<p>Ilustrasi pungutan pajak layanan digital hingga e-commerce / Shutterstock</p>
Industri

Menakar Faedah dan Sial Pajak Digital

  • Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memperkirakan pungutan PPN ini akan meningkatkan penerimaan pajak pada semester II-2020. Ia memprediksi penerimaan pajak meningkat menjadi Rp699,4 triliun di paruh tahun terakhir tahun ini. Selain itu, wanita yang akrab disapa Ani ini menilai bahwa pengenaan PPN produk digital juga dapat mendorong perbaikan aktivitas ekonomi.

Industri
Drean Muhyil Ihsan

Drean Muhyil Ihsan

Author

JAKARTA – Sebagai perantau yang tinggal di rumah kost di Jakarta, Rehan Said Haris, mencari hiburan dengan menonton film serial lewat layanan digital.

Pria berusia 27 tahun itu harus membunuh rasa bosan di sela-sela aktivitasnya sebagai karyawan swasta. Apalagi ketika pandemi COVID-19 melanda dan pemerintah memutuskan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), kantornya tutup.

Dia terpaksa harus bekerja dari rumah alias work from home (WFH). Seperti jutaan generasi milenial yang biasa menyebut diri mereka sebagai ‘corporate slave‘, Rehan terpaksa bekerja dari kamar kost yang berukuran sekira 3×3 meter persegi.

Sembari tidak tahu kapan pandemi berakhir, sepekan setelah WFH dirinya semakin merasa bosan lantaran tak bisa ke mana-mana. Akhirnya, dia sebagai generasi internet, mencoba mencari-cari hiburan dengan menonton film secara streaming.

Ketika bioskop dan mal dilarang beroperasi, maka layanan streaming film seperti Netflix menjadi pilihan. Rehan berlangganan paket ponsel dengan tarif Rp49.000 saban bulan.

Lantaran tak puas, dia memutuskan untuk naik peringkat ke paket dasar. Dia merogoh kocek Rp109.000 setiap bulan dari gajinya untuk menonton film lewat komputer jinjing di sela-sela pekerjaan.

Kini, dia harus merogoh koceknya lebih dalam lantaran pemerintah mengenakan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10% untuk setiap produk layanan digital yang dipasarkan di Indonesia.

“Sebenarnya agak kecewa juga walaupun cuma naik Rp11.000. Tapi mau gimana lagi,” tutur Rehan saat berbincang dengan reporter TrenAsia.com, Rabu, 9 September 2020.

Bisa jadi, Rehan adalah satu dari jutaan masyarakat Indonesia yang sudah gandrung akan layanan digital di internet, tak memiliki banyak pilihan. Mereka harus lebih berhemat demi mendapatkan hiburan digital yang disukainya.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat melakukan rapat secara daring. / Facebook @smindrawati

Konsumsi Digital Melejit

Adanya pandemi COVID-19 ternyata memberikan dampak besar bagi perkembangan produk dan jasa digital di Tanah Air. Pada saat seperti ini justru layanan berbasis digital menjadi solusi masyarakat.

Masyarakat juga dipaksa beralih pada layanan yang serba digital, mulai dari kegiatan belanja hingga meeting dengan rekan kantor. Dan yang pasti, hiburan berbasis digitalpun semakin diminati karena adanya larangan melakukan banyak aktivitas luar rumah.

Sebagai bukti, selama masa lockdown beberapa waktu lalu, ComScore melakukan penelitian di enam wilayah di Asia-Pasifik terkait tren penggunaan media online. Hasilnya, di Indonesia sendiri konsumsi terhadap berbagai jasa atau produk daring meningkat tajam.

Perubahan pola penggunaan media ini terlihat jauh lebih beragam dan tidak hanya terfokus pada media hiburan. Situs yang paling dominan diakses oleh warga Indonesia adalah situs kesehatan, yang melonjak hingga 53% per Maret 2020.

Selain itu, situs pendidikan mengalami peningkatan akses sebesar 28% jika dibandingkan dengan Februari 2020. Sementara akses konten pendidikan kaum muda meroket 246%.

Tren ini juga di ikuti oleh adanya perubahan terhadap perilaku konsumen di pasar digital. Bahkan, Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) Teten Masduki memprediksi tren stay at home bisa menjadi tren ekonomi baru bagi masyarakat.

Pernyataan Teten diperkuat dengan data analisis Ernst & Young tentang tren bisnis online dalam negeri. Tiap tahunnya, pertumbuhan nilai penjualan bisnis online Indonesia meningkat rata-rata 40%. Hal ini diikuti dengan adanya 93,4 juta pengguna internet dan 71 juta pengguna perangkat smartphone.

