Dunia

Menakar Potensi Keberhasilan China Tengahi Konflik Rusia-Ukraina

  • Sejumlah analis mengatakan akan sulit bagi China untuk membawa Rusia dan Ukraina ke meja perundingan
Dunia
Rizky C. Septania

Rizky C. Septania

Author

MOSKOW - Presiden China, Xi Jinping Disebut bakal mengunjungi Presiden Rusia, Vladimir Putin. Xi Jinping juga dilaporkan telah mengadakan pertemuan virtual dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy beberapa minggu setelah mengusulkan 12 poin perdamaian di Ukraina.

Mengutip Reuters Jumat, 17 Maret 2023, Kementerian Luar Negeri China saat ini sedang melakukan pembicaraan lebih lanjut dengan Putin atau Zelenskiy. Bahkan, ada spekulasi bahwa kemungkinan China akan membawa kedua negara ini ke perundingan.

Sebelum membahas mengenai campur tangan China atas konflik yang terjadi antara Rusia dan Ukraina, perlu diketahui bahwa Negeri Tirai Bambu sejatinya menganut prinsip tak ikut campur dalam konflik negara manapun, terutama jika jaraknya jauh.

Namun kesepakatan damai yang dicapai oleh Arab saudi dan Iran di Beijing pekan lalu menyoroti tujuan China yang ingin memproyeksikan dirinya sebagai sebuah kekuatan besar yang bertanggung jawab di bawah kepemimpinan Xi Jinping.

"Xi ingin dilihat di panggung global sebagai negarawan yang pengaruhnya setidaknya setara dengan pemimpin AS," kata Pakar Hukum dari City University of Hong Kong, Wang Jiangyu sebagaimana dikutip TrenAsia.com.

Lewat proposal perdamaian, China juga tampaknya menangkis kritik bahwa ketika datang ke Ukraina, ia memihak agresor yakni Rusia yang menyebut invasi pada Februari tahun lalu sebagai "operasi militer khusus".

Menurut sejumlah analis, mencoba menengahi perdamaian adalah usaha berbiaya rendah yang dapat menghasilkan pengembalian tinggi bagi China. Bahkan jika terobosan tersebut tampak sebagai sebuah hal yang tak mungkin.

Proposal Perdamaian

Dalam proposal perdamaian yang diajukan, China mendesak kedua belah pihak untuk menyetujui de-eskalasi bertahap yang mengarah ke gencatan senjata komprehensif dalam 12 poin yang tercantum dalam resolusi politis krisis Ukraina.

Rencana tersebut mendapat sambutan hangat di Rusia dan Ukraina sementara Amerika Serikat dan NATO skeptis. Ukraina, yang mengatakan hanya akan mempertimbangkan penyelesaian damai setelah pasukan Rusia meninggalkan wilayah Ukraina.

Rusia mengatakan akan mengambil keputusan kondisional dari rencana tersebut. Namun hingga sekarang, tak ada tanda-tanda resolusi damai akan terjadi.

Sebelumnya, AS mengatakan bahwa China menampilkan dirinya secara terbuka sebagai netral dan mencari perdamaian. Namun di saat yang sama, China sementara pada saat yang sama, aksi tersebut mencerminkan narasi palsu Rusia tentang perang sekaligus memberinya bantuan. Namun, anggapan tersebut ditepis oleh China.

Apa yang Bisa dilakukan China?

Menanggapi proposal perdamaian yang diajukan, sejumlah analis mengatakan akan sulit bagi China untuk membawa Rusia dan Ukraina ke meja perundingan. Pasalnya, kedua negara ini tak sama seperti Arab Saudi dan Iran yang menghadirkan kemenangan diplomatik yang lebih mudah.

"Arab Saudi dan Iran sebenarnya ingin berbicara dan memperbaiki hubungan, sementara Rusia dan Ukraina tidak, setidaknya untuk saat ini," kata direktur Program China di Stimson Center yang berbasis di Washington, Yun Sun.

Meski demikian, Yun mengatakan bahwa Xi Jinping dapat bertindak sebagai backchannel yang dapat memulai momentum menuju pembicaraan yang untuk saat ini tampaknya tidak mungkin melihat kedua belah pihak mengeraskan pendirian mereka dalam perang yang sengit.

Hal ini tampak pada upaya Turki yang menawarkan diri untuk menjadi tuan rumah dialog di Istanbul pada minggu-minggu setelah perang dimulai tahun lalu.

Meski kondisi China dan Turki rampaknya sama dalam menawarkan upaya perdamaian, beberapa analis mengatakan bahwa China berada dalam posisi yang lebih baik daripada Turki sebagai penengah. Pasalnya, menurut pakar Rusia di Universitas Oxford, Samuel Ramani, saat ini China memiliki pengaruh lebih besar di Rusia.

Sebagaimana diketahui, China adalah sekutu terpenting Rusia dan telah membeli minyak Rusia dan menyediakan pasar untuk barang-barang Rusia yang dijauhi oleh negara-negara Barat.

China juga memiliki pengaruh atas Ukraina. Tentunya, negara tersebut tidak ingin merusak peluang dukungan China untuk melakukan  rekonstruksi di negaranya.

Selain itu, China juga telah memperluas perdagangan dengan Ukraina setelah Rusia menginvasi Krimea pada 2014 dan tidak mengakui wilayah yang dianeksasi itu sebagai milik Rusia.

“Yang terpenting, Zelenskiy tidak ingin terlalu memprovokasi China sehingga mereka mulai mempersenjatai Rusia,” kata Ramani.

Sebagai informasi, hubungan dekat China dengan Rusia membuat rencanya menjadi penengah konflik dipandang dengan rasa skeptis. Pasalnya, beberapa hari sebelum Rusia menginvasi Ukraina, China dan Rusia mengumumkan kemitraan "tanpa batas".

Meski demikian, China telah menyerukan perdamaian sejak awal perang saat sebagian besar mencerminkan posisi Rusia bahwa NATO mengancam Rusia dengan ekspansi ke arah timur.

Selain itu, Para negara Barat yang mendukung Ukraina juga tampak menyiram minyak dalam bara api dengan  memasok tank dan rudal untuk Ukraina.

Andrew Small, rekan senior di German Marshall Fund, mengatakan China ingin dilihat melakukan bagiannya untuk perdamaian. Namun di sisi lain, Negeri Tirai Bambu tampak tidak siap menekan Putin untuk menghentikan perang dan mengorbankan hubungannya dengan Rusia.

"Beijing tidak memaksakan diri atau berusaha memaksa Rusia untuk melakukan apa pun," katanya.