logo
Signing of definitive transaction agreements for the acquisition of PTVI Shares. Vale INCO pada Senin, 26 Februari 2024.
Bursa Saham

Menakar Prospek Vale (INCO) Usai Laba 2024 Sisa Rp931 Miliar

  • PT Vale Indonesia Tbk (INCO) menghadapi tekanan berat sepanjang 2024 akibat berlanjutnya tren penurunan harga nikel. Dampak dari kondisi ini terlihat dari laba bersih perseroan yang anjlok 78,96% menjadi US$57,76 juta atau sekitar Rp931,33 miliar.

Bursa Saham

Alvin Pasza Bagaskara

JAKARTA - PT Vale Indonesia Tbk (INCO) menghadapi tekanan berat sepanjang 2024 akibat berlanjutnya tren penurunan harga nikel. Dampak dari kondisi ini terlihat dari laba bersih perseroan yang anjlok 78,96% menjadi US$57,76 juta atau sekitar Rp931,33 miliar. 

Padahal pada tahun sebelumnya, emiten bersandikan INCO masih mampu mencatat laba bersih US$274,33 juta atau sekitar Rp4,22 triliun.Tekanan juga tercermin dari pendapatan INCO yang turun 22,87% menjadi US$950,38 juta sepanjang 2024, dibandingkan US$1,23 miliar pada tahun sebelumnya. 

Penurunan ini terjadi meskipun seluruh pendapatan masih berasal dari kontrak penjualan offtake jangka panjang dalam dolar AS. Pada 2024, penjualan ke Vale Canada Limited (CVL) tercatat sebesar US$760,2 juta, sedangkan Sumitomo Metal Mining (SMM) menyumbang US$190,18 juta.

Investment Analyst Stockbit Sekuritas, Hendriko Gani, menilai bahwa prospek INCO ke depan akan dipengaruhi oleh tiga faktor utama: volatilitas harga nikel di tengah potensi oversupply, upaya perseroan dalam meningkatkan efisiensi, serta pertumbuhan volume penjualan bijih nikel dari pit baru di Pomalaa dan Bahodopi.

“INCO berpotensi mencatatkan volume produksi dan penjualan bijih nikel yang lebih tinggi dalam tahun–tahun ke depan seiring dengan pembukaan pit baru di Pomalaa dan Bahodopi,” jelasnya dalam ulasannya pada Rabu, 26 Februari 2025.

Berdasarkan guidance dari manajemen, INCO berpotensi mencatatkan penambahan penjualan 1,7 juta wmt saprolite pada 2025, yang terdiri dari 1,4 juta wmt dari Bahodopi dan 300.000 wmt dari Pomalaa. Sebelumnya, INCO tidak menjual bijih nikel saprolite dan hanya menjual nikel dalam bentuk matte.

Dari sisi pergerakan saham, saham INCO pada perdagangan berjalan hari ini hingga pukul 14.37 WIB, bergerak melesat 5,45% ke level Rp2.900 per saham. Namun demikian, secara year to date saham ini masih terpantau menurun sekitar 18,77%.

DIberitakan TrenAsia sebelumnya bahwa CFO INCO Rizky Putra menegaskan bahwa tekanan utama yang dihadapi perseroan berasal dari terus melemahnya harga nikel global. 

Terpisah, analis Samuel Sekuritas, Farras Farhan dan Hernando Cahyo masih menetapakan buy saham INCO dengan target harga Rp3.400 per saham. Mereka memandang penurunan harga nikel belakangan ini didorong sektor baja tahan karat juga masih akan permintaan, sehingga tidak ada katalis yang signifikan terhadap sektor ini. 

"Penurunan ini terutama disebabkan oleh harga realisasi nikel matte yang lebih rendah serta dampak satu kali dari pemeliharaan fasilitas penggilingan batu bara pada September, yang menyebabkan konsumsi HSFO lebih tinggi untuk menggantikan penggunaan batu bara," jelas Rizky dalam keterangan resmi, Kamis, 31 Oktober 2024. 

Di tengah tantangan ini, beban pokok pendapatan INCO tercatat sebesar US$842,16 juta sepanjang 2024, relatif stabil dibandingkan US$885,24 juta pada 2023. Namun, akibat turunnya pendapatan, laba bruto perseroan terpangkas lebih dari separuh, dari US$302,15 juta di 2023 menjadi US$108,22 juta pada 2024.

Sementara itu, jumlah liabilitas INCO per 31 Desember 2024 mencapai US$443,75 juta, terdiri dari liabilitas jangka pendek sebesar US$263,47 juta dan liabilitas jangka panjang US$180,28 juta. Di sisi lain, ekuitas tercatat sebesar US$2,73 miliar, naik dari US$2,56 miliar pada 2023.

Dengan total aset mencapai US$3,17 miliar pada 2024, INCO menghadapi tantangan besar untuk menjaga profitabilitas di tengah tekanan harga nikel yang masih berlanjut.