Menebak Gerak Saham Emiten Rokok Jika Tarif Cukai Tembakau Resmi Naik
Direktur Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Heru Pambudi menyebut, keputusan penaikkan cukai hasil tembakau itu belum diketok lantaran mempertimbangkan dampak pandemi COVID-19 terhadap industri rokok.
Industri
JAKARTA – Kabar kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) terus bergulir sejak Agustus 2020 hingga sekarang. Namun begitu, hingga kini ketetapan berapa persentase kenaikan tarif itu masih belum menemukan titik terang.
Kabar terakhir, tarif cukai rokok bakal naik 17%. Tetapi ada pula yang menyebut kenaikan bisa menyentuh 19%.
Direktur Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Heru Pambudi menyebut, keputusan itu belum diketok lantaran mempertimbangkan dampak pandemi COVID-19 terhadap industri rokok.
“Pemerintah tentunya sangat berhati-hati dalam merumuskan kebijakan tarif,” ungkap Heru dalam jumpa pers virtual APBN KiTA, Senin, 19 Oktober 2020.
- 11 Bank Biayai Proyek Tol Serang-Panimbang Rp6 Triliun
- PTPP Hingga Mei 2021 Raih Kontrak Baru Rp6,7 Triliun
- Rilis Rapid Fire, MNC Studios Milik Hary Tanoe Gandeng Pengembang Game Korea
- Anies Baswedan Tunggu Titah Jokowi untuk Tarik Rem Darurat hingga Lockdown
- IPO Akhir Juni 2021, Era Graharealty Dapat Kode Saham IPAC
Jika berkaca pada pengalaman tahun-tahun sebelumnya, tarif cukai rokok biasanya selalu ditentukan pada bulan Agustus. Namun kali ini, waktu penetapan itu sedikit terhambat karena adanya COVID-19.
Pemerintah, sambung Heru, harus berkoordinasi terlebih dahulu pada semua pemangku kepentingan. Hal tersebut mesti dilakukan mengingat industri rokok merupakan salah satu sektor padat karya yang menyerap tenaga kerja.
Dikhawatirkan apabila tarif rokok dinaikan secara tergesa-gesa maka akan memberi dampak tidak baik pada perusahaan rokok. Hasilnya, boleh jadi angka pengangguran bakal bertambah singnifikan mengingat tarif cukai memang selalu berdampak pada turunnya pendapatan industri rokok.
“Sehingga perlu kehati-hatian dan tambahan waktu. Mudah-mudahan ini segera bisa keluar dan bisa diumumkan,” kata dia.
Pendapatan Cukai Naik
Di sisi lain, aturan kenaikan tarif rokok sejatinya telah tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 152 yang berlaku pada 1 Januari 2020. Dengan aturan tersebut, tarif cukai meningkat rerata 21,55% per tahun.
Secara rinci, tarif CHT sigeret kretek mesin (SKM) naik 23,29%, sigaret putih mesin (SPM) naik 29,95%, dan sigeret kretek tangan (SKT) naik 12,84%.
Tujuan dari kenaikan tarif ini semata-mata untuk mengendalikan jumlah perokok anak yang setiap tahun semakin bertambah pesat. Selain itu, peningkatan tarif ini juga bakal membantu pendapatan pemerintah dari sisi cukai dengan target nominal sebesar Rp178,5 triliun pada 2021.
Tercatat pada September 2020, pemerintah bahkan telah membukukan pendapatan cukai sebanyak Rp111,46 triliun. Angka ini naik 8,53% dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya senilai Rp102,7 triliun.
Hal ini membuktikan bahwa pendapatan cukai rokok bagi pemerintah masih bisa tumbuh positif kendati tengah didera pandemi COVID-19.
Dengan begitu, tidak aneh jika pemerintah pun kembali merencanakan kenaikan tarif rokok mengingat kebutuhan fiskal Indonesia yang juga cukup besar untuk pemulihan ekonomi tahun depan.
Penolakan
Sontak wacana kenaikan itu pun langsung memancing respons dari sejumlah pihak yang merasa dirugikan. Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (GAPRINDO) bahkan dengan terang-terangan menolak rencana kenaikan tarif rokok ini.
