Menengok Kembali Masa Pemerintahan Habibie Atasi Krisis Ekonomi
Makroekonomi

Menengok Kembali Masa Pemerintahan Habibie Atasi Krisis Ekonomi

  • Selama masa kepemimpinannya yang singkat, hanya 1 tahun 5 bulan, Habibie berhasil meningkatkan nilai tukar mata uang rupiah sebesar 34%, dari Rp16.800 menjadi Rp7.385 per dolar Amerika Serikat (AS).

Makroekonomi

Distika Safara Setianda

JAKARTA - Bacharuddin Jusuf Habibie (BJ Habibie) memang memiliki banyak jasa bagi Indonesia Indonesia. 

Peninggalannya terbesar di berbagai sektor, termasuk teknologi, transportasi, sepak bola, dan perekonomian dalam negeri. Dalam bidang ekonomi, Habibie memainkan peran penting dalam mengatasi krisis ekonomi yang menghantam Indonesia pada tahun 1998.

Selama masa kepemimpinannya yang singkat, hanya 1 tahun 5 bulan, Habibie berhasil meningkatkan nilai tukar mata uang rupiah sebesar 34%, dari Rp16.800 menjadi Rp7.385 per dolar Amerika Serikat (AS).

Setelah menggantikan Presiden Soeharto yang lengser pada Mei 1998, Habibie, saat itu menjabat sebagai Wakil Presiden dihadapkan pada tantangan besar di mana keadaan ekonomi yang porak poranda yang berdampak pada hilangnya kepercayaan publik pada pemerintah.

Namun sayang, mendapatkan jabatan presiden tidak memberikan kenikmatan kepadanya. Sebab, saat menerima jabatan presiden, ia diwarisi kondisi ekonomi yang hancur-hancuran oleh Soeharto.

Di bawah kepemimpinan BJ Habibie, periode pemerintahannya dianggap sebagai masa transisi dari krisis ekonomi menuju proses pemilihan. Saat itu, nilai tukar rupiah mengalami penurunan drastis hingga mencapai titik terendahnya sepanjang sejarah, yakni di level Rp16.800 pada 1 Juni 1998. Hal ini terjadi akibat sentimen negatif pasar yang dipicu oleh krisis ekonomi yang melanda negara Asia lainnya.

Memulihkan Kepercayaan

Selama periode ini, pemerintah menerapkan reformasi kebijakan ekonomi di beberapa sektor guna memulihkan kepercayaan yang terkikis akibat krisis.

Restrukturisasi perbankan dilakukan, termasuk mengkonsolidasikan empat bank pemerintah yang kemudian melahirkan Bank Mandiri. Bagi Habibie, langkah ini krusial dalam memperkuat sektor perbankan komersial untuk menopang perekonomian dan memperkuat Bank Indonesia (BI).

Meskipun menghadapi banyak penentangan, ia mengambil langkah berani dengan memisahkan Bank Indonesia (BI) dari pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999.

Untuk menghasilkan mata uang rupiah yang berkualitas, Bank Sentral harus dapat beroperasi secara objektif, profesional, dan lepas dari campur tangan politik. Langkah ini memberi BI kewenangan untuk intervensi terhadap nilai tukar rupiah.

Langkah berikutnya yang diambil Habibie adalah memulihkan kepercayaan pelaku ekonomi dalam negeri. Untuk mencapai hal ini, kekhawatiran terhadap hiperinflasi harus diredam.

Untuk mengendalikan inflasi, Habibie menerapkan kebijakan moneter ketat, termasuk menerbitkan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dengan tingkat bunga tinggi. Tujuannya, agar masyarakat menyimpan kembali uangnya di bank, mengingat jumlah uang yang beredar di masyarakat pada saat itu berpotensi memicu inflasi.

Habibie juga mempertahankan kebijakan tarif dasar listrik dan BBM bersubsidi agar administered price dapat diturunkan. Hal ini membantu menjaga ketersediaan bahan pokok dengan harga terjangkau bagi masyarakat yang terdampak krisis.

