
Membongkar Jejak Benny Tjokro dan Konglomerat Dato Sri Tahir di Tanah Maja
Sejauh mana relasi antara Benny Tjokrosaputro (Bentjok) dengan konglomerat Dato Sri Tahir dalam bisnis properti, terutama terkait kepemilikan dan pengelolaan lahan di Maja, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten?
Kolom
Sejauh mana relasi antara Benny Tjokrosaputro (Bentjok) dengan konglomerat Dato Sri Tahir dalam bisnis properti, terutama terkait kepemilikan dan pengelolaan lahan di Maja, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten?
Kawasan Maja sebenarnya sudah menjadi rencana pengembangan oleh Kementerian Perumahan Rakyat sejak 1994. Sempat tersendat, dan mulai serius lagi digarap sejak Pemerintahan Presiden Joko Widodo. Pada masa Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Maja sempat menggeliat, namun terhenti karena didera sejumlah krisis.
Dinamika pembangunan Kota Raya Maja sekaligus mengundang perburuan tanah Maja yang sesungguhnya sudah berlangsung cukup lama, minimal sejak 1994 atau awal 1990-an. Hanya saja kita tidak memiliki data yang detil, developer mana saja yang memiki land bank di calon kota baru tersebut.
- 11 Bank Biayai Proyek Tol Serang-Panimbang Rp6 Triliun
- PTPP Hingga Mei 2021 Raih Kontrak Baru Rp6,7 Triliun
- Rilis Rapid Fire, MNC Studios Milik Hary Tanoe Gandeng Pengembang Game Korea
- Anies Baswedan Tunggu Titah Jokowi untuk Tarik Rem Darurat hingga Lockdown
- IPO Akhir Juni 2021, Era Graharealty Dapat Kode Saham IPAC
Yang pasti, sejak rencana nasional pengembangan Kota Raya Maja tersebut digemakan lagi, muncul sejumlah nama di pentas pemberitaan media, terutama beberapa perusahan publik yang memang diharuskan untuk membuka dan mempublikasi semua kegiatan bisnis dan transaksinya secara transparan.
Selain pemberitaan, kita juga bisa melacaknya dari dokumen-dokumen publik penting seperti prospektus dan laporan keuangan perusahaan publik atau emiten tersebut serta pengumuman-pengumuman penting yang disampaikan emiten yang bersangkutan kepada Bursa Efek Indonesia.
Karena cuma ingin menyimak soal relasi dua konglomerat itu (Bentjok dan Dato Tahir) di Maja, maka mininal dokumen tiga perusahaan berikut yang menjadi perhatian, yakni PT Maha Properti milik Dato Sri Tahir, dan dua perusahaan publik miliki Bentjok, yakni PT Hanson International Tbk (MYRX) dan PT Armidian Karyatama.

Konglomerat pemilik Grup Mayapada, Dato Sri Tahir saat dilantik sebagai Dewan Pertimbangan Presiden Joko Widodo. / Foto: Setpres
Awal Mula
Sebagai catatan, perusahaan properti milik Tahir dimulai pada tahun 2004 dengan nama PT Agro Mulia Investama. Pada 2011 berubah nama menjadi PT Propertindo Mulia Investama, dan menjadi PT Maha Properti Indonesia (PMI) pada 2019.
Pemegang saham terakhir Maha Properti adalah anggota kekuarga Tahir seperti Jonathan Tahir (34%), Dato Tahir (17%), Jane Dewi Tahir (8,5%), Dewi Victia Riadi (8,5%) , Grace Dewi Riady (8,5%), Raymond (4,24%), Michael Putra Wijaya (4,24%), Wing Harvest Limited (13,87%), dan publik (1,15%).
Perusahaan ini go public pada 2018 dengan menjual 15,01% saham untuk meraup dana Rp164,175 miliar. Dalam prospektus, perusahaan ini memiliki tiga anak usaha, yakni: Trixindo Selaras (TRX), PT Crestive Softhouse (Ch) dan PT Bintang Dwi Lestari (BDL). Kedudukan sebagai anak perusahaan diperoleh melalui akuisisi pada 29 Maret 2018.
Terkait kepemilikan aset tanah Maja, BDL disebutkan memiliki 2.838.682 m2 tanah girik di beberapa desa Kecamatan Maja.
