<p>Logo PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk. / Tpsfood.id</p>
Nasional

Membongkar Kejahatan Pasar Modal Direksi TPS Food (AISA) Lama

  • Pakar hukum bisnis Universitas Sebelas Maret (UNS) Yudho Taruno Muryanto menilai tindakan dua mantan direksi PT Tiga Pilar Sejahtera Tbk (AISA) Stefanus Joko Mogoginta, dan Budhi Istanto termasuk dalam tindakan penipuan pasar modal.

Nasional
Drean Muhyil Ihsan

Drean Muhyil Ihsan

Author

JAKARTA – Pakar hukum bisnis Universitas Sebelas Maret (UNS) Yudho Taruno Muryanto menilai tindakan dua mantan direksi PT Tiga Pilar Sejahtera Tbk (AISA) atau TPS Food Stefanus Joko Mogoginta, dan Budhi Istanto termasuk dalam tindakan penipuan pasar modal.

Hal tersebut ia sampaikan sebagai saksi ahli dalam lanjutan sidang dugaan pemalsuan laporan keuangan AISA pada Rabu, 24 Maret 2021.

Yudho menyebut, kedua terdakwa tersebut memenuhi unsur kejahatan dalam Pasal 90, dan 93 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.

Sejumlah ketentuan itu, mengatur bahwa emiten dilarang membuat pernyataan atau memberikan keterangan yang secara material tidak benar atau menyesatkan. Sehingga, memengaruhi harga saham di Bursa Efek Indonesia (BEI).

Pelanggaran atas pasal-pasal tersebut diatur dalam pasal 104 yang menyatakan bahwa setiap pihak yang melanggar Pasal 90, 91, pasal 92, 93, 95, 96, dan Pasal 97 ayat (1) diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan denda paling banyak Rp15 miliar.

“Pengertian penipuan dalam UU Pasar Modal adalah memberikan informasi tidak benar, setengah benar, atau tidak memberikan informasi sama sekali. Adapun kewajiban emiten adalah memberikan keterbukaan informasi yang diatur dalam pasal 86,” jelas Yudho dalam sidang.

Seperti diketahui, Joko dan Budhi diduga memasukkan enam perusahaan afiliasi sebagai pihak ketiga dalam Laporan Keuangan Tahun 2017 PT Tiga Pilar Sejahtera Tbk.

Berdasarkan hasil investigasi Ernst & Young, diketahui adanya penggelembungan (overstatement) piutang AISA kepada enam perusahaan yang rupanya merupakan milik dari Joko.

Ernst & Young mencatat nilai overstatement kepada enam perusahaan tersebut mencapai Rp4 triliun.

Overstatement juga dilakukan pada akun penjualan senilai Rp 662 miliar, dan EBITDA entitas Tiga Pilar pada divisi makanan senilai Rp329 miliar.

Selain itu, diduga ada pula aliran dana mencapai Rp1,78 triliun kepada pihak yang terafiliasi dengan Joko dan Budhi tanpa adanya pengungkapan yang memadai.

Overstatement yang dilakukan dapat menimbulkan kerugian pada investor dan pelaku pasar, karena dapat membuat kondisi perusahaan terlihat baik yang berakibat pada keputusan para investor untuk melakukan keputusan melakukan transaksi (saham),” sambung Yudho.

Distorsi pada Pasar Modal
Pakar hukum bisnis Universitas Sebelas Maret (UNS) Yudho Taruno Muryanto / Dok. Pribadi

Yudho menambahkan, penyampaian laporan keuangan yang tidak semestinya atau secara material tidak benar itu juga turut membuat distorsi pada pasar modal Indonesia yang berakibat menurunnya kepercayaan investor akibat penyampaian fakta yang tidak benar.

Lebih luas, tindakan kedua terdakwa juga berimbas buruk terhadap stabilitas keuangan negara, sebab pasar modal merupakan salah satu indikator perekonomian negara.

Oleh karena itu, Joko dan Budhi sebagai direksi Tiga Pilar yang menandatangani laporan merupakan pihak yang paling bertanggung jawab.

Kalaupun bukan direksi yang membuat laporan keuangan secara langsung, menurut Yudho direksi berdasarkan kewenangannya dianggap mengetahui laporan keuangan perusahaan yang dipimpinnya.

Terlebih tindakan mencatat enam distribusi afiliasi sebagai pihak ketiga sekaligus menggelembungkan tagihan piutang dilakukan dengan sengaja oleh Joko dan Budhi.

“Direksi bertanggung jawab terhadap laporan keuangan, hal ini sebagaimana diatur dalam pasal 66 dan pasal 97 UU PT No 40 Tahun 2007, terlepas siapapun yang membuatnya, direksi juga wajib mengetahui potensi kerugian banyak pihak jika memasukkan piutang afiliasi dalam laporan keuangan. Kemudian direksi juga dapat bertanggung jawab secara pribadi jika melakukan tindakan di luar kewenangannya,” papar Yudho.

Sementara, dari beberapa sidang sebelumnya diketahui bahwa Joko memang telah memberikan instruksi overstatement pada laporan keuangan Tiga Pilar sejak tahun 2012. Saat diperiksa Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Joko telah mengakui penggelembungan nilai piutang tersebut.

Hendra Adi Subrata, pemilik saham minoritas satu dari enam perusahaan distributor yang juga sempat menjadi saksi dalam sidang sebelumnya bahkan mengaku baru mengetahui adanya overstatement yang dilakukan Tiga Pilar dari pemberitaan media massa.

Kemudian, berdasarkan laporan keuangan di enam perusahaan tersebut, Hendra bilang total nilai piutang Tiga Pilar hanya sekitar Rp60 miliar-Rp70 miliar.

“Saya sebagai salah satu pemilik perusahaan distributor tersebut, tentu akan ada kerugian. Semisal bagaimana jika Tiga Pilar melakukan penagihan sesuai nilai laporan keuangannya? Tentu itu akan sangat merugikan kami. Overstatement dilakukan untuk kepentingan Tiga Pilar, bukan untuk kami sebagai perusahaan distributor,” tegas Hendra. (SKO)