<p>Driver Grab Bike mengenakan Grab Protect pelindung yang membatasi antara pengemudi dan penumpang saat diluncurkan di Jakarta, Senin 8 Juni 2020. Penumpang ojek online (ojol) kini tak perlu khawatir menggunakan transportasi ini di tengah pandemi Corona, Grab memberikan pengamanan dengan Grab Protect bagi pengemudi yang membatasi antara driver dan penumpang untuk meminimalisir kontak penyebaran COVID-19. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia</p>
Transportasi dan Logistik

Menelisik Dampak ketika Pekerjaan Mitra Ojol Diformalisasi

  • Meskipun formalisasi ini tampaknya menawarkan solusi terhadap beberapa masalah yang dihadapi oleh pekerja gig, kebijakan ini juga membawa risiko dan kompleksitas tersendiri yang memerlukan analisis mendalam dan pertimbangan hati-hati.

Transportasi dan Logistik

Idham Nur Indrajaya

JAKARTA - Di era ekonomi digital yang semakin berkembang, platform gig telah menjadi salah satu pilar penting dalam menciptakan peluang kerja bagi masyarakat Indonesia. Untuk diketahui, ekonomi gig adalah sistem ekonomi di mana sekelompok orang melakukan pekerjaan lepas sesuai dengan permintaan perusahaan. Salah satu contoh pekerjaan gig adalah mitra ojek online (ojol).

Namun, seiring dengan meningkatnya popularitas pekerjaan gig, muncul berbagai wacana mengenai perlunya formalisasi pekerja gig demi melindungi hak-hak mereka. 

Meskipun formalisasi ini tampaknya menawarkan solusi terhadap beberapa masalah yang dihadapi oleh pekerja gig, kebijakan ini juga membawa risiko dan kompleksitas tersendiri yang memerlukan analisis mendalam dan pertimbangan hati-hati. 

Hal ini diungkapkan oleh Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Nailul Huda, dalam riset terbarunya.

Kontribusi Ekonomi Platform Gig Terhadap Pengurangan Pengangguran

Menurut Nailul Huda, ekonomi gig memiliki dampak yang signifikan terhadap pengurangan tingkat pengangguran di wilayah yang terlayani platform gig. 

Berdasarkan data empiris, kota dengan kehadiran pekerja gig memiliki tingkat pengangguran yang lebih rendah sebesar 37% dibandingkan dengan kota yang tidak terlayani platform gig. 

"Platform gig terbukti secara empirik mengurangi tingkat pengangguran hingga 37% lebih sedikit di kota-kota atau kabupaten yang terlayani oleh platform ini. Ini menunjukkan bahwa platform gig memiliki kontribusi yang sangat signifikan terhadap kesejahteraan penduduk," ujar Nailul Huda melalui riset yang dikutip Selasa, 3 September 2024. 

Namun, ia juga menambahkan bahwa formalisasi pekerja gig dapat menghambat ekspansi platform gig ke kota-kota lain, terutama kota-kota tier tiga dan empat. 

"Jika formalisasi pekerja gig diterapkan, platform gig mungkin akan kesulitan melakukan ekspansi ke kota-kota lain yang lebih kecil, yang justru sangat membutuhkan peluang kerja baru ini," lanjutnya.

Pengaruh Platform Gig Terhadap Pengurangan Kemiskinan

Selain berkontribusi pada pengurangan pengangguran, platform gig juga terbukti mampu menurunkan tingkat kemiskinan. Nailul Huda mencatat bahwa keberadaan platform gig dapat mengurangi kemiskinan hingga 17%. 

"Dampak dari pengurangan manfaat ekspansi bisnis platform gig ini juga dapat mengarah pada penurunan kemampuan ekonomi daerah dalam mengurangi tingkat kemiskinan di wilayah yang belum terlayani oleh platform gig," jelas Nailul Huda.

Namun, dengan adanya kebijakan formalisasi, potensi penurunan kemiskinan ini dapat terbatas. "Jika formalisasi diterapkan tanpa mempertimbangkan keunikan dari pekerjaan gig, hal ini bisa berdampak negatif terhadap upaya pengurangan kemiskinan di daerah-daerah yang belum terlayani platform gig," tambahnya.

Risiko Kehilangan Fleksibilitas Pekerja Gig

Salah satu daya tarik utama pekerjaan gig adalah fleksibilitas yang ditawarkannya. Pekerja gig dapat memilih kapan dan di mana mereka bekerja, yang memungkinkan mereka untuk menyeimbangkan komitmen lain seperti studi, pengasuhan anak, atau bahkan pekerjaan lain. Namun, Nailul Huda mengingatkan bahwa formalisasi pekerjaan gig dapat menghilangkan fleksibilitas ini.