Selain itu, ditulis kalau Pemkab Lebak telah memberikan izin lokasi No.599 pada 30 Mei 2018 kepada BDL atas lahan seluas 283 hektare (Ha), dan sisanya 427 Ha, dari total 710 Ha. Tanah ini masih dalam proses pembebasan oleh BDL.
BDL didirikan pada 8 Oktober 2014 dengan struktur kepemilikan adalah PT PMI 52% (Dato Sri Tahir) dan PT Mandiri Mega Jaya 48 % (Bentjok). Bentjok tercatat sebagai direktur, dan Raden Agus Santosa sebagai komisaris. Dan pada saat prospektus tersebut dibuat, BDL dikatakan belum komersial.
Tertulis pula perjanjian pembebasan lahan pada Januari 2018 antara BDL dengan beberapa pihak, antara lain dengan PT Benua Indah Persada senilai Rp329,057 miliar untuk lahan seluas 1.700.000 m2, dengan PT Kencana Nusa Sejahtera Rp221,271 miliar untuk lahan 1.100.000 m2 dan dengan PT Giat Utama Maju Rp9,658 miliar seluas 50.000 m2.

Layar pergerakan Indek Harga Saham Gabungan (IHSG) di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Rabu, 14 Oktober 2020. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia
Backdoor Listing
Sekarang kita bergeser pada dua perusahaan publik lain, PT Hanson International. Hanson didirikan pada Juli 1971 dengan nama awalnya adalah Mayertex International. Kemudian menjadi PT Hanson pada 1991.
Pada 2003, Hanson mengakusisi 70% saham PT Vakrawira Bumimandala senilai Rp70 miliar. Kemudian berubah nama menjadi Hanson Industri Utama pada 2004 dan menandai babak baru dalam bisnis properti. Manarik bahwa baik Hanson maupun Maha Properti memulai bisnis properti pada tahun yang sama.
Tahun 2013 Hanson melakukan penawaran umum terbatas untuk mengambilalih PT Mandiri Mega Jaya senilai Rp4,6 triliun. Di sini Mandiri Mega Jaya melakukan semacam backdoor listing melalui Hanson. Perusahaan itu memiliki 27 anak usaha, salah satu yang menonjol di bidang properti adalah PT Harvest Time.
Lalu pada 27 April 2006, MMJ melepas kepemilikan 5% saham kepada PT Mayapada Bangun Pratama sehingga kepemilikan di BPL berkurang dari 53% menjadi sekitar 48%.
Salah satu tonggak penting dalam bisnis properti adalah kerja sama antara pihak Hanson melalui PT Armidian Karyatama (AK) dan Harvest Time (HT)—anak tak langsung melalui PT Mandiri Mega Jaya—dengan anak perusahaan milik konglomerat Ciputra dalam mengembangkan Citra Maja Raya.
Dimulai dengan perjanjian pada Setember 2013 bahwa AK dan HT menyediakan 430 Ha lahan di Maja, dan hingga saat ini terus berkembang dan konon sudah menjadi lebih dari 2.600 Ha yang ditandai sebagai daerah komersial.
Semula Mandiri Mega Jaya ikut dalam proyek tersebut, namun kemudian pada 23 September 2016, dia mundur dan menyerahkan sepenuhnya kepada AK dan HT.
Patut disimak dari laporan keuangan Hanson International bahwa grup menandatangani perjanjian dengan pihak ketiga untuk melakukan pembebasan lahan di Maja.
Jumlah uang muka pembelian tanah yang dibayarkan pada 31 Desember sebesar Rp3,038 triliun untuk lahan 1.354 Ha yang dibayarkan kepada PT Surya Agung (661 Ha), PT Tanah Markus Jaya (277 Ha), PT Pro Energi Nusantara (185 Ha), PT Indah Semesta Perkasa (156 Ha), PT Bina Cipta Lestari (45 Ha) dan Maria Sopiah (30 Ha).
Kemudian dengan pihak-pihak yang sama juga dibayarkan uang muka sebesar Rp3,390 triliun untuk lahan seluas 1.495 Ha pada beberapa bulan berikutnya.
Dituliskan bahwa grup menggunakan pihak-pihak tersebut untuk membantu dalam negosiasi dan perantara pembelian dan pembebasan tanah dari penjual.
