Menakar Posisi China di Mata Indonesia
- Pencairan pinjaman untuk setiap proyek BRI mewajibkan negara mitra untuk membeli 70% bahan baku dari Cina dan mempekerjakan para pekerja Cina. Kebijakan yang lebih memihak pada investor Cina ini tentunya akan semakin memberatkan pelaku industri lokal.
Makroekonomi
JAKARTA - Hubungan antara Indonesia China sejauh ini tampak baik. Hal tersebut tetap terjadi meski blok Barat berupaya menghalangi China melampauinya sebagai negara dengan perkembangan ekonomi terbesar di Indonesia.
Meski demikian, China lantas tak tinggal diam. Meski dijegal sama-sini, Negeri Tirai Bambu terus mengembangkan pengaruhnya ke berbagai pihak, termasuk Uni Emirat, Amerika Latin, hingga Asia Tenggara.
Di Tanah air, Bank Indonesia baru-baru ini menggelar Indonesia-China Business Forum di Beijing tepatnuya pada Selasa, 26 September 2023. Acara dihadiri oleh Duta Besar RI untuk China Djauhari Oratmangung serta 250 pengusaha China.
Dalam acara bertajuk “Local Currency Transaction to Strengthen Indonesia-China Economic Cooperation Through Investment Promotion” Gubernur Indonesia Perry Warjiyo memaparkan posisi China di mata Indonesia.
Menurut BI, saat ini China adalah mitra dagang terbesar Indonesia, negara asal Foreign Direct Investment (FDI) kedua terbesar untuk Indonesia dan berada di tiga besar negara asal wisatawan mancanegara ke Indonesia.
Lebih lanjut Perry menjelaskan bahwa total ekspor Indonesia ke China mencapai 23% sementara total impor dari China mencapai 27% dari keseluruhan data ekspor impor Indonesia.
- Cegah Misinformasi Produk Tembakau Alternatif, Asosiasi Dukung Pemerintah Optimalkan Sosialisasi
- MK Tolak 5 Gugatan Soal UU Cipta Kerja, 4 Hakim Beda Pendapat
- Plt Gubernur Jabar Pastikan UMKM Isi Berbagai Stand di Stasiun Pemberhentian Kereta Cepat Whoosh
Sinergi Indonesia-China
Berdasarkan data dari Kementerian Investasi atau Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) investasi China ke Indonesia pada kuartal IV-2022 tercatat sebesar US$3 miliar atau setara Rp46,48 triliun (asumsi kurs Rp15.492)
Pada 2022, Indonesia merupakan negara ASEAN dengan nilai ekspor tertinggi ke China yakni sebesar US$65,9 miliar Rp1,02 kuadriliun. Angka ini tumbuh sebesar 22,6% yoy jika dibandingkan 2021.
Sedangkan dari sisi impor pada 2022, Indonesia merupakan negara ASEAN dengan nilai impor dari China tertinggi kedua setelah Thailand yakni sebesar US$67,7 miliar setara Rp1,05 kuadriliun naik 20,5% yoy jika dibandingkan 2021.
- Jadwal dan Panduan Akses Tiket Gratis Kereta Cepat Whoosh
- Cegah Misinformasi Produk Tembakau Alternatif, Asosiasi Dukung Pemerintah Optimalkan Sosialisasi
- MK Tolak 5 Gugatan Soal UU Cipta Kerja, 4 Hakim Beda Pendapat
Selanjutnya Kementerian Perdagangan mencatat bahwa pada periode Januari-Maret 2023, Indonesia mencatatkan surplus neraca perdagangan dengan China yakni sebesar US$1,24. Rp19,21 triliun. Hal ini berkebalikan dengan periode yang sama pada 2022 yang mengalami defisit sebesar US$2,82 setara Rp43,69 triliun.
Produk ekspor non migas utama Indonesia ke China didominasi oleh bahan bakar mineral sebesar US$4,5 miliar Rp69,72 triliun, lalu diikuti oleh besi dan baja sebesar US$4,4 miliar setara Rp68,17 triliun. Bahan bakar mineral memiliki porsi terbesar dengan 27,05% sedangkan besi dan baja menyusul dengan 26,42%.