"Fleksibilitas adalah salah satu aspek utama yang membuat pekerjaan gig menarik. Jika formalisasi diterapkan, ada risiko bahwa pekerja gig mungkin diwajibkan untuk mengikuti jam kerja yang tetap, yang bisa bertentangan dengan kebutuhan dan preferensi mereka," kata Nailul Huda. 

Ia juga menambahkan bahwa kebebasan lokasi kerja juga dapat terancam. "Jika formalisasi mengharuskan pekerja gig untuk bekerja di lokasi tertentu, hal ini bisa mengurangi daya tarik pekerjaan tersebut, terutama bagi mereka yang mengandalkan pekerjaan gig untuk bekerja dari rumah atau lokasi yang berbeda," jelasnya.

Kompleksitas Implementasi Kebijakan Formalisasi

Nailul Huda juga menyoroti kompleksitas yang mungkin muncul dalam implementasi kebijakan formalisasi pekerja gig. Pekerjaan gig mencakup berbagai sektor dan model kerja, mulai dari pengemudi ride-hailing hingga freelancer di bidang kreatif. 

"Implementasi kebijakan yang mencakup semua aspek ini bisa menjadi sangat rumit dan menantang, memerlukan pendekatan yang disesuaikan untuk setiap sektor," ujarnya.

Selain itu, formalisasi juga memerlukan pengembangan sistem administrasi dan monitoring yang lebih kompleks. Ini termasuk pelacakan jam kerja, pembayaran pajak, dan asuransi. "Bagi banyak platform gig, ini bisa menambah beban operasional yang signifikan," tambah Nailul Huda.

Baca Juga: Demo Tuntut Legalitas, Ojol Bisa Kehilangan Fleksibilitas Dengan Jam Kerja Diatur

Dampak Negatif Potensial Terhadap Ekspansi dan Pendanaan Platform Gig

Kebijakan formalisasi yang diterapkan tanpa mempertimbangkan keunikan dari pekerjaan gig dapat memiliki konsekuensi yang tidak diinginkan, termasuk pengurangan kesempatan kerja dan pendapatan bagi pekerja gig itu sendiri. 

"Misalnya, jika perusahaan yang menyediakan platform gig dipaksa untuk menerapkan struktur yang kaku—seperti jam kerja tetap, lokasi kerja yang tidak fleksibel, atau sistem penggajian yang tidak disesuaikan dengan model pembayaran per tugas—ini bisa meningkatkan biaya operasional secara signifikan," jelas Nailul Huda.

Peningkatan biaya operasional ini, menurut Nailul Huda, mungkin tidak hanya mengurangi margin keuntungan perusahaan, tapi juga berpotensi mengurangi jumlah pekerjaan yang tersedia. 

"Dengan naiknya biaya operasional, perusahaan mungkin akan memilih untuk membatasi jumlah pekerja gig yang mereka rekrut atau mengurangi frekuensi dan volume pekerjaan yang mereka tawarkan untuk menghemat biaya. Ini dapat menyebabkan pengurangan kesempatan kerja bagi pekerja gig dan secara keseluruhan, menurunkan potensi pendapatan mereka," paparnya.

Lebih lanjut, Nailul Huda juga menyebutkan bahwa kebijakan formalisasi dapat berdampak negatif pada pendanaan platform gig. 

"Investor dan pemberi dana yang tertarik pada model bisnis gig economy yang ringan dan fleksibel mungkin akan ragu-ragu untuk menanamkan modal jika model tersebut berubah menjadi lebih birokratis dan berat. Tanpa pendanaan yang cukup, perusahaan gig mungkin kesulitan untuk berkembang atau bahkan bertahan, yang pada gilirannya berdampak negatif pada jumlah dan kualitas kesempatan kerja yang tersedia bagi pekerja gig," tambahnya.

Low-Skilled Labor Trap: Tantangan Bagi Tenaga Kerja Berkeahlian Rendah

Selain risiko-risiko di atas, Nailul Huda juga menyoroti potensi jebakan bagi tenaga kerja berkeahlian rendah dalam ekonomi gig—suatu kondisi yang dikenal sebagai "low-skilled labor trap." 

"Dalam kondisi ini, pekerja gig yang berkeahlian rendah mungkin menemukan diri mereka terjebak dalam siklus pekerjaan sementara yang tidak menyediakan jalur untuk pengembangan keterampilan atau kemajuan karier," jelasnya.

Pekerjaan gig seringkali tidak menyertakan pelatihan atau pembelajaran profesional yang berkelanjutan, yang sangat penting untuk pertumbuhan pribadi dan profesional. 