Keysha (8) mengikuti pelajaran secara online sementara ibundanya melayani pembeli di gerai ayam krispy tempat ibunya bekerja, di Jalan Bukit Duri Tanjakan, Gang Langgar, Jakarta Selatan, Selasa, 28 Juli 2020. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia

Kutip Cuan Perusahaan

Ancaman resesi di Tanah Air membuat pemerintah harus memutar otak demi mempertahankan pertumbuhan ekonomi sekaligus pendapatan negara. Salah satunya dengan memungut pajak pertambahan nilai (PPN) dari produk digital.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memperkirakan pungutan PPN ini akan meningkatkan penerimaan pajak pada semester II-2020. Ia memprediksi penerimaan pajak meningkat menjadi Rp699,4 triliun di paruh tahun terakhir tahun ini. Selain itu, wanita yang akrab disapa Ani ini menilai bahwa pengenaan PPN produk digital juga dapat mendorong perbaikan aktivitas ekonomi.

Beleid ini menetapkan dua kriteria pelaku perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) pemungut PPN. Pertama, memiliki nilai transaksi penjualan produk digital kepada konsumen di Indonesia melebihi Rp600 juta setahun atau Rp50 juta sebulan. Kedua, memiliki jumlah pengakses di Indonesia melebihi 12.000 setahun atau 1.000 dalam sebulan.

“Penerapan PPN produk digital dari luar negeri juga diharapkan dapat menciptakan kesetaraan berusaha antar pelaku usaha,” ujar mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia dalam Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa 1 September 2020.

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) secara resmi telah menunjuk perusahaan digital asing untuk memungut PPN atas pemanfaatan produk digital dari luar negeri. Sampai saat ini terdapat 28 perusahaan yang ditunjuk pemerintah sebagai pemungut PPN kepada konsumennya. Perusahaan tersebut berkewajiban menarik, menyetor, dan melapor PPN kepada pemerintah.

Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo menjelaskan dengan penunjukan ini maka para pelaku usaha akan mulai memungut PPN atas produk dan layanan digital yang mereka jual kepada konsumen di Indonesia. Sedangkan PPN yang mesti dibayar pelanggan adalah 10% dari harga sebelum pajak.

“Ini harus dicantumkan pada kuitansi atau invoice yang diterbitkan penjual sebagai bukti pungut PPN,” ujar Suryo.

Ilustrasi media sosial Facebook, Google, Twitter dan layanan digital asing dikenakan pajak / Pixabay

Daftar 28 Perusahaan Kena PPN 10%

  1. LinkedIn Singapore Pte. Ltd
  2. McAfee Ireland Ltd
  3. Microsoft Ireland Operations Ltd
  4. Mojang AB
  5. Novi Digital Entertainment Pte. Ltd
  6. PCCW Vuclip (Singapore) Pte. Ltd
  7. Skype Communications SARL
  8. Twitter Asia Pacific Pte. Ltd
  9. Twitter International Company
  10. Zoom Video Communications, Inc
  11. PT Jingdong Indonesia Pertama
  12. PT Shopee International Indonesia
  13. Facebook Ireland Ltd
  14. Facebook Payments International Ltd
  15. Facebook Technologies International Ltd
  16. Amazon.com Services LLC
  17. Audible, Inc
  18. Alexa Internet
  19. Audible Ltd.
  20. Apple Distribution International Ltd
  21. Tiktok Pte. Ltd
  22. The Walt Disney Company (Southeast Asia) Pte. Ltd
  23. Amazon Web Services Inc
  24. Google Asia Pacific Pte. Ltd
  25. Google Ireland Ltd
  26. Google LLC
  27. Netflix International B.V
  28. Spotify AB
Ilustrasi logo Shopee sebagai salah satu e-commerce asing yang bakal dikenakan pajak digital / Facebook @ShopeeID

Berkaca Pada Negara Lain

Sebelum disahkan, penerapan pajak digital di Indonesia terlebih dahulu dijegal oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Ia menilai, kebijakan pemungutan pajak ini cenderung tak adil dan diskriminatif terhadap perusahaan digital asal Negeri Paman Sam.

Selain itu, kebijakan pajak digital yang diterapkan pemerintah Indonesia ini juga menuai banyak protes di dalam negeri. Pasalnya, nilai PPN yang ditetapkan terlalu tinggi dibandingkan dengan negara lain.

Sebagai contoh Prancis. Negara ini memberlakukan pajak digital atau dikenal dengan sebutan digital service tax hanya sebesar 3%. Besaran ini juga diikuti oleh negara-negara Benua Biru lainnya, yaitu Italia dan Spanyol yang mengenakan pajak digital 3% kepada konsumen. Agak sedikit berbeda, Austria mewajibkan pajak digital sebesar 5% kepada masyarakatnya.