Produk impor non migas utama indonesia dari China mayoritas yakni mesin/peralatan listrik sebesar US$3,7 miliar atau setara Rp57,32 triliun, lalu disusul oleh mesin mekanik sebesar US$3,3 miliar atau setara Rp51,12 triliun. Porsi terbesar ditempati mesin/peralatan listrik dengan 24,04% dan mesin mekanik sebesar 21,24%
Proyek Strategis Indonesia - China
China telah menjadi salah satu investor terbesar Indonesia saat masa pemerintahan Jokowi. China gencar melakukan pendanaan proyek-proyek infrastruktur berskala besar sebagai bagian dari Inisiatif Belt and Road (BRI).
Belt and Road Initiative China merupakan salah satu kebijakan luar negeri dan ekonomi Pemerintah China yang paling ambisius. Kebijakan ini bertujuan untuk memperkuat pengaruh ekonomi Beijing melalui program yang luas dan menyeluruh dalam pembangunan infrastruktur di seluruh negara yang dilewati jalur tersebut.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan mengatakan hingga akhir tahun 2022, China memiliki 15.906 proyek investasi di Indonesia dengan total nilai Rp459,17 triliun.
Deretan proyek strategis nasional yang menggandeng China diantaranya adalah proyek Waduk Jatigede senilai Rp4 triliun, tol Medan-Kualanamu senilai Rp1,34 kuadriliun, kereta cepat Jakarta-Bandung senilai Rp61,79 kuadriliun, kawasan industri Morowali senilai Rp25,43 triliun, dan PT Gunbuster Nickel Industri (GNI) dengan nilai total investasi Rp42,9 triliun.
Plus Minus Berbisnis dengan China
Dikutip dari Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Undiksha, ada sederet plus minus ketika Indonesia berbisnis dengan China.
Pencairan pinjaman untuk setiap proyek BRI mewajibkan negara mitra untuk membeli 70% bahan baku dari Cina dan mempekerjakan para pekerja Cina. Kebijakan yang lebih memihak pada investor Cina ini tentunya akan semakin memberatkan pelaku industri lokal.
Selain itu, perjanjian antara kedua negara yang mendorong penggunaan mata uang Cina dan Indonesia dalam transaksi luar negeri Cina dan Indonesia juga berpotensi mendatangkan resiko besar bagi Indonesia.
Salah satu alasan mengapa kesepakatan tersebut dapat berakibat negatif pada kestabilan ekonomi Indonesia adalah karena Cina sering mendevaluasi mata uangnya. Dalam beberapa tahun terakhir, kebijakan devaluasi dilakukan oleh Cina dengan tujuan melindungi ekonominya.
Pada 2019, misalnya, China mendevaluasi Yuan untuk membuat barang-barang produksi Cina lebih murah akibat dampak negatif dari perang dagang dengan Amerika Serikat.
Ketika Yuan di devaluasi, produk China akan menjadi lebih murah dan kompetitif di pasar internasional.
Jika Indonesia mulai intensif menggunakan Yuan sebagai konsekuensi atas perjanjian di atas, barang impor dari China bisa membanjiri pasar lokal karena harganya yang murah dan ini dapat menghantam pasar domestik.
Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia juga sudah memperingatkan dampak negatif terhadap semakin bergantungnya Indonesia terhadap Cina. Dia mengatakan bahwa penurunan 1% dalam pertumbuhan ekonomi Cina akan turut membawa penurunan sebesar 0,3% bagi Indonesia.
Sementara menurut Guru Besar Hukum Internasional, Hikmahanto Juwana, tantangan terbesar Indonesia terhadap Cina ada di bidang ekonomi dan harus diwaspadai. Menurutnya Cina agresif terhadap sumber daya alam indonesia.
Meski memicu deretan minus yang membuat khawatir banyak pihak, jalinan kerja sama juga tak dapat dipungkiri dapat memberikan banyak plus bagi Indonesia.
Kerjasama ekonomi antara RI dan China selain tentu yang bersifat investasi, tetapi juga harus berorientasi pada pemasaran produk-produk hasil pertanian, perikanan, serta UMKM Indonesia ke pasar China.
Investasi China bisa membawa dampak positif selama dipastikan dapat menciptakan lapangan kerja lokal, mengaplikasikan transfer teknologi, membawa manfaat bagi warga lokal, menjaga kelestarian lingkungan hidup, dan berkontribusi bagi pertumbuhan ekonomi nasional.
Luhut mengatakan bahwa Indonesia selalu menjalin kerjasama dengan China karena negara tersebut paling cepat merespon permintaan pemerintah. China juga dinilai bisa memenuhi kriteria untuk yang diajukan jika ingin berinvestasi di Indonesia. Artinya, Indonesia tidak dikuasai China saat menjalin kerjasama.