Tidak mengherankan dalam berbagai kesempatan, Bentjok dengan percaya diri mengakui kepemilikan land bank yang besar di Maja. Demikian juga dengan PT Maha Properti milik Dato Tahir.

Komisaris Utama PT Hanson International Tbk. (MYRX) Benny Tjokrosaputro. / Hanson.co.id
Jejak yang Hilang
Tentang tanah di Maja, tak lengkap kalau kita tidak menyebut sebuah perusahaan bernama PT New Century Development Tbk (PTRA).
Sebelumnya, perusahaan ini bernama PT Putra Surya Perkasa (PTRA) yang terlibat dalam penyelesaian utang akibat krisis 1997-1998 dalam skema yang diatur oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Singkat cerita perusahaan tersebut bisa keluar dari persoalan dengan risiko menggerus kinerjanya secara luar biasa.
Namun, sebagai perusahaan publik, perusahaan harus hidup sebagai bagian dari komitmennya pada investor publik. Apalagi menurut laporan keuangan, perusahaan memiliki aset yang besar berupa tanah di wilayah Maja seluas 10.928.079 m2.
Sebagai salah satu cara untuk bertahan hidup, pada 14 September 2004, perusahaan menerbitkan obligasi biasa tanpa jaminan Rp36 mliar dengan kupon 1% per tahun dan beratuh tempo pada 15 September 2012.
Selain itu, PTRA juga menerbitkan obligasi konversi senilai Rp400 miliar dengan kupon 1% per tahun dan memiliki masa jatuh tempo 10 tahun pada 15 September 2014. (Bdk laporan keuangan 31 Desember 2004).
Pada laporan keuangan 2015, tercatat bahwa pada 18 Oktober 2005 perusahaan membayar obligasi biasa Rp6,849 miliar dan obligasi konversi Rp34,630 miliar atau dengan total Rp41,480 miliar.
Masih lagi, pada 30 Desember 2005, perusahaan membayar obligasi konversi Rp232,465 miliar melalui pengalihan hak atas tanah di Maja seluas 10.928.079 m2.
Bila dipikirkan, mestinya perusahaan dirugikan cukup besar karena kedua obligasi itu baru berjalan setahun dan akan jatuh tempo pada 2012 dan 2014, atau 6 tahun dan 8 tahun di muka. Tindakan ini mengundang tanya, apakah ini sebuah kesalahan yang disengaja atau ada skenario tertentu di balik tindakan “merugikan’ perusahaan itu.
Kerugian perusahaan cukup besar mengingat kuponnya hanya sebesar 1% per tahun. Di lain pihak, penerima pengalihan tanah yang ditunjuk langsung mendapat keuntungan luar biasa.

Bank Mayapada milik Datok Sri Tahir. / Facebook @bankmayapadaofficial
Jejak Gedung Mayapada
Siapakah penerima pengalihan hak atas tanah itu? Menurut laporan keuangan, perusahaan itu bernama PT Grand Pacific Properties. Susah melacak profil perusahan penerima ini, yang pasti dari berbagai jejak digital, alamatnya berada di Gedung Mayapada.
Pada 4 Januari 2006, Direktur Keuangan PTRA, Handoko Gunawan, (Harian Sinar Harapan) menyebutkan bahwa penerima pengalihan hak atas tanah adalah PT Graha Persada Propertindo. Apakah dua perusahaan tersebut sama atau entitas yang berbeda?
Sekali lagi, dari jejak digital, alamat dan nomor telepon kedua perusahaan (PT Grand Pacific Properties dan PT Graha Persada Propertindo) itu sama. Namun tidak mudah untuk menyimpulkan bahwa kedua perusahaan itu berada satu grup dengan PTRA.
Yang dididapatkan cuma kebetulan nomor telepon dan alamat kantor yang serupa. Semuanya bermarkas di Gedung Mayapada, sama seperti Maha Properti dan juga Hanson International.
Cerita selanjutnya yang kita dapatkan dari pasar modal adalah bahwa kinerja PTRA terus memburuk. Beberapa kali perusahaan itu di-suspend perdagangannya hingga akhirnya tercoret dari bursa (delisting) pada 24 Januari 2011. Tamatlah riwayat PTRA. Di pihak lain cerita tentang PT Grand Pacific Properties atau PT Graha Persada Propertindo juga seperti hilang dari peredaran.