Di kawasan Asia, nampaknya penetapan nilai pajak digital lebih tinggi dibandingkan dengan negara barat. Sebagai contoh India, negara ini mengenakan tarif pajak digital yang disebut dengan nama equalisation levy sebesar 6% dari nilai transaksi. Disusul Jepang yang menetapkan PPN untuk produk impor digital sebesar 4% hingga 10%.

Ilustrasi layanan streaming film Netflix dikenakan pajak digital. / Pixabay

Tarif Bengkak

Setelah diresmikannya aturan PPN 10% terhadap produk digital, biaya langganan streaming film berbayar Netflix langsung melonjak. Perusahaan menyesuaikan tarif sesudah pajak yang dikenakan kepada konsumen.

Berikut perbandingan harga langganan Netflix per bulan sebelum dan sesudah dikenakan PPN 10%:

  • Paket ponsel: Tarif lama Rp49.000, dengan PPN 10% Rp53.900, tarif penyesuaian resmi Netflix menjadi Rp54.000.
  • Paket dasar: Tarif lama Rp109.000, dengan PPN 10% Rp119.000, tarif penyesuaian resmi Netflix menjadi Rp120.000.
  • Paket standar: Tarif lama Rp139.000, dengan PPN 10% Rp152.900, tarif penyesuaian resmi Netflix menjadi Rp153.000.
  • Paket premium: Tarif lama Rp169.000, dengan PPN 10% Rp 185.900, tarif penyesuaian resmi Netflix menjadi Rp186.000.

Berbeda dengan Netflix, produk digital populer lainnya, Spotify tak memberikan daftar tarif yang disesuaikan pajak. Namun, dari laman resminya dijelaskan bahwa biaya langganan Spotify Premium sudah termasuk PPN.

Berikut daftar tarif langganan Spotify per bulan di situs resmi Spotify:

  • Paket pelajar: Rp24.990 (tetap).
  • Paket individual: Rp49.990 (tetap).
  • Paket keluarga: Rp79.000 (tetap).

Rehan sebagai pelanggan Netflix menyayangkan adanya aturan baru ini. Walaupun kenaikan tarif tidak terlalu tinggi, tetap saja memberatkan dirinya. Sebab, harga layanan yang dipatok Netflix sebelum adanya PPN 10% sudah terbilang cukup mahal.

Apalagi, sebagai perantau dia harus mengatur pengeluarannya dengan baik. Di sisi lain, ia juga membutuhkan layanan Netflix sebagai alternatif sarana penghibur di tengah padatnya pekerjaan yang dihadapinya.

Ia menilai konten-konten yang ditawarkan Netflix sangat menarik dan menghibur. Oleh sebab itu, dia tidak memiliki keinginan untuk berhenti berlangganan meskipun tarif saat ini naik setelah dikenakan PPN 10%.

“Saya juga butuh Netflix buat sarana hiburan saya,” tutur Rehan.

Ilustrasi Google. / Pixabay

Iklan Digital Kena Jegal

Pada 1 Oktober 2019 lalu, PT Google Indonesia resmi mengenakan pajak digital pada layanan iklan miliknya, Google Ads. Artinya semua pemasangan iklan di Google Ads dengan alamat penagihan di Indonesia akan dikenai PPN 10%.

Head of Corporate Communications Google Indonesia Jason Tedjasukmana mengatakan kebijakan baru ini merupakan konsekuensi dari upaya korporasi untuk memberikan dan memperluas layanan bagi para pengguna di Tanah Air.

Ia menegaskan, pihaknya juga terus berupaya memodifikasi tagihan dengan menggunakan mata uang lokal. Langkah ini, lanjut Jason, merupakan bagian dari upaya untuk memudahkan pelanggan produk iklan Google yang mendaftar dengan alamat penagihan di Indonesia.

“Perubahan ini merupakan langkah menuju model bisnis baru yang mendukung pertumbuhan bisnis kami di Indonesia,” tegasnya pada September tahun lalu.

Langkah Google Indonesia akan di ikuti oleh perusahaan raksasa digital lain yang menawarkan jasa iklan. Salah satunya datang dari perusahaan milik konglomerat dunia Mark Zuckerberg, Facebook.

Mulai 1 September 2020, iklan Facebook di Indonesia akan dikenai PPN sebesar 10%. Aturan ini akan dikenakan kepada konsumen yang akan membeli iklan Facebook untuk kepentingan bisnis atau pribadi.

“Karena PPN ditambahkan setelah tagihan dihitung, Anda tidak akan mencapai ambang batas tagihan lebih cepat. Tetapi mungkin akan dikenai tagihan melebihi jumlah ambang batas tagihan Anda. Jika Anda membayar iklan Facebook menggunakan metode pembayaran prabayar, Anda akan dikenai PPN sesuai tarif yang berlaku saat akun iklan Anda didanai,” dikutip dari laman Pusat Bantuan Bisnis Facebook Indonesia.

