Pengrajin menyelesaikan pembuatan miniatur gerbong kereta api di kiosnya di kawasan Manggarai, Rabu, 1 September 2021. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia
Fintech

Menakar Untung Rugi Mesranya Fintech dan Bank Salurkan Kredit UMKM

  • JAKARTA - Istilah fintech peer-to-peer (P2P) lending alias pinjaman online (pinjol) ini tak lagi asing di telinga masyarakat. Mulai dari dianggap 'pah
Fintech
Ananda Astri Dianka

Ananda Astri Dianka

Author

JAKARTA - Istilah fintech peer-to-peer (P2P) lending alias pinjaman online (pinjol) ini tak lagi asing di telinga masyarakat. Mulai dari dianggap 'pahlawan' oleh kelompok masyarakat yang selama ini unbanked, hingga 'monster' penagih utang yang kejamnya bukan main ketika meneror debitur yang telat nyaur utang.

Terlepas dari itu semua, fintech memang telah membuktikan eksistensinya sebagai lembaga keuangan non bank yang makin andal. Buktinya, jumlah penyaluran kredit/ pembiayaan fintech terus membumbung. Dengan jumlah penyelenggara yang mengantongi izin OJK terus bertambah.

Di awal kehadirannya, fintech dianggap sebagai pesaing bank dalam menunaikan amanah intermediasinya. Seiring berjalannya waktu, perbankan kini mulai terang2an menjadikan fintech sebagai saluran penyaluran kreditnya. Bank senang, fintech girang.

Ditambah lagi, Bank Indonesia (BI) menerbitkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 23/13/PBI/2021 tentang Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensial (RPIM) bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah yang berlaku efektif pada 31 Agustus 2021. 

PBI ini diterbitkan sebagai salah satu upaya BI meningkatkan inklusi ekonomi dan membuka akses keuangan serta memperkuat peran UMKM dalam pemulihan ekonomi nasional. Kebijakan ini memberikan opsi yang lebih luas bagi perbankan untuk berpartisipasi dalam pembiayaan UMKM, perorangan berpenghasilan rendah (PBR), dan pembiayaan yang bersifat inklusif lainnya. 

Salah satu substansi pengaturan dalam PBI ini adalah kewajiban pemenuhan RPIM yang dilakukan secara bertahap yaitu paling sedikit sebesar 20% pada 2022, 25% pada 2023, dan 30% pada 2024.

PBI teranyar ini memungkinkan perbankan untuk menyalurkan kredit melalui lembaga jasa keuangan, badan layanan umum, dan/atau badan usaha dengan skema channeling, executing, dan sindikasi, termasuk salah satunya melalui fintech.

Duet Bank-Fintech Makin Nyaring

Sebelum terbitnya PBI ini, sejatinya perbankan mulai terang-terangan kepincut dengan fintech. Salah satu skema kemitraan yang paling umum adalah bank sebagai kreditur (lender) institusi.

Sebagaimana diketahui, fintech, dalam hal ini P2P lending menerima dua jenis lender, yakni ritel (perorangan) dan juga institusi. Terlebih, fenomena bank digital juga ditaksir membuat pendanaan ke fintech makin besar.

Direktur Eksekutif Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Kuseryansyah memperkirakan kehadiran bank digital membuat perbankan semakin aktif berkolaborasi dengan fintech. Data AFPI merekam, kontribusi pendanaan yang bersumber dari perbankan mencapai 28%.

"Sebab buat mereka kerja sama dengan fintech itu lebih mudah. Bank digital ini DNA-nya kolaborasi dengan sesama platform digital," kata Kuseryansyah pada TrenAsia.com beberapa waktu lalu.

Faktor lain yang akan meningkatkan pendanaan dari perbankan adalah semakin banyaknya fintech yang sudah mengantongi izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Pasalnya, fintech yang berstatus berizin sudah lebih banyak dibandingkan dengan yang berstatus terdaftar.

Berdasarkan data terbaru OJK, Selasa 14 September 2021, total jumlah fintech P2P lending resmi saat ini berjumlah 161 penyelenggara. Dengan 84 di antaranya sudah mengantongi izin, dan jumlah ini akan terus bertambah.

Kuseryansah memproyeksi selambatnya bulan depan semua fintech yang terdaftar akan meningkatkan statusnya menjadi berizin. Izin OJK, tambah Kuseryansah, akan menambah kepercayaan perbankan untuk menjalin kerja sama. 

Dengan kian maraknya kerja sama pendanaan dari perbankan ini, AFPI menilai akan memberikan dampak positif bagi fintech. Sebagai contoh, fintech akan menjadi lebih stabil dan meningkat kredibilitasnya dengan memiliki kerja sama dengan institusional lender seperti perbankan.

Sementara itu, cost of fund dari perbankan yang lebih murah tentunya juga akan dirasakan manfaatnya oleh peminjam (borrower). Layanan fintech juga akan semakin kompetitif ke depan dan makin banyak dimanfaatkan oleh UMKM.

Oleh karena itu, kolaborasi antara fintech dengan perbankan juga dianggap telah menepis anggapan bahwa fintech akan mendisrupsi perbankan. 

“Semakin kuatnya kolaborasi ini akan menambah kekuatan fintech melayani segmen masyarakat unbankable atau yang tidak bisa mengakses layanan sektor keuangan formal.”

Kuseryansyah menyatakan, kolaborasi keduanya akan membuat gap kredit di Indonesia kian tipis. Saat ini, terdapat sekitar Rp1.650 triliun yang belum diisi oleh semua lembaga keuangan.

