjadi negosiasi,” jelas Hasrul di Menara Mega Syariah, Jakarta, Kamis, 6 Februari 2025. 

Bank yang memiliki proporsi dana murah yang lebih tinggi, seperti tabungan dan giro, cenderung lebih stabil dibandingkan bank yang terlalu bergantung pada deposito besar dengan bunga tinggi.

CASA Ratio: Indikator Kesehatan Bank

Salah satu cara menilai kesehatan bank adalah dengan melihat rasio giro dan tabungan terhadap total dana pihak ketiga atau yang dikenal dengan Current Account - Savings Account Ratio (CASA Ratio).

“Rumusnya sederhana: giro dan tabungan dibagi total dana pihak ketiga (giro + tabungan + deposito),” paparnya.

Jika CASA Ratio suatu bank di bawah 20%, maka bank tersebut lebih bergantung pada dana mahal seperti deposito. Sebaliknya, jika rasio ini di atas 30%, maka bank lebih stabil karena memiliki proporsi dana murah yang lebih besar.

Pembiayaan Tumbuh Kencang, Bukan Berarti Performa Positif

Hasrul menyampaikan bahwa salah satu variabel yang kerap disoroti dari perbankan adalah kinerja penyaluran kredit atau pembiayaan. Akan tetapi, bukan berarti penyaluran pembiayaan yang terus tumbuh tinggi lantas menjadi acuan kinerja yang positif. 

Menurut Hasrul, semakin tinggi pembiayaan yang disalurkan, maka risiko likuiditas pun semakin tinggi. Dengan derasnya penyaluran pembiayaan, maka potensi untuk kenaikan kredit bermasalah pun semakin tinggi dan dapat berdampak kepada tergerusnya DPK. Oleh karena itu, penyaluran pembiayaanyang tumbuh pesat dikatakan Hasrul harus disertai dengan penghimpunan dana yang tumbuh positif. 

Hasrul mengatakan, adakalanya bank terpaksa harus berutang untuk menyalurkan pembiayaan. Ia memberikan contoh, misalnya ada bank A mendapatkan permintaan pembiayaan sebesar Rp10 triliun, sedangkan dana yang bank A miliki hanya sebesar Rp2 triliun. 

Untuk bisa memenuhi permintaan pembiayaan tersebut, bank terkadang harus berutang ke bank lain dengan menggunakan skema pembiayaan antarbank. Untuk segmen syariah, utang ini ditandai dengan Sertifikat Investasi Mudarabah Antarbank (SIMA). Jumlah utang kepada bank lain pun dikatakan Hasrul sebagai salah satu aspek yang perlu disoroti dalam menilai kesehatan suatu bank. 

Baca Juga: Nominal Transaksi Digital Mega Syariah Naik Double Digit selama Libur Akhir Tahun

Struktur Laporan Keuangan Perbankan

Laporan keuangan bank terdiri dari tiga bagian utama:

  1. Neraca (Balance Sheet) – Menunjukkan posisi keuangan bank, dengan aktiva di bagian atas dan pasiva di bagian bawah.
  2. Laporan Laba Rugi (Profit & Loss Statement) – Menampilkan pendapatan operasional, biaya operasional, serta laba atau rugi bank.
  3. Laporan Off-Balance Sheet – Berisi komitmen dan kontinjensi yang tidak tercermin dalam neraca.

Perbedaan Perbankan Konvensional dan Syariah

Salah satu perbedaan utama antara perbankan konvensional dan syariah adalah sistem akad yang digunakan dalam transaksi. Bank syariah tidak memberikan pinjaman secara langsung, tetapi menggunakan skema jual beli atau sewa-menyewa.

“Misalnya, dalam akad ijarah, jika seseorang ingin membeli rumah, bank syariah akan membeli rumah tersebut terlebih dahulu, lalu menyewakannya kepada nasabah hingga lunas. Berbeda dengan bank konvensional yang langsung memberikan pinjaman uang,” jelas Hasrul.

Wadiah vs. Mudarabah dalam Perbankan Syariah

Dalam penghimpunan dana, perbankan syariah menggunakan dua skema utama: Wadiah dan Mudarabah.

1. Wadiah: Akad Titipan

Wadiah adalah akad di mana nasabah hanya menitipkan uangnya kepada bank tanpa adanya kewajiban bagi hasil. Bank tidak diperbolehkan memberikan keuntungan kepada nasabah dalam bentuk bunga atau margin.

“Bank tidak boleh memberikan bagi hasil ke nasabah yang menggunakan produk Wadiah. Dana yang dititipkan tidak dapat dikelola oleh bank dan hanya bersifat penyimpanan,” jelas Hasrul.

Produk Wadiah umumnya digunakan untuk tabungan haji dan umrah. Selain itu, nasabah tidak dikenakan biaya administrasi dalam skema ini.

2. Mudarabah: Akad Investasi

Mudarabah adalah akad investasi di mana bank bertindak sebagai pengelola dana (mudharib) dan nasabah sebagai pemilik dana (shahibul maal). Dalam skema ini, dana yang disetorkan nasabah dapat digunakan untuk kegiatan bisnis, dengan pembagian keuntungan sesuai nisbah yang telah disepakati.

“Kalau Mudarabah, dana yang disimpan oleh nasabah bisa dikelola oleh bank untuk menghasilkan keuntungan, dan bank bisa memberikan bagi hasil kepada nasabah,” kata Hasrul.

Bank syariah lebih banyak menawarkan produk berbasis Mudarabah karena memberikan fleksibilitas dalam mengelola dana. Namun, untuk produk tertentu seperti tabungan haji, Wadiah tetap menjadi pilihan karena sifatnya sebagai titipan murni.

Rasio Keuangan sebagai Kunci Penilaian Perusahaan

Dalam menilai kesehatan keuangan perusahaan, rasio keuangan menjadi alat utama. Beberapa rasio penting yang perlu diperhatikan adalah:

  1. Rasio Likuiditas – Mengukur kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya.
  2. Return on Asset (ROA) – Menunjukkan seberapa efisien perusahaan dalam menggunakan asetnya untuk menghasilkan laba.
  3. Return on Equity (ROE) – Menggambarkan keuntungan yang diperoleh dari modal yang dimiliki perusahaan.
  4. Return on Investment (ROI) – Mengukur laba yang diperoleh berdasarkan modal yang diinvestasikan.

Pentingnya ROA dan ROE dalam Menilai Efisiensi Perusahaan

Hasrul memberikan contoh perbandingan dua perusahaan:

  • Perusahaan A memiliki laba bersih Rp300 miliar dengan total aset Rp1 triliun.
  • Perusahaan B memiliki laba Rp10 miliar dari aset Rp20 miliar.

Meskipun Perusahaan A memiliki laba lebih besar, Perusahaan B lebih efisien karena memiliki ROA yang lebih tinggi.

Selain itu, Hasrul mencontohkan perusahaan berbasis teknologi seperti Gojek yang mampu menghasilkan pendapatan besar meskipun asetnya tidak terlalu besar. “Gojek tidak memiliki kendaraan sendiri, tetapi mereka mengandalkan mitra pengemudi. Itu adalah contoh bagaimana perusahaan bisa efisien dalam memanfaatkan aset,” jelasnya.

Kesimpulan

Memahami laporan keuangan perbankan dan rasio keuangan sangat penting dalam menilai kesehatan sebuah bank atau perusahaan. Masyarakat perlu memperhatikan tidak hanya pertumbuhan laba, tetapi juga efisiensi dalam penggunaan aset dan modal.

“Kalau laba naik 20%, jangan langsung percaya bahwa perusahaan itu sehat. Lihat dulu ROA dan ROE-nya,” tegas Hasrul.

Dengan memahami konsep seperti likuiditas, CASA Ratio, Wadiah, dan Mudarabah, masyarakat dapat lebih cermat dalam memilih produk keuangan yang sesuai dengan kebutuhan mereka serta menilai kinerja perbankan secara lebih objektif.