Kombinasi kebijakan ini terbukti efektif dalam menahan laju inflasi, diikuti menurunnya suku bunga SBI turun dari tingkat yang sangat tinggi sebesar 70% menjadi hanya belasan persen. Penurunan suku bunga ini juga membantu bank-bank untuk mengatasi dampak negatif yang alami.

Dalam bidang fiskal, beberapa proyek infrastruktur dibatalkan, juga perlakuan khusus bagi mobil nasional, dan dana dialihkan untuk program Jaring Pengaman Sosial. Di sektor korporasi, restrukturisasi utang swasta dilakukan melalui Indonesian Debt Restructuring Agency (INDRA) dan Prakarsa Jakarta. Selain itu, praktik monopoli yang dilakukan oleh Bulog dan Pertamina dihentikan.

Sementara itu, upaya untuk memperkuat ketahanan ekonomi Indonesia dipercepat, seiring persiapan untuk Pemilu.

“Bersama-sama dengan mulai berhasilnya pembenahan perbankan dan makin banyaknya para pelaku ekonomi yang mulai merasa aman, tenteram dalam melakukan kegiatan sehari-hari, penurunan tingkat suku bunga akan mendorong bangkitnya kembali kegiatan ekonomi dalam negeri,” ujarnya, dikutip dari buku ‘B.J. Habibie: Detik-detik yang Menentukan’ (2006:346).

Stablitas Makroekonomi

Langkah tersebut berhasil menciptakan stabilitas makroekonomi dan menarik minat investor internasional untuk kembali melirik Indonesia sebagai tujuan investasi.

Aktivitas perdagangan di Bursa Efek Jakarta yang sebelumnya lesu, mulai menunjukkan pemulihan. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami kenaikan, melonjak dari level sekitar 200 ke berkisar 500 hingga 600-an. Bahkan, level psikologis 700 sempat disentuh.

Secara bertahap, nilai tukar rupiah juga membaik dan akhirnya mencapai tingkat wajar. Peningkatan nilai tukar ini membantu mengurangi tekanan terhadap inflasi.

“Hingga pada periode Januari-September 1999, laju inflasi hanya mencapai 2%, padahal dalam periode sama tahun sebelumnya mencapai 75,47%,” tukas Habibie saat membacakan laporan pertanggungjawaban di hadapan MPR pada 14 Oktober 1999.

Meski begitu, kebijakan ekonomi yang diterapkan selama masa pemerintahannya tidak luput dari kritik. Beberapa analis menilai penguatan nilai tukar rupiah sebagian besar disebabkan oleh faktor lain di luar Habibie.

Salah satu faktor tersebut adalah aliran modal masuk yang cukup besar ke pasar saham. Hal ini tidak karena kebijakan pemerintah, melainkan karena harga saham di bursa dianggap sudah terlalu rendah dibandingkan harga saham industri sejenis di luar negeri.

Di tengah gonjang ganjingnya situasi polhukam saat itu, pemerintah harus segera mengambil keputusan meski berisiko tinggi. “Situasinya unpredictable. Waktu itu, keadaan Indonesia tidak menentu,” kenang Habibie. “Bisa plus bisa minus. Risiko tinggi, cost tinggi. Cara berpikir saya itu harus berlaku untuk umum. Dalam hal ini saya mencari approximately (rata-rata),” ujarnya.

Ternyata, langkah cepat pemerintah saat itu memberikan hasil. Hanya dalam waktu satu tahun, reformasi ekonomi yang dilakukan telah menghasilkan beberapa dampak. Salah satunya adalah penurunan nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS, dari sebelumnya Rp7.000 menjadi Rp17.000.

Namun, di sisi lain, pertumbuhan ekonomi menunjukkan tanda-tanda perbaikan, dari yang sebelumnya 13% menjadi 2%, angka inflasi pun sukses diturunkan dari 77,6% menjadi 2%.

Selama masa pemerintahan Habibie pula, rupiah berhasil menguat 34,1%, dari Rp11.200 per dolar AS pada 20 Mei 1998 menjadi Rp7.385 pada 20 Oktober 1999. Bahkan, rupiah sempat mencapai level terkuatnya dalam sejarah Indonesia pasca krisis 1997, yaitu pada Rp6.550 per dolar AS pada 28 Juni 1999.