Karyawan beraktivitas dengan latar layar pergerakan indeks harga saham gabungan (IHSG) di gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Rabu, 29 September 2021. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia
Pasar Modal

Menerka Peluang Kesuksesan Rights Issue Bank Mini, Emiten Mana yang Paling Diminati?

  • JAKARTA - Industri perbankan dituntut untuk memiliki modal inti Rp2 triliun pada 2021 dan Rp3 triliun pada 2022 oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Walhasil, ban
Pasar Modal
Muhamad Arfan Septiawan

Muhamad Arfan Septiawan

Author

JAKARTA - Industri perbankan dituntut untuk memiliki modal inti Rp2 triliun pada 2021 dan Rp3 triliun pada 2022 oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Walhasil, bank-bank mini meramaikan bursa lewat berbagai aksi korporasi penambahan modal melalui skema rights issue.

Menurut catatan TrenAsia.com, setidaknya terdapat 10 bank yang tengah melakukan aksi rights issue. Sebagian melakukannya karena terhimpit aturan modal inti, namun lainnya dengan tujuan ekspansi.

Bank tersebut antara lain PT Bank Neo Commerce Tbk (BBYB), PT Bank Capital Indonesia Tbk (BACA), PT Bank Raya Tbk (AGRO), PT Bank Bisnis Internasional (BBSI), PT Bank Amar Indonesia (AMAR), PT Allo Bank Internasional (BBHI). 

Kemudian, PT Bank Ina Perdana Tbk (BINA), PT Bank J Trust Indonesia Tbk (BCIC), PT Bank Oke Indonesia Tbk (DNAR), dan PT Bank Banten Tbk (BEKS). 

Direktur Utama (Dirut) Bank Neo Commerce  Tjandra Gunawan mengatakan aspek permodalan menjadi fokus perseroan pada tahun ini. BBYB diketahui baru saja memperbaharui modal dasarnya dari Rp1,5 triliun menjadi Rp3 triliun. Selain itu, modal inti atau tier 1 BBYB pun diupayakan bertambah dengan rights issue. 

“Untuk modal inti minimum akan terpenuhi setelah rights issue ini rampung dan ini merupakan hal yang penting untuk menunjang bisnis digital perseroan,” kata Tjandra kepada TrenAsia.com, Selasa, 12 Oktober  2021.

Bank yang dimotori PT Akulaku Silvrr (Akulaku) sebagai Pemegang Saham Pengendali (PSP) ini tercatat melakukan ekspansi besar untuk mendorong nasabah ke aplikasi Neo+. Hasilnya tidak mengecewakan, aplikasi tersebut per 12 Oktober 2021 ini telah diunduh lebih dari 10 juta kali.

Angka ini lebih tinggi dibandingkan kompetitornya, PT Bank Jago Tbk (JAGO) dengan aplikasi Jago yang telah diunduh lebih 1 juta kali. Tjandra pun optimistis rights issue lima miliar saham baru dan ekspansi bisa sukses berbarengan.

Aksi penambahan modal ini juga tengah dilakukan oleh PT Bank Ina Perdana.  perseroan melakukan aksi penambahan modal dalam Penawaran Umum Terbatas (PUT) III melalui skema rights issue pada November 2021. Emiten bersandi BINA ini akan melepas 282,71 juta lembar saham baru dengan nilai nominal Rp100.

Harga pelaksanaan rights issue BINA berada di kisaran Rp4.200-Rp4.380 per lembar. Mengacu pada perkiraan harga tersebut, BINA bisa meraup dana paling banyak sebesar Rp1,23 triliun.

“Kami percaya di tengah upaya rights issue ini, pertumbuhan intermediasi perseroan bisa terdorong atau meningkat double digit,” ucap Direktur Utama (Dirut) Bank Ina Daniel Budirahayu saat dihubungi TrenAsia.com, Selasa, 12 Oktober 2021.

Diuntungkan Pembeli Siaga 

Analis BCA Sekuritas Achmad Yaki menilai emiten yang memiliki pembeli siaga dalam rights issue ini memiliki keuntungan lebih. Aksi penambahan modal pun memiliki risiko lebih rendah dibandingkan emiten lain yang hanya mengandalkan investor publik.

“Pembeli siaga atau standby buyer bisa menjadi sentimen positif sehingga emiten tidak hanya mengandalkan investor individu untuk right issue nya,” papar Yaki saat berbincang dengan wartawan TrenAsia.com, Selasa, 12 Oktober 2021.

Seperti diketahui, Pemegang Saham Pengendali (PSP) di Bank Ina, PT Indolife Pensiontama mengumumkan akan menjadi pembeli siaga rights issue perseroan. Serupa, Bank Banten juga melaporkan ada Reliance Group yang akan mengeksekusi rights issue bila tidak terserap oleh investor publik.

Sayangnya, sebagian besar bank mini yang tengah melakukan rights issue tercatat tidak memiliki pembeli siaga. Ambil contoh Bank Capital Indonesia yang harus menggantungkan nasib rights issue kepada investor publik.

Emiten bersandi BACA ini akan melepas paling banyak 20 miliar lembar saham baru dengan nilai nominal Rp100 per saham tanpa adanya pembeli siaga. Pemegang saham itu terdiri dari PT Inigo Global Capital yang mengapit 14,71% saham BACA dan PT Delta Indo Swakarsa yang menggenggam 13,9% saham perseroan. Di sisi lain, KPD Simas Equity Fund yang memiliki 11,06% saham BACA masih belum mengambil keputusan dalam penyerapan rights issue ini. 

Praktis, aksi korporasi ini akan ditentukan oleh minat investor publik dengan komposisi kepemilikan sebesar 60,27%. 

Bakar Duit

Penyerapan rights issue, kata Yaki, menjadi penentu arah bisnis para bank mini tersebut. Pasalnya, sebagian besar bank mini ini memerlukan dana untuk transformasi digital.

“karena mereka harus burning money untuk promosi, ekspansi (Teknologi dan aset), jadi bagus kalo sudah ada stand by buyer-nya karena berarti potensi kebutuhan dana mereka akan lebih mudah terpenuhi,” jelas Yaki.

Sejumlah bank yang tengah bertransformasi ke digital, termasuk bank mini, memang tercatat mengalami peningkatan signifikan beban keuangan. Beban operasional yang terlampau tinggi dalam proses transformasi digital menjadi biang kerok kerugian bank digital.

Bank Jago milik Jerry Ng misalnya, harus merugi Rp47 miliar pada semester I-2021. Hal ini disebabkan mahalnya ‘ongkos’ beban operasional yang melejit 135% menjadi Rp183 miliar pada semester I-2021.

Tidak jauh berbeda, kondisi ini juga dialami oleh Bank Neo Commerce. Rencana menjadi bank digital membuat Bank Neo Commerce berbalik rugi Rp132,85 miliar pada semester I-2021. Padahal, BBYB masih sanggup membukukan laba bersih Rp19,32 miliar pada semester I-2020.

Sama seperti Bank Jago, Bank Neo Commerce juga mengalami tumbukan pada pos beban operasional. Total beban operasional BBYB melesat 253% yoy dari Rp100,27 miliar pada semester I-2020 menjadi Rp277,020 miliar pada semester I-2021.

Lain halnya dengan Bank Capital yang masih mampu menjaga lonjakan beban operasional. Beban operasional di emiten bersandi BACA ini hanya merangkak 31% menjadi Rp241,39 miliar dari sebelumnya Rp184,30 miliar. Walhasil, BACA masih bisa meraup laba bersih Rp11,60 miliar.

Meski begitu, kinerja BACA masih tergolong negatif. Pasalnya, raihan laba pada semester I-2021 itu lebih rendah 77,68% dibandingkan dengan semester I-2020 yang mencapai Rp51,98 miliar.

Hanya ada Bank Raya yang membukukan kinerja stabil pada semester I-2021 ini. Laba bersih calon bank digital ini terbang dari Rp20,04 miliar pada semester I-2020 menjadi Rp26,22 miliar pada semester I-2021.

Meski tengah alami lonjakan pengeluaran, Yaki menilai prospek dari bank mini ini masih cerah. “Selama rugi tidak semakin membengkak dan hutang tidak semakin besar, potensi masih bagus,” tegas Yaki.