Termasuk ketika kawasan Maja mulai menggeliat. Yang muncul ke permukaan cuma PT Hanson International dan PT Maha Properti bersama mitranya, Ciputra. Kemanakah gerangan perusahaan yang menerima land bank seluas 10 juta m2 dari PTRA pada tahun 2005 itu?
Apakah tanah-tanah yang kemudian dibeli oleh Hanson atau Maha Properti adalah bagian dari jejak tanah Maja yang berasal dari New Century Development? Susah dilacak, apalagi perusahaan itu bukan perusahaan publik.
Yang sedikit bisa dipantau adalah sejumlah nama yang sebelumnya mengurusi PTRA—perusahaan yang pernah memiliki tanah itu— kemudian bergabung ke perusahaan Maha Properti dan afiliasinya (Bank Mayapada) atau juga ditampung di sejumlah perusahaan milik Bentjok.
Beberapa nama yang bisa disebut, misalnya Hariati Tupang yang menjadi komisaris independen PT New Century Development (2004) kemudian menjadi Direktur Keuangan Bank Mayapada. Atau Fredy Soejandy yang adalah komisaris independen PTRA kemudian menjadi direktur keuangan PT Propertindo Mulia Investama (Maha Porperti) milik Dato Tahir. Atau Monang Situmeang yang menjadi komisaris PTRA (2014) juga menjadi Preskom PT Hanson International (2010-2014).

Salah satu nasabah Jiwasraya yang tergabung dalam Forum Korban Jiwasraya mengikuti aksi damai di Kantor Pusat Jiwasraya, Jakarta, Jumat, 11 Agustus 2020. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia
Dari Mayapada Hingga ke Maja
Demikianlah jejak-jejak yang tampak kabur yang melintasi perkantoran Mayapada menuju tanah Maja. Siapa tahu, kemudian, bisa diperjelas, dalam rangka merunut langkah-langkah Bentjok dalam beraksi, tidak saja melalui portofolio finansial, tapi juga melalui aset tanah Maja.
Seorang investor yang masih memegang saham PT New Century Develoment (PTRA) menduga lahan-lahan yang disita tersebut berasal dari aset perseroan pada tahun 2004 yang sengaja dialihkan untuk menutup utang obligasi.
PTRA yang sebelumnya bernama PT Putra Surya Perkasa (PSP), berdasarkan Laporan Keuangan 2004 dan 2005 tercatat pernah memiliki aset berupa tanah seluas 10.928.079 m2 di wilayah Maja.
Grand Pacific Properties beralamat di Jl. Jenderal Sudirman Kav 28, Floor 12, Jakarta, yang merujuk pada Gedung Mayapada. PTRA juga menggunakan alamat yang sama.
Investor yang mengungkap adanya kejanggalan itu mengaku pernah menulis surat protes atas transaksi yang dinilainya aneh itu kepada Bapepam, yang sekarang menjadi Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
“Saya duga itu dilakukan oleh satu kelompok usaha yang sama. Mereka sengaja membangkrutkan perseroan dan menampung aset-asetnya. Sebagai investor yang memegang saham PTRA, saya merasa dibohongi,” ujar investor yang tidak mau disebutkan namanya itu tapi memperlihatkan surat protes kepada Bapepam tertanggal 16 Januari 2009.
Setelah terdepak dari lantai bursa pada 24 Januari 2011, nasib PTRA tak jelas hingga kini. Demikian juga nama PT Grand Pacific Properties—dalam urusan dengan tanah Maja—juga tenggelam di balik nama besar PT Hanson International dan PT Maha Properti Indonesia milik Bentjok dan Dato Tahir. Apakah dua konglomerat itu adalah orang-orang yang juga pemilik PT Grand Pacific Properties?
Andaikan Bentjok berada di balik “pembunuhan” PTRA yang kemudian bangkit lagi melalui bisnis properti dengan aset tanah Maja, yang kemudian merajalela hingga mengacaukan pasar modal dalam apa yang meledak dengan sebutan skandal PT Asuransi Jiwasraya (Persero), maka betapa lalainya otoritas bursa dan OJK. (SKO)
*Penulis adalah Koordinator Indonesia Financial Watch.