Apalagi, rasio kredit terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) di Indonesia masih selangkah di belakang negara-negara tetangga. Rasio kredit bank terhadap PDB di Indonesia bertengger di level 38,7%, lebih rendah dibandingkan dengan Malaysia 134%, Thailand 160,3% maupun Singapura 132%.

"Fintech memang hadir untuk memfasilitasi segmen unbankable," terang dia.

Nasib Sektor Produktif

Sebagaimana telah disebutkan, fintech menjadi jembatan keuangan bagi kelompok masyarakat unbankable, khususnya UMKM. Hasilnya, OJK mencatat, pembiayaan fintech ke sektor produktif mencapai Rp 7,79 triliun per Juli 2021. Nilai itu meningkat dari realisasi bulan-bulan sebelumnya dan berkontribusi 49,73% dari total penyaluran. 

“Penyaluran dana fintech lending ke sektor produktif terus melonjak saat pandemi. Melalui peningkatan tersebut, beberapa perusahaan fintech optimistis kinerja mereka di sektor produktif masih positif,” ujar Kuseryansyah.

Meningkatnya penyaluran pembiayaan ke sektor produktif disebabkan beberapa faktor. Pertama, semakin banyak perusahaan fintech mengantongi izin dari OJK.  Kedua, perbankan semakin getol bekerjasama dengan fintech untuk menyalurkan kredit. 

Ke depan, penyaluran ke sektor produktif diprediksi terus tumbuh. Hal ini disebabkan karena fintech memiliki data terkait profil peminjam, sistem penilaian kelayakan peminjam melalui algoritma dari artficial intelligence dan sistem penilaian risiko kredit. 

Tak hanya ditopang oleh pendanaan dari perbankan, pertumbuhan beberapa sektor juga menunjang pembiayaan produktif. Seperti bisnis makanan dan minuman, transportasi dan komunikasi. 

“Ke depan, kami optimsitis pembiayaan produktif naik dengan adanya integrasi antara UMKM dan ekosistem digital,” ungkapnya.

Baru-baru ini, pemerintah memperkenalkan program Digital Kredit UMKM (DigiKU) agar UMKM bisa memanfaatkan teknologi sebagai salah satu alternatif pembiayaan.

DigiKU merupakan program penyaluran kredit untuk UMKM yang disediakan oleh Pemerintah melalui Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) sebagai bagian dari gerakan Bangga Buatan Indonesia yang telah diresmikan oleh presiden. 

Sebelumnya, OJK juga telah berpartisipasi aktif selama persiapan pembentukan DigiKu yang telah diluncurkan pertama kali pada Juli 2020. Sebagai bagian dukungannya, OJK berencana menyelenggarakan webinar yang akan melibatkan perbankan, pengusaha UMKM, dan penyedia platform digital. 

"Webinar tersebut diharapkan bisa memunculkan business matching yang menghubungkan antara pelaku UMKM dengan penyedia sumber pembiayaan," tulis OJK, 16 September 2021.

Skema Favorit Bank-Fintech: Channeling Kredit

Dari beberapa skema kerja sama penyaluran kredit/ pembiayaan antara bank dan fintech, skema channeling alias penerusan kredit menjadi salah satu yang paling banyak digunakan.  Berdasarkan data OJK, jumlah channeling pada Januari 2021 tercatat sebesar Rp12,94 triliun, atau sekitar turun 8,5% dibanding tahun lalu pada periode yang sama. 

Sebelumnya pada 2019, penyaluran kredit channeling mengalami pertumbuhan terbesar dengan Rp14,24 triliun, dan naik secara signifikan 17,97% setiap tahunnya.

Ketua Dewan Komisioner OJK, Wimboh Santoso menyatakan skema channeling memang sedang meningkat saat ini. Alasannya, kondisi geografis Indonesia yang berupa kepulauan membuat inklusi keuangan masih besar.  

“Kerja sama perbankan dan peer to peer lending lagi marak-maraknya. Indonesia ini unik beda dengan negara lain karena island country, banyak masyarakat tinggal di rural area sehingga akses pembiayaan yang sulit dijangkau financial services atau lembaga keuangan biasa, lalu banyak kelas menengah dan middle income, banyak unbankable, serta penetrasi internet sebesar 67 persen dan ponsel pintar 60 persen,” terang Wimboh dalam sebuah webinar.

Kendati tengah mesra-mesranya, channeling perbankan-fintech harus diimbangi dengan berbagai mitigasi risiko. Menurutnya, harus ada kesamaan level dalam pemanfaatan teknologi antara kedua pihak sehingga tidak terjadi permasalahan komunikasi. 

Selain itu, kedua pihak juga harus menerapkan prinsip kehati-hatian meski skala nilai pinjaman kecil. Wimboh juga menekankan adanya kolaborasi antara bank dan fintech dalam penanganan kredit bermasalah. 

Serta, menerapkan prinsip perlindungan konsumen. Dari sisi regulasi, Wimboh menjelaskan pihaknya mendukung kolaborasi tersebut dengan menyiapkan regulasi yang mendorong inovasi dan menerapkan prinsip kehati-hatian.

Wimboh juga menyoroti perlunya peningkatan kualitas pengurus dan perbaikan tata kelola serta manajemen risiko perusahaan fintech. Menurutnya, sertifikasi bagi pengurus perusahaan fintech sangat penting karena saat ini belum terukur kualitasnya. 

“Fintech juga bisa mengevaluasi kualitas nasabahnya atau credit scoring serta menerapkan perlindungan konsumen,” kata Wimboh.