Ilustrasi tingkat keterisian hotel.
Nasional

Mendorong Privasi dan Keamanan di Industri Perhotelan

  • Hariyadi menyebut tindakan kekerasan di Grand Kemang tak hanya mengganggu operasional hotel, melainkan juga merusak reputasi Indonesia sebagai destinasi yang ramah bagi tamu domestik dan internasional.

Nasional

Chrisna Chanis Cara

JAKARTA—Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) mengecam keras aksi premanisme dalam diskusi ‘Silaturahmi Kebangsaan Diaspora Bersama Tokoh dan Aktivis Nasional’ di Hotel Grand Kemang, Jakarta, Sabtu, 28 September 2024. 

Acara yang digelar Forum Tanah Air (FTA) itu diketahui urung dilaksanakan lantaran dibubarkan orang tak dikenal. Pembubaran tersebut hanya berselang beberapa bulan dari premanisme serupa di sebuah hotel di Denpasar. Saat itu kelompok massa juga membubarkan diskusi yang digelar organisasi masyarakat sipil. 

Di Grand Kemang, aksi premanisme diiringi tindakan kekerasan dan perusakan fasilitas hotel. Ketua Umum PHRI, Hariyadi BS Sukamdani, menegaskan premanisme tak memiliki tempat di masyarakat, terutama di area publik seperti hotel. 

Selain mengganggu tamu hotel, insiden itu memicu kerusakan pada fasilitas hotel sehingga menimbulkan kerugian materi serta immateri. Pihaknya mendesak kepolisian segera menindak tegas pelaku kasus tersebut. 

“Sangat penting bagi aparat penegak hukum untuk tidak membiarkan tindakan kriminal ini berlalu begitu saja. Hal ini akan memberikan preseden buruk dan membahayakan keselamatan serta keamanan tamu, pengunjung, karyawan, pengelola, dan pemilik hotel,” ujar Hariyadi dalam keterangan persnya, Senin, 30 September 2024. 

Rusak Reputasi

Hariyadi menyebut tindakan kekerasan tak hanya mengganggu operasional hotel, melainkan juga merusak reputasi Indonesia sebagai destinasi yang ramah bagi tamu domestik dan internasional. 

“PHRI memandang insiden ini dengan serius. Tindakan ini berpotensi merusak citra industri perhotelan nasional, yang sangat penting untuk perekonomian dan pariwisata Indonesia,” ujarnya. 

Lebih lanjut, PHRI meminta peningkatan pengamanan dan perlindungan bagi hotel-hotel dan tempat penyelenggaraan acara lainnya, baik yang bersifat publik maupun pribadi. Langkah itu dinilai penting untuk menjaga integritas industri perhotelan serta memastikan keselamatan dan kenyamanan para tamu dan karyawan.

PHRI juga memberikan dukungan penuh kepada manajemen Hotel Grand Kemang dalam proses pemulihan pasca insiden. Sebagai informasi, acara diskusi di Grand Kemang dihadiri sejumlah tokoh seperti Refly Harun, Marwan Batubara, Said Didu, Din Syamsuddin, Rizal Fadhilah, dan Sunarko. 

Baca Juga: WWF 2024, Intimidasi dan Mimpi Investasi Rp150 Triliun

Din Syamsuddin mengatakan acara diskusi akhirnya batal dan diganti konferensi pers usai aksi premanisme. Dalam pernyataan pers, Din mengecam tindakan brutal kelompok massa serta gagalnya aparat keamanan melindungi acara diskusi yang dijamin konstitusi. “Peristiwa brutal tersebut merupakan refleksi dari kejahatan demokrasi yang dilakukan rezim penguasa terakhir ini.”

Terkini, Polda Metro Jaya bersama dengan Polres Jakarta Selatan telah menangkap lima orang yang diduga menjadi pelaku pembubaran acara di Grand Kemang. “Lima orang diamankan, tim gabungan Direskrimum dan Polres Jaksel, sementara dua telah ditetapkan [sebagai] tersangka,” kata Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Ade Ary, dikutip dari Antara.

Polisi kemudian membeberkan kronologi kejadian pembubaran diskusi tersebut. Ade mengatakan terdapat sekitar 30 orang yang memaksa masuk secara paksa, melakukan kekerasan, serta merusak beberapa barang. 

Pelaku kedapatan menghancurkan meja, gelas, proyektor dan mencopot banner acara. Aksi tersebut juga membuat sejumlah orang yang terluka di bagian kepala dan dada. Para penjaga hotel turut menjadi sasaran kekerasan.

Aksi Serupa di Bali

Bukan kali ini saja sebuah acara diskusi yang berlangsung di hotel dibubarkan paksa. Pada 20 Mei 2024 lalu, acara diskusi yang sedianya digelar People's Water Forum (PWF) 2024 di Hotel Oranjje, Denpasar, Bali, juga mengalami intimidasi dan pemaksaan pembubaran oleh massa ormas. 

PWF dianggap melanggar imbauan lisan PJ Gubernur Bali terkait pelaksanaan WWF di Pulau Dewata. PWF sendiri merupakan wadah bagi gerakan keadilan air di seluruh dunia. Gerakan PWF selalu muncul bersamaan dengan pelaksanaan WWF sebagai kritisisme atas agenda pengelolaan air yang dipimpin pemodal. 

Direktur LBH Bali, Rezky Pratiwi, mengatakan PWF 2024 adalah sebuah forum masyarakat sipil yang ditujukan sebagai ruang mengkritisi privatisasi air serta mendorong pengelolaan air untuk kesejahteraan rakyat. 

“Konstitusi telah menjamin adanya kebebasan berkumpul, berbicara, dan berpendapat. Imbauan Pj Gubernur dan aksi pembubaran diskusi justru melanggar konstitusi,” ujar Rezky dalam keterangan resminya.