<p>Suasana aktivitas bongkar muat petikemas di Jakarta International Container Terminal (JICT), Tanjung Priok, Jakarta Utara, Rabu, 16 Juni 2021. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia</p>
Industri

Menakar Kinerja JICT di Tengah Kemunculan Mega Proyek Pelabuhan Baru

  • Bisnis terminal peti kemas di Indonesia makin diramaikan dengan operasional sejumlah mega proyek pelabuhan baru. Mega Proyek Pelabuhan Patimban hingga New Priok Container Terminal 1 (NPCT1) menjadikan pemain bisnis ini semakin banyak.

Industri
Muhamad Arfan Septiawan

Muhamad Arfan Septiawan

Author

JAKARTA – Bisnis terminal peti kemas di Indonesia makin diramaikan dengan operasional sejumlah mega proyek pelabuhan baru. Mega Proyek Pelabuhan Patimban hingga New Priok Container Terminal 1 (NPCT1) menjadikan pemain bisnis ini semakin banyak.

Kedatangan pemain baru itu ditanggapi santai oleh Direktur Utama (Dirut) PT Jakarta International Terminal Container (JICT) Ade Hartono. Menurutnya, konsumen lah yang pada akhirnya menentukan pelabuhan mana yang paling efektif.

“Ini menarik bahwa terminal peti kemas itu bertumbuh, itu bukan kompetitor kita. Pada akhirnya ini memberi keleluasaan bagi konsumen untuk bebas memilih dan kami terus melakukan efisiensi layanan,” kata Ade dalam konferensi pers, Rabu, 16 Juni 2021.

Seperti diketahui, mega proyek Pelabuhan Patimban dilaporkan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) sudah hampir rampung. Proyek ini dikerjakan PT Pelabuhan Patimban Indonesia (PPI).

Terdapat empat perusahaan raksasa di balik PT PPI. Mereka yang tergabung dalam konsorsium itu antara lain PT Terminal Petikemas Surabaya, PT Indika Logistic Support & Service, PT U Connectivity Services, dan PT CT Corp Infrastruktur milik konglomerat Chairul Tanjung.

Adapun NPCT 1 ditargetkan bisa beroperasi penuh pada 2023. Tidak ambil pusing dengan pemain baru, Ade mengungkap meluasnya bisnis peti kemas menjadikan biaya logistik Indonesia semakin bisa ditekan.

“Dengan adanya terminal itu bahwa bagian dari untuk saling melengkapi dalam rangka program pemerintah menurunkan biaya logistik,” ujar Ade.

Indonesia memang tengah berupaya menurunkan biaya logistik agar bisa menyaingi negara-negara tetangga. Biaya logistik di Indonesia hingga 2020 mencapai 23,5% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Indonesia bersanding dengan Vietnam yang masih mencatatkan biaya logistik per PDB lebih dari 20%. Sementara itu, biaya logistik per PDB di Malaysia, Thailand, dan Singapura masing-masing mencapai 13%, 15%, dan 8%.

Sementara itu, Wakil Direktur Wakil Direktur Utama JICT Budi Cahyono menyatakan tidak memiliki rencana untuk menambah kapasitas peti kemas di JICT karena kehadiran pemain baru tersebut. Dirinya berkata JICT masih fokus membenahi kinerja arus peti kemas yang sempat menurun pada tahun lalu.

Perusahaan menargetkan volume peti kemas di JICT mencapai 2,1 juta twenty foot equivalent unit (TEUS) pada tahun ini. Angka itu lebih tinggi 16,6% dibandingkan capaian tahun lalu yang mencapai 1,8 juta TEUs.

Kendati demikian, capaian arus peti kemas JICT pada tahun lalu itu masih berada di bawah rata-rata realisasi tahunan yang menyentuh 2 juta TEUs. Capaian yang masih jauh dari kapasitas ini lah yang menjadi dasar belum munculnya rencana penambahan kapasitas.

“Kami masih berupaya untuk meningkatkan layanan untuk saat ini, dengan realisasi yang sudah sentuh 800.000 TEUs per Mei 2021. Kami optimis targetnya bisa tercapai, insyaallah,” ujar Budi.

JICT tergolong menjadi jantung bisnis peti kemas dari PT Pelabuhan Indonesia (Persero) II atau Pelindo II. Pasalnya, JICT menguasai 26,6% kinerja arus peti kemas Pelindo II. Tidak heran, upaya JICT mengungkit kembali arus peti kemas memiliki implikasi besar terhadap kinerja Pelindo II secara keseluruhan. (RCS)