Pemilik showroom dan bengkel Gitar “music666”, Ridwan mendemonstrasikan gitar yang akan dijual secara daring di Ciledug, Tangerang, Banten, Rabu 22 Juli 2020. Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi terus mendorong 10 juta Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) terhubung dengan platform digital atau “go online” hingga akhir tahun ini. Perubahan tren dan perilaku konsumen dengan membatasi interaksi fisik dan mengurangi aktivitas di luar rumah terbukti dapat memberi peluang lebih besar kepada UMKM yang sudah terhubung dengan ekosistem digital untuk bertahan atau bahkan melaju di tengah pandemi COVID-19. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia

UMKM Turut Terpukul

Salah satu pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) asal Jakarta, Daffy mengaku telah menggunakan jasa iklan digital semenjak pertama kali usahanya berdiri pada awal 2020. Daffy sendiri berfokus pada penjualan produk parfum yang dipasarkan secara daring.

Karena mengandalkan sistem penjualan online pada bisnis yang dijalaninya, ia berpendapat iklan digital sangat membantunya dalam menarik konsumen. Daffy dapat menghabiskan dana sekitar Rp2 juta hingga Rp3,5 juta per bulan untuk mendanai iklan di tiga platform sekaligus, yakni Google, Facebook, dan Instagram.

Daffy mengaku aturan PPN 10% untuk produk digital cukup mempengaruhi usaha yang dirintisnya. Apalagi di tengah situasi pandemi seperti saat ini. Walaupun nilai pajaknya terbilang kecil, tapi bagi pelaku UMKM seperti dirinya, sangatlah berarti.

“Kalau anggaran untuk iklan kecil, mungkin pajaknya kelihatan kecil juga. Tapi coba bayangin kalau dana yang kita keluarin sampai Rp100 juta. Artinya ada Rp10 juta yang harus kita bayarkan untuk pajak iklan saja. Dan uang Rp10 juta yang kita keluarin itu enggak ngaruh apa-apa ke bisnis,” ujarnya saat dihubungi melalui sambungan telepon.

Ia menjelaskan, nilai 10% itu jika dimanfaatkan kembali untuk mendanai iklan, maka akan lebih berdampak mendorong kemajuan usahanya. Ia memberikan ilustrasi, jika dengan Rp1 juta biasanya ia bisa menyasar 100.000 viewer, saat ini ia harus mengeluarkan dana sebesar Rp1,1 juta untuk mendapatkan jumlah viewer yang sama. Artinya, dalam ilustrasi ini, semestinya Dafy bisa mendapatkan setidaknya 10.000 viewer tambahan dengan dana Rp100.000 yang harus ia relakan untuk PPN.

“Dari 10.000 orang yang lihat iklan itu kan pasti ada beberapa yang akhirnya jadi konsumen, itu hitung-hitungan bisnisnya. Jadi ini bukti kalau memang dengan adanya PPN 10% ini berdampak ke bisnis kita,” tambahnya.

Kendati begitu, Dafy mau tidak mau akan tetap menggunakan jasa iklan daring sebagai sarana pemasaran produknya. Mau bagaimana pun, biaya iklan digital tetap jauh lebih ekonomis sekaligus efektif dibandingkan dengan instrumen lainnya.

Ilustrasi perusahaan rintisan (start-up). / Pixabay

Start-up Buka Suara

Pendiri perusahaan modal ventura Indies Capital dan AC Ventures Pandu Patria Sjahrir mendukung adanya pemberian pajak pada perusahaan digital yang beroperasi di Indonesia. Ia bilang, keberadaan dari perusahaan teknologi di Indonesia akan memberikan nilai tambah tersendiri dengan membayar PPN 10% ini.

Pandu berpandangan bahwa dengan adanya aturan ini, maka para pemain di industri digital akan membuka perusahaannya secara menyeluruh di Indonesia. Selama ini, katanya, banyak perusahaan digital yang berbasis di luar negeri hanya menempatkan tim pemasaran saja di Indonesia.

“Menurut saya itu nilai tambah yang pas. Hanya memang harus dilihat juga agar pemain-pemain digital buka full di sini. Kita yang investasi ingin semua timnya di sini, termasuk knowledge center-nya, bukan hanya hanya tim marketing. Dengan demikian, bayar pajaknya di sini, nilai tambahnya juga di sini. Jadi kami searahlah dengan pemerintah,” ujar Pandu dalam sebuah keterangan resmi.

Ia juga berharap dengan ditariknya pajak dari perusahaan digital, dapat semakin mendorong bisnis online di dalam negeri. Yang terpenting bagi Pandu adalah adanya komunikasi yang baik dengan pemerintah agar iklim investasi, khususnya di dunia digital Tanah Air dapat semakin hijau.

Jadi, siapakah yang untung dan buntung dari penerapan pajak digital ini? (SKO)