"Dalam konteks ekonomi gig, pekerja mungkin memilih untuk cepat mendapatkan pendapatan dari pekerjaan yang memerlukan keterampilan rendah atau menengah daripada mengejar pendidikan lebih lanjut atau pelatihan yang dapat mempersiapkan mereka untuk pekerjaan formal yang lebih mapan," lanjut Nailul Huda.

Kondisi ini diperparah oleh akses yang terbatas ke peluang pendidikan dan pengembangan keterampilan yang lebih tinggi, yang sering kali diperlukan untuk transisi ke pekerjaan formal yang lebih stabil dan lebih menguntungkan. 

"Fleksibilitas yang menjadi andalan pekerjaan gig, yang memungkinkan individu untuk memilih kapan dan di mana mereka bekerja, seringkali tidak disertai dengan jaminan keamanan finansial yang ditawarkan oleh pekerjaan tradisional," tambahnya.

Kebutuhan Akan Kebijakan Perlindungan Sosial yang Inovatif

Nailul Huda menekankan bahwa kebijakan perlindungan sosial yang ada saat ini, seperti BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan, didesain dengan anggapan bahwa pekerja memiliki pekerjaan tetap dan pendapatan yang stabil. 

"Kekakuan ini menciptakan dilema bagi pekerja gig: di satu sisi, mereka memerlukan perlindungan; di sisi lain, skema yang ada tidak sesuai dengan model kerja mereka yang dinamis," jelasnya.

Menurut Nailul Huda, ada kebutuhan mendesak untuk inovasi dalam kebijakan perlindungan sosial yang tidak hanya fleksibel tapi juga inovatif dan mudah diakses. 

"Kebijakan ini harus dirancang untuk menurunkan 'barrier to entry', memungkinkan pekerja gig untuk dengan mudah mendaftar dan memperoleh manfaat tanpa harus mengorbankan fleksibilitas kerja yang mereka hargai," ujarnya.

Sebagai solusi, Nailul Huda mengusulkan kontribusi asuransi yang disesuaikan dengan pendapatan, di mana premi disesuaikan berdasarkan penghasilan bulanan pekerja gig. 

"Selain itu, paket asuransi yang dapat disesuaikan secara individual, yang memungkinkan pekerja untuk memilih manfaat yang paling relevan dengan kebutuhan mereka, juga bisa membantu," tambahnya.

Pentingnya Pengembangan Keterampilan dan Dukungan Pemerintah

Dalam jangka panjang, Nailul Huda menekankan pentingnya fokus yang lebih besar pada pendidikan tinggi dan pengembangan keterampilan yang lebih tinggi. 

"Pemerintah, bersama dengan lembaga pendidikan dan pelatihan, perlu mengintegrasikan program yang dirancang untuk membantu pekerja gig meningkatkan keterampilan mereka dan mempersiapkan mereka untuk pekerjaan yang lebih formal," jelasnya.

Nailul Huda juga mendorong platform ekonomi gig dan perusahaan untuk berinvestasi dalam pengembangan keterampilan pekerja mereka. "Ini dapat dilakukan melalui penyediaan pelatihan internal atau subsidi untuk kursus eksternal," ujarnya.

Selain itu, pemerintah juga memiliki peran penting dalam mendukung transisi pekerja gig menuju pekerjaan formal. 

"Pemerintah dapat mendukung dengan menyediakan jalur yang jelas dari pekerjaan gig ke pekerjaan formal melalui program pelatihan yang difokuskan pada keterampilan tinggi, serta kebijakan yang mendorong investasi dalam pendidikan dan pengembangan keterampilan yang lebih tinggi," lanjut Nailul Huda.

Kesimpulan

Kesimpulannya, Nailul Huda mengingatkan bahwa formalisasi pekerja gig, meskipun tampak menjanjikan dalam hal melindungi hak-hak pekerja, juga menghadirkan tantangan yang signifikan. 

"Pemerintah perlu berhati-hati dalam merancang kebijakan ini, memastikan bahwa formalisasi tidak mengorbankan fleksibilitas yang membuat pekerjaan gig menarik bagi banyak orang, serta memperhatikan risiko-risiko yang mungkin timbul," ujarnya.

Ia juga menekankan pentingnya keseimbangan antara melindungi pekerja gig dan mempertahankan pertumbuhan ekonomi gig yang berkelanjutan. 

"Kebijakan yang tepat akan memungkinkan pekerja gig untuk menikmati perlindungan sosial yang memadai tanpa kehilangan fleksibilitas yang mereka hargai, serta mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan," pungkasnya.