Ketua Gaprindo Muhaimin Moefti meminta agar pemerintah memberi waktu terlebih dahulu bagi industri rokok untuk pulih sebelum akhirnya menaikkan tarif cukai.
“Jangan sampai dihantam lagi dengan kenaikan cukai yang tinggi. Buat kami, kalau benar naik 19% itu tinggi sekali, sangat berat,” kata Muhaimin kepada TrenAsia.com, Kamis, 22 Oktober 2020.
Bukan apa-apa, saat ini industri hasil tembakau sejatinya tengah megap-megap dengan adanya krisis COVID-19. Terlebih lagi, sejak awal tahun industri ini juga sudah harus menanggung kenaikan tarif cukai sebesar 23%.
Sebab itu, Muhaimin menilai bahwa kabar kenaikan tarif cukai ini justru bakal semakin memporak-porandakan industri rokok yang tengah terhimpit banyak tekanan.
“Kasih kami kesempatan untuk recovery. Kalau mau ada kenaikan ya yang wajar, sesuai dengan inflasi. Kalaupun naik jangan sampai 10%,” ujar Muhaimin.
Kinerja Emiten Rokok
Diakui atau tidak, cukai rokok memang selalu memberikan beban terbesar bagi kinerja emiten rokok di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Pada PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk (HMSP), pita cukai menjadi penyumbang terbesar beban pokok perusahaan dengan kontribusi 80,63%. Nilainya bertambah 11,06% pada kuartal II-2020 menjadi Rp28,21 triliun dari sebelumnya Rp25,28 triliun pada kuartal II-2019.
Peningkatan nilai pita cukai itu membuat beban pokok penjualan HM Sampoerna pada semester I-2020 pun tembus Rp34,99 triliun.
Hasilnya, perusahaan rokok milik Philip Morris International ini pun harus menerima status sebagai perusahaan rokok dengan kinerja paling jeblok sepanjang enam bulan pertama 2020.
HM Sampoerna membukukan penurunan laba bersih sebesar 27,91% yoy dari Rp6,77 triliun menjadi Rp4,88 triliun. Ciutnya laba HMSP tidak lepas dari penjualan rokok yang tergerus 11,79% dari Rp50,71 triliun menjadi Rp44,73 triliun.
Penurunan paling dalam terjadi pada pos penjualan ekspor yang mencapai 25,44% dari Rp191,35 miliar menjadi Rp142,67 miliar.
“Pandemi COVID-19 juga telah mengakibatkan terganggunya kegiatan operasional perusahaan. Seperti penutupan sementara dua fasilitas produksi linting tangan, adaptasi kegiatan manufaktur, pengadaan barang, periklanan, dan promosi,” kata Presiden Direktur HMSP Mindaugas Trumpaitis.
Nasib tidak jauh berbeda juga dirasakan emiten rokok milik orang terkaya ke-4 di Indonesia Susilo Wonowidjojo, PT Gudang Garam Tbk (GGRM).
Berdasarkan laporan keuangan perseroan semester I-2020, nilai pita cukai, Pajang Pertambahan Nilai (PPN) dan pajak rokok juga menyumbang porsi terbesar biaya pokok penjuelan perusahaan. Nilainya menyentuh Rp35,78 triliun atau 79,51% dari total biaya pokok penjualan perseroan yang mencapai Rp44,99 triliun.
Akibat tingginya tarif cukai ini, GGRM pun harus rela menerima penurunan laba bersih 10,75% dari Rp4,28 triliun menjadi Rp3,82 triliun.
Pun begitu dengan laba kotor GGRM yang menyusut 13% dari Rp10 triliun menjadi Rp8,7 triliun.
Gerak Saham
Lantas jika dipantau dari pergerakan sahamnya, kedua raksasa rokok ini rupanya telah menunjukkan pelemahan sejak 2018 silam. Saat itu, pemerintah baru saja menetapkan kebijakan kenaikan tarif rokok per tahun untuk memangkas jumlah perokok anak.
Harga tertinggi saham HMSP pernah berada di level Rp5.200 pada 26 Januari 2018. Namun setelah itu nilainya terus menyusut hingga pada perdagangan Selasa, 27 Oktober 2020 ditutup pada level Rp1.415 per lembar dengan kapitalisasi pasar Rp164,59 triliun.
