Mengenal Salam Merdeka, Salam Nasional untuk Semua Golongan
- Salam merdeka kembali mencuat setelah Mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memekikkan salam tersebut pada saat upacara peringatan HUT ke-78 RI.
Nasional
JAKARTA - Salam merdeka kembali mencuat setelah Mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memekikkan salam tersebut pada saat upacara peringatan HUT ke-78 RI. Hal itu setelah Anies menyampaikan salam dengan tangan terbuka, yang menjadi sindiran halus bagi kelompok yang sering memekikkan salam merdeka dengan tangan terkepal.
Lantas apa yang dimaksud dengan salam merdeka? Bagaimana asal usul dan filosofi terkait salam yang memekikkan kalimat tersebut? Salam merdeka atau pekik merdeka merupakan salam nasional yang secara yuridis tertuang dalam Maklumat Pemerintah tanggal 31 Agustus 1945.
Melalui maklumat tersebut, salam merdeka resmi menjadi salam nasional dan mulai diberlakukan sejak 1 September 1945. Keberadaan salam tersebut dipopulerkan Presiden Soekarno yang dalam setiap kesempatannya membakar semangat rakyat di masa itu.
Salam merdeka merupakan salah satu kata-kata atau pekikan yang dipopulerkan oleh Bung Karno selain semboyan “Merdeka atau Mati” atau “Sekali Merdeka Tetap Merdeka”. Cara melakukan salam merdeka yaitu dengan mengangkat tangan setinggi bahu, telapak tangan menghadap ke muka, Jari lima bersatu dan bