(Ki-ka): Dirut BNI Royke Tumilaar, Dirut BRI Sunarso, Wamen BUMN II Kartika Wirjoatmodjo, Dirut Bank Mandiri Darmawan Junaidi dan Dirut BTN Haru Koesmahargyo saat penyampaian paparan Optimisme untuk Indonesia di Jakarta, Kamis, 5 Agustus 2021. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia
Makroekonomi

Mengapa Bank Jumbo Belum Ikut Ketatkan Kebijakan Moneter?

  • Sepanjang periode Oktober 2023 hingga April tahun ini, Bank Indonesia (BI) telah menaikkan suku bunga acuannya, BI Rate, sebesar 50 basis poin ke level 6,25%.
Makroekonomi
Alvin Pasza Bagaskara

Alvin Pasza Bagaskara

Author

JAKARTA – Sepanjang periode Oktober 2023 hingga April tahun ini, Bank Indonesia (BI) telah menaikkan suku bunga acuannya, BI Rate, sebesar 50 basis poin ke level 6,25%. Tapi, kebijakan pengetatan moneter itu tampak belum sepenuhnya disetujui oleh bank-bank khususnya perbankan jumbo. 

Analis Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro dan Evelyn Paramita mengatakan transmisi kebijakan moneter ini, yang mempengaruhi suku bunga simpanan dan imbal hasil pinjaman, diperkirakan baru akan terwujud dalam beberapa bulan mendatang. 

"Hal ini seiring dengan penyesuaian bank terhadap kondisi likuiditas yang ketat," demikian kata kedua analis tersebut dalam hasil risetnya dikutip Jumat, 21 Juni 2024.

Sebagai informasi, PT Bank Central Asia Tbk (BCA) baru saja meningkatkan suku bunga deposito sebesar 50 bps menjadi 3,0% pada 14 Juni 2024 lalu. Penyesuaian ini berlaku untuk deposito berjangka 1 bulan dan 3 bulan dengan nilai di bawah Rp 2 miliar. 

Sebelumnya, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) juga menaikkan suku bunga deposito. Sebaliknya, PT Bank Mandiri Tbk dan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) masih mempertahankan suku bunga deposito sebesar 2%-2,5% untuk deposito dengan tenor kurang dari 3 bulan.

Kendati demikian, Satria dan Evelyn memprediksi bahwa bank-bank besar lainnya kemungkinan akan mengikuti langkah BCA seiring waktu, mengingat pengaruh besar BCA sebagai pemimpin pasar dalam simpanan pihak ketiga.

"Bank-bank besar lainnya belum menyesuaikan suku bunga deposito mereka. Namun kemungkinan besar mereka akan segera mengikuti BCA, mengingat pengaruhnya sebagai pemimpin pasar dalam simpanan pihak ketiga," jelas keduanya. 

BI-Rate Bertahan

Terpisah, Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat FEB Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) memproyeksikan bahwa BI akan mempertahankan suku bunga acuannya di level 6,25% dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) hari ini, Kamis, 20 Juni 2024.

Menurut analisis makroekonomi LPEM FEB UI terkait RDG BI Juni 2024, "Bank Indonesia perlu mempertahankan suku bunga acuan pada level 6,25% pada pertemuan Dewan Gubernur hari ini," dalam riset yang terbit hari ini.

LPEM FEB UI mengungkapkan beberapa alasan mengapa BI diprediksi tidak akan menaikkan BI-Rate pada RDG Juni ini. Meskipun nilai tukar rupiah mengalami pelemahan yang dipicu oleh penguatan dolar AS. 

Namun, kata LPEM FEB UI, dampak penguatan dolar AS tidak hanya dirasakan oleh Indonesia tetapi juga oleh mata uang Asia lainnya seperti Baht Thailand, Ringgit Malaysia, dan Won Korea Selatan yang juga mengalami depresiasi terhadap dolar AS dalam periode yang sama.

Secara year-to-date (ytd), rupiah terdepresiasi sebesar 7,07%, menunjukkan performa yang moderat dibandingkan dengan mata uang lainnya. Namun, peningkatan cadangan devisa Indonesia sebesar US$ 2,8 miliar, dari US$ 136,2 miliar pada April 2024 menjadi US$ 138,97 miliar pada Mei 2024, memberikan dukungan signifikan. 

Cadev Meningkat

Peningkatan ini didorong oleh penerbitan obligasi global, aliran masuk ke pasar obligasi domestik, dan investasi di Sertifikat Bank Indonesia (SRBI). Akibatnya, cadangan devisa saat ini setara dengan 6,3 bulan impor atau 6,1 bulan impor ditambah pembayaran utang luar negeri pemerintah, yang jauh melampaui standar internasional untuk kecukupan cadangan devisa sekitar tiga bulan impor.

Selain itu, inflasi juga menunjukkan tren penurunan dan tetap berada dalam kisaran target Bank Indonesia, didukung oleh berkurangnya permintaan konsumen pasca Idul Fitri dan stabilitas harga bahan pangan pada musim panen.

Meskipun rupiah mengalami depresiasi dalam beberapa minggu terakhir, peningkatan cadangan devisa memberikan dukungan yang kuat terhadap tekanan ini. Selain itu, perbedaan suku bunga dengan Amerika Serikat tetap terkendali, sementara strategi tiga intervensi Bank Indonesia semakin memperkuat stabilitas mata uang.