Lalu jika dilihat sejak awal tahun, saham HMSP sudah anjlok 47,7% dari Rp2.090. Sepanjang sepuluh bulan di 2020 ini, saham HMSP bahkan hanya mampu menyentuh level tertinggi Rp2.320 per lembar pada 13 Januari.
Angka ini bahkan tidak sampai setengahnya dari nilai saham HMSP pada 2018 silam yang mampu bertengger di atas Rp5.000 per lembar.
Selanjutnya, jika dilihat secara bulanan, saham HMSP hanya mampu menyentuh level tertinggi Rp1.570 per lembar pada 14 Oktober 2020. Tetapi jika dihitung secara bulanan, saham HMSP telah turun 10 poin dari level Rp1.425 per lembar pada 28 September 2020.
Tidak berbeda halnya dengan saham GGRM. Saham GGRM pernah mencapai level tertinggi pada 15 Maret 2020 dengan bertengger di posisi Rp92.050 per lembar.
Setelah itu, saham GGRM terus terjun bebas hingga pada perdagangan Selasa, 27 Oktober 2020 ditutup di posisi Rp40.975 per lembar dengan kapitalisasi pasar Rp78,84 triliun.
Sejak awal tahun, saham GGRM juga terhitung sudah jatuh cukup dalam atau 30,2% dari posisi Rp53.350 per lembar.
Sedang secara bulanan, saham GGRM justru berhasil tumbuh 2,13% dari level Rp40.100 pada 29 September 2020.
Dalam rentang waktu 30 hari ini, saham GGRM sempat melesat pada posisi tertinggi di level Rp44.550 pada 12 Oktober 2020. Namun kembali jatuh hingga menyentuh titik pelemahan paling dalam di Rp40.000 pada 20 Oktober 2020.
Peluang Rebound
Direktur Anugerah Investasma Hans Kwee menilai, jatuhnya saham dua raksasa rokok ini memang tidak lepas dari kabar tarif cukai yang mulai bergulir sejak Agustus lalu.
Namun begitu, Hans meyakini bahwa masa berat ini bakal mampu dilalui oleh GGRM dan HMSP mengingat kemampuan kedua perusahaan yang cukup kuat dalam menghadapi tekanan.
“Kita memang sudah mengamati biasanya perusahaan rokok ini bisa trough pass kenaikan rokok ini ke konsumen mereka. Dan tidak mengalami tekanan berarti pada penjualan,” terang Hans saat dihubungi melalui sambungan telepon.
Dalam jangka pendek, sambung Hans, tarif cukai rokok mungkin bakal menekan saham emiten rokok. Tapi jika ditunggu sampai akhir tahun 2020, maka kemungkinan bakal ada kenaikan 10% pada saham-saham ini.
Hal ini telah diperhitungkan hans dengan melihat rasio relatif valuasi kedua saham yang cenderung sudah murah atau undervalue.
Boleh dilihat price to book value ratio (PBV) alias harga terhadap nilai buku HMSP yang saat ini berada di level 6,18 kali. Padahal biasanya, kata Hans, PBV saham HMSP berada di kisaran 12-16 kali.
Pun begitu dengan takaran price to earning ratio (PER) alias rasio harga terhadap pendapatan HMSP yang saat ini masih di level 13,84 kali. Angka ini masih jauh di bawah PER normal HMSP yang berada di kisaran 31-40 kali.
“Jadi harganya bisa naik 1 kali lipat sih. Kalau Sampoerna mungkin Rp2.800-Rp3.000. GGRM harusnya bisa Rp60.000-Rp70.000,” terang Hans.
Analisa Teknikal
Senada dengan itu, Head of Research Reliance Sekuritas Indonesia Lanjar Nafi juga menyebut bahwa harga saham HMSP dan GGRM saat ini sudah cenderung oversold.
Bagi HMSP, kini sahamnya tengah berada di level uji support Rp1.400-Rp1.380. Sedangkan GGRM sedang uji level support di Rp39.500 per lembar.
Sebab itu, Lanjar meyakini bahwa pergerakan kedua saham hingga akhir tahun 2020 ini masih berpotensi besar untuk bisa rebound.
