Mengenal K.R.T Hardjonagoro, Pengusaha Batik Asal Solo yang Jadi Tema Google Hari Ini

Mengenal K.R.T Hardjonagoro, Pengusaha Batik Asal Solo yang Jadi Tema Google Hari Ini

  • Pada Selasa, 11 Mei 2021 Google menampilkan tema batik pada ikon mesin pencariannya. Ikon tersebut ternyata dibuat untuk memperingati hari lahir K.R.T Hardjonagoro.

Rizky C. Septania

JAKARTA – Pada Selasa, 11 Mei 2021 Google menampilkan tema batik pada ikon mesin pencariannya. Ikon tersebut ternyata dibuat untuk memperingati hari lahir K.R.T Hardjonagoro.

Lalu, siapakah soso K.R.T Harjonagoro ini hingga namamya patut diperingati oleh Google?

K.R.T Hardjonagoro merupakan budayawan, sastrawan, sekaligus pengusaha asal Solo.

Punya nama Tionghoa Go Tik Swan, K.R.T Hardjonagoro terlahir sebagai putra sulung dari kalangan priayi kota ini pada 11 Mei 1931.

Sejak kecil, pria yang punya nama kecil Tik Swan ini diasuh oleh sang kakek dari pihak ibunya lantaran kedua orangtuanya selalu sibuk bekerja.

Kakek yang mengasuhnya diketahui memiliki usaha batik dengan empat lokasi pembatikan di Kota Solo.

Empat lokasi pembatikan milik sang kakek terletak di Ngapeman, Kestalan, dan Kratonan. Kala itu, usaha batik milik sang kakek memiliki 1000 orang pekerja.

Hidup dalam lingkungan pembuat batik, Tik Swan menjadi terbiasa dengan kain khas Jawa ini sejak kecil. Saat TK, ia biasa bermain bersama para pengerajin, tukang cap, dan anak-anak yang bertugas membersihkan malam dari kain serta membubuhkan warna pada batik.

Tak hanya itu, Tik Swan diketahui senang mendegar para pekerja menembangkan lagu, mendongeng tentang kisah-kisah Jawa. dari para pekerja pula Tik Swan mempelajari beragam sastra dan kesenian Jawa dan kesenian seperti macapat, pendalangan, gending, aksana hanacaraka, dan tarian.

Kecintaannya pada Budaya Jawa semakin kuat lantaran kediaman sangvkakek dekat dengan tempat tinggal Pangeran Hamidjojo, putra Paku Buwana X yang merupakan indolog lulusan Universitas Leiden, Belanda sekaligus seirang penari Jawa Klasik.

Kala itu, Pangeran selalu mengadakan latihan tari yang sudah mempesona Tik Swan sejak awal. Sekain itu, putra sultan lainnya, Pangeran Prabuwinoti membangkitkan ketertarikan Tik Swan pada seni karawitan.

Memasuki usia sekolah, Tik Swan dikirim ke Neutrale Eurooesche Lagere Schoool untuk memgenyam pendidikan bersama para ningrat dan anak-anak pembesar Belanda.

Ia kemudian melanjutkan pendidikan menengah di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) serta pendidikan menengah atas di VHO (Voortgezet Hooger Onderwijs)yang terletak di Kota Semarang. Setelah lulus, orang tuanya menginginkan Tik Swan kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Indoneaia.

Sayangnya, Ia lebih tertarik pada Budaya Jawa. Alhasil, secara diam-diam Ia mengambil kuliah jurusan Sastra Jawa di Universitas Indonesia.

Pilihannya saat itu sempat membuat sang ayah khawatir akan masa depan anaknya. Sang ayah takut Tik Swan tidak bisa mendapat pekerjaan yang memadai lewat jurusan sastra.

Titik Balik Tik Swan

Pilihannya menempuh pendidikan sebagai mahasiswa jurusan Sastra Jepang membuatnya dekat dengan dua orang pengajar. Mereka adalah Tan Tjoe Siem, seorang sastrawan asal Solo dan Poerbatjaraka, seotang otodidak legendaris.

Ketika belajar di Jakarta, Tik Swan sering berlatih tari Jawa di sana . Dalam perayaan Dies Natalis Universitas Ibdonesia, Ia dan rombongannya bahkan di undang ke istana untuk menyuguhkan seni tari di depan Presiden Indonesia saat itu, Ir. Soekarno.

Tarian yang disuguhkan Tik Swan yang memakai nama panggung Hardjono saat itu memberi kesan baik bagi orang nomor satu Indonesia saat itu. Alhasil Bung Karno terpikat dengan Tik Swan saat itu.

Soekarno kemudian mengetahui bahwa keluarga Go Tik Swan Hardjono sudah punya usaha batik secara turun-temurun. Karena itu, Soekarno kemudian menyarankan agar Tik Swan menciptakan “Batik Indonesia”.

Tik Swan muda pun tergugah. Ia kemudian pulang ke Solo untuk mendalami segala sesuatu tentang batik, termasuk sejarah dan falsafahnya.

Nasib baik memihak Tik Swan. Hubungan akrabnya dengan keluarga kraton Solo memungkinkan Tik Swan Hardjono belajar langsung dari ibunda Susuhunan Paku Buwana XII yang memiliki pola-pola batik pusaka.

Pola-pola batik langka yang tadinya tidak dikenal umum maupun pola-pola tradisional lain digalinya dan dikembangkannya tanpa menghilangkan ciri dan maknanya yang hakiki.

Pola yang sudah dikembangkan itu kemudian diberikan warna-warna baru yang cerah layaknya batik pekalongan.

Batik Pekalongan saat itu memang memiliki warna cerah, namun coraknya tidak sarat makna seperti batik keluaran Solo-Jogja.

Sesangjan Batik khas Solo-Yogya memiliki makna di tiap torehan cantingnya. Namun kain ini cenderung memiliki warna coklat, biru dan putih kekuningan .

Penggabungan dua ciri batik yang berbeda inilah yang akhirnya melahirlah yang produk “Batik Indonesia” Yang hingga kini menjadi produk khas kota Solo bahkan Indonesia.(RCS)