Ilustrasi Pengguna Paylater.
Fintech

Menelaah Hukum Ekonomi Syariah dalam Praktik PayLater

  • Dalam prinsip syariah, hukum yang mengatur transaksi ekonomi didasarkan pada Al-Qur'an dan Hadist sebagai sumber utama, serta Ijma dan Qiyas sebagai sumber sekunder.

Fintech

Idham Nur Indrajaya

JAKARTA - PayLater, sebagai salah satu fitur layanan yang kini banyak ditawarkan oleh platform belanja online, telah menimbulkan perdebatan di kalangan para ulama dan ahli hukum Islam. 

Jurnal Penelitian yang diterbitkan oleh Universitas Islam Negeri (UIN) Abdurrahman Wahid (UIN Gusdur) mengupas dasar hukum syariah yang mendasari perdebatan ini, serta bagaimana pandangan Islam terhadap praktik PayLater.

Dasar Hukum Syariah dalam Transaksi

Menurut jurnal penelitian tersebut, dalam ajaran Islam, hukum yang mengatur transaksi ekonomi didasarkan pada Al-Qur'an dan Hadist sebagai sumber utama, serta Ijma dan Qiyas sebagai sumber sekunder. 

Sebagai contoh, Al-Qur'an secara jelas mengatur masalah jual beli dalam beberapa ayat, termasuk di antaranya adalah Surat Al-Baqarah ayat 275 yang menyatakan, "Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba." Ayat ini menjadi dasar bahwa transaksi jual beli, termasuk yang dilakukan secara online, diperbolehkan selama tidak mengandung unsur riba.

PayLater dalam Perspektif Syariah

Sistem PayLater, seperti yang ditawarkan oleh berbagai platform digital, memungkinkan konsumen untuk melakukan pembelian barang dengan pembayaran yang ditunda. 

Dalam Islam, bentuk transaksi seperti ini dapat diidentifikasi melalui akad qardh, di mana platform bertindak sebagai muqridh (pemberi pinjaman) dan konsumen sebagai muqtaridh (peminjam). Namun, muncul perdebatan mengenai apakah sistem ini mengandung unsur riba.

Beberapa ulama berpendapat bahwa sistem PayLater ini sah menurut syariah, dengan alasan bahwa tambahan biaya yang dibebankan bukanlah riba, melainkan sebagai bentuk biaya layanan atau ijarah. 

Pendapat ini didasarkan pada pandangan yang dikemukakan oleh Muhammad Syamsudin dalam kitab Al-Mughni karya Ibnu Qudamah, yang menyatakan bahwa biaya tambahan yang dikenakan oleh aplikasi sebagai perantara tidak tergolong riba.

Namun, ada juga pandangan yang menolak keabsahan PayLater, mengingat adanya potensi ketidakpastian (gharar) dan penundaan pembayaran yang bisa dikategorikan sebagai riba. 

Hal ini diperkuat oleh Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menjelaskan bahwa setiap transaksi yang mengandung unsur riba, gharar, atau maysir adalah haram.

Baca Juga: BSI (BRIS) Siapkan Fitur Paylater, Ini Update Progresnya

Fatwa DSN-MUI dan Kepatuhan Syariah

Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) No:116/DSN-MUI/IX/2017 dan No:117/DSN-MUI/IX/2018 memberikan pedoman umum terkait layanan pembiayaan berbasis teknologi informasi yang harus memenuhi prinsip syariah. 

Fatwa ini menekankan bahwa penyelenggara layanan PayLater harus menghindari unsur riba, gharar, maysir, tadlis, dharar, zhulm, dan haram dalam semua transaksi yang mereka fasilitasi.

Selain itu, fatwa tersebut juga mengatur bahwa akad yang digunakan dalam transaksi ini haruslah sesuai dengan prinsip keadilan, keseimbangan, dan kewajaran yang telah diatur dalam syariah serta peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kesimpulan: PayLater dalam Perspektif Ekonomi Islam

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa praktik PayLater dalam Islam masih menimbulkan perdebatan. Di satu sisi, PayLater dianggap sah jika memenuhi syarat-syarat tertentu sesuai dengan prinsip syariah. 

Di sisi lain, terdapat kekhawatiran mengenai potensi pelanggaran terhadap larangan riba dan gharar, yang dapat menjadikan sistem ini haram.

Namun, ada pula pendapat yang mengatakan selama platform yang menyediakan layanan PayLater bisa mengondisikan perjanjian yang jelas dengan memaparkan latar belakang biaya yang harus dikeluarkan peminjam dan peminjam itu telah menyetujui, maka PayLater bisa dipandang sebagai layanan keuangan yang tidak melanggar prinsip syariah. 

Untuk mengatasi ketidakpastian ini, diperlukan kajian lebih mendalam serta pengawasan ketat dari lembaga-lembaga keuangan syariah agar prinsip-prinsip syariah benar-benar diterapkan dalam setiap transaksi. 

Dengan demikian, umat Islam dapat menjalankan aktivitas ekonominya sesuai dengan tuntunan agama, tanpa melanggar hukum-hukum yang telah ditetapkan.