“Ada potensi reversal jangka pendek,” kata Lanjar saat dihubungi terpisah.
Lanjar melihat bahwa secara teknikal saham HMSP bakal diuji pada level resistensi Rp1.475. Jika berhasil breakout, maka saham HMSP bakal tembus ke level Rp1.550 per lembar.
Dengan kenaikan ini, maka saham HMSP pun berpotensi membentuk pola double bottom dengan pertumbuhan yang bisa lebih tinggi lagi ke level Rp1.700 per lembar.
Begitu pula dengan pergerakan saham GGRM. Lanjar melihat bahwa saham GGRM saat ini sudah sampai pada momentum oversold.
Jika terjadi pembalikan jangka pendek, kata dia, maka GGRM bakal tembus ke level resistensi di Rp40.000-Rp41.000. Apabila berhasil breakout di level ini, maka saham GGRM juga bakal membentuk pola double bottom dengan kenaikan hingga Rp43.000 per lembar.
“Nah, kalau saya lihat level doule bottom-nya ini ada potensi ke Rp48.000-an. Dengan catatan investor melihat harga saham sudah sampai level support, dan akan terjadi reversal jangka pendek,” pungkas dia.
Saatnya Pindah
Sebaliknya, CEO Finvesol Consulting Indonesia Fendy Susianto melihat bahwa pergerakan saham GGRM dan HMSP masih bakal terus melanjutkan penurunan hingga akhir tahun.
Analis yang juga host podcast Channel OmFin di TrenAsia.com ini bahkan menyebut bahwa potensi penurunan bisa mencapai 30%-50%.
Saham HMSP diprediksi bakal turun hingga level support Rp700 – Rp900 per lembar. Sedangkan saham GGRM diproyeksi bakal terjun hingga level support Rp35.000 per lembar.
“Kalau jangka panjang berpeluang besar sampai pada kisaran Rp25.000-Rp29.000,” terang Fendy saat berbincang dengan TrenAsia.com belum lama ini.
Fendy mengakui bahwa nilai saham HMSP dan GGRM saat ini memang masih dalam level undervalue. Namun begitu, nilai ini bisa saja terkoreksi jika nantinya penetapan tarif cukai sudah resmi diimplementasikan.
Dia melihat dalam tahun-tahun mendatang saham-saham emiten rokok bakal terus tergerus mengingat adanya penetapan kebijakan tarif cukai yang harus selalu dinaikain setiap tahun. Dalam kata lain, emiten rokok memiliki price destroyer yang bakal terus membayangi setiap tahun.
Dengan kondisi ini, emiten rokok ditempatkan pada posisi yang cukup dilematis untuk memilih apakah harus menaikkan harga atau bertahan.
Jika menaikkan harga, maka risikonya adalah banyak konsumen yang akan beralih. Sementara jika bertahan dengan harga yang sama, maka margin yang didapat perseoran menjadi sangat terbatas.
Dua pilihan itu sama sekali tidak menguntungkan bagi produsen rokok. Sebab itu, jalan satu-satunya untuk menyelamatkan emiten rokok hanyalah dengan melakukan diversifikasi usaha.
Sayangnya, proses diversifikasi ini tidak mungkin bisa dilakukan dalam waktu singkat. Perlu waktu yang cukup panjang agar penghasilan bisnis diversifikasi ini bisa menyamai level penghasilan di bisnis inti.
Sebab itu, menurut Fendy, investor yang rasional pun cenderung bakal mulai beralih pada saham sektor lainnya yang lebih aman.
“Melakukan switching ke sektor-lainnya lainya yang dirasa sudah undervalue. Misalnya sektor infrastruktur, agrikultur dan lain sebagainya. Dan ke arah yang defensive stock,” pungkas dia.
Sebagai catatan, dua dari lima emiten rokok yang melantai di bursa efek telah masuk dalam Indeks LQ45 yakni PT HM Sampoerna Tbk (HMSP) dan PT Gudang Garam Tbk (GGRM). Sedangkan, tiga emiten lain yang tidak masuk LQ45 adalah PT Wismilak Inti Makmur Tbk (WIIM), PT Bentoel International Tbk (RMBA), dan PT Indonesian Tobacco Tbk (ITIC). (SKO)