<p>Karyawati melayani nasabah di salah satu cabang Bank Negara Indonesia (BNI) di Jakarta, Rabu, 23 Juni 2021. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia</p>
Industri

Meneropong Prospek Bisnis BNI Usai Aksi Akuisisi Bank Mini

  •  JAKARTA - Emiten pelat merah PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk mengakui adanya aksi korporasi akuisisi bank mini. Upaya pertumbuhan kinerja non-organ

Industri

Muhamad Arfan Septiawan

JAKARTA - Emiten pelat merah PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI) mengakui adanya aksi korporasi akuisisi bank mini. Upaya pertumbuhan kinerja non-organik ini ditempuh emiten bersandi BBNI untuk memperkuat digitalisasi bisnis.

Sekretaris Perusahaan BNI Mucharom menyatakan perseroan memiliki kecukupan likuiditas dan modal untuk melancarkan aksi akusisi ini. Hal ini tercermin dari catatan kas dan setara kas BNI yang menyentuh Rp130 triliun pada semester I-2021. 

Tidak hanya itu, Mucharom bilang likuiditas perseroan secara konsolidasi tidak akan terganggu. Pasalnya, Loan To Deposit Ratio (LDR) BNI per Juli 2021 mencapai 87% atau lebih tinggi dibandingkan rata-rata industri yang hanya 80%.

“Jumlah aset likuid akan menyesuaikan dengan rencana ekspansi yang akan dilakukan. Dengan memperhatikan permodalan yang semakin solid, kinerja perusahaan yang semakin baik, bahkan di atas yang sudah diproyeksikan, sehingga perseroan saat ini sudah memasuki tahapan yang lebih serius terkait aksi korporasi tersebut,” ucap Mucharom kepada TrenAsia.com,  Selasa, 19 Oktober 2021.

 

Kini, proses akuisisi ini masih dalam tahap menunggu restu dari pemerintah selaku pemegang saham pengendali (PSP) di BNI. Sebagai informasi, sebanyak 60% saham BNI digenggam oleh pemerintah per semester I-2021.

“Karena semua action perusahaan harus tunduk pada governance yang ada, maka dengan berat hati kami belum dapat sampaikan nama target maupun partner yang akan jalan bersama kami,” jelas Mucharom.

Analis Pasar Modal sekaligus Ekonom LBP Institute Lucky Bayu Purnomo menilai langkah yang ditempuh BBNI ini memiliki implikasi positif terhadap bisnis perseroan. BBNI berpeluang untuk meningkatkan jumlah aset bila berhasil mencaplok bank mini.

“Secara aset pasti akan bertambah dan ini bisa meningkatkan skala bisnis sekaligus sentimen positif bagi stakeholder dan apresiasi pasar akan positif” jelas Lucky saat diwawancarai TrenAsia.com, Selasa, 19 Oktober 2021.

Pada semester I-2021,  total aset BNI  mencapai Rp875,13 triliun atau naik 5% year to date (ytd). Capaian aset ini masih lebih rendah dibandingkan ‘kawan’ BNI di Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) dan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) masing masing sebesar Rp1.450 triliun dan Rp1.429 triliun.

Selain itu, BNI memang juga dibandingkan bank lain di Kelompok Bank Berdasarkan Modal Inti (KBMI) IV.  Modal inti BNI pada paruh pertama ini hanya menyentuh Rp98,53 triliun, kembali lebih rendah dibandingkan Bank Mandiri dan BRI.

Jaring Nasabah Internasional 

Performa bisnis juga berpeluang mengalami peningkatan bila ada bank mini, apalagi bank digital, terkonsolidasi dengan BNI. Calon anak BNI itu secara tidak langsung bisa mendapatkan ‘formula’ atau strategi BNI dalam mengembangkan bisnis perbankan internasional.

Seperti diketahui, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memberi mandat BNI untuk fokus pada bisnis perbankan internasional. Walhasil, BNI tercatat agresif menambah branch di luar negeri seperti  Singapura, Hong Kong, Tokyo, Seoul dan New York, serta satu sub-branch di Osaka dan anak perusahaan di Hong Kong (BNI Remittance).

“Ini kesempatan bagi BNI untuk memperkenalkan digitalisasi, karena bank digital ini tidak terbatas ruang waktu jadi saya kira akan bisa menguntungkan bank digital nya mau pun BNI,” jelas Lucky.

Emiten pelat merah ini, kata Lucky, mesti segera mengembangkan digitalisasi melalui akuisisi bank mini tersebut. Hal ini mesti dilakukan BNI sebelum akhirnya perbankan digital menjadi sebuah kenormalan baru. 

Bila hal itu terjadi, apresiasi pelaku pasar tidak terungkit maksimal serta peta persaingan dengan bank-bank lain akan semakin ketat di segmen mana pun.  “Rata-rata perbankan melakukan program yang sama, harus cepat menangkap momentum, terlebih kan dananya tersedia ya kalau dilihat dari capaian laba tahun kemarin ,” jelas Lucky.

Sumber Dana Akuisisi

Berdasarkan laporan keuangan perseroan, total laba bersih BNI tercatat sebesar Rp 3,28 triliun pada tahun  tahun buku 2020 atau terkontraksi 78,7% year on year (yoy). Meski tengah alami kontraksi, BNI mengakalinya dengan menarik dana segar dari sumber lain. 

Hal ini tampak dari penerbitan BNI Additional Tier 1 Perpetual Non-Cumulative Capital Securities atau Efek Modal AT-1 kepada investor asing.

BNI menyasar dana hingga US$600 juta atau setara Rp8,5 triliun (asumsi kurs Rp14.258,50 per dolar Amerika Serikat). Agar dicaplok investor asing, BNI menawarkan imbal hasil atau yield sebesar 4,3% per tahun.

Distribusi sebesar 4,3% per tahun dalam kerangka penerbitan efek global berdasarkan ketentuan Regulation S ("Reg S"), US Securities Act, yang akan terdaftar di Singapore Stock Exchange. Tidak hanya itu, dana segar lain diperoleh BNI dari uluran tangan pemerintah melalui skema Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp3,5 triliun. 

Hingga kini, hanya BRI yang punya anak usaha yang telah mendeklarasikan sebagai fully bank digital, yakni PT Bank Raya Tbk (AGRO). Sementara itu, Bank Mandiri juga diketahui telah mengumumkan adanya kemungkinan adanya proses akuisisi terhadap bank digital. 

Anak bungsu bank pelat merah, PT Bank Tabungan Negara (Perseo) Tbk (BBTN) tercatat belum memiliki aksi korporasi akuisisi. BBTN kini mengandalkan layanan digital banking melalui beberapa aplikasi untuk menyediakan layanan keuangan bagi nasabahnya tanpa harus datang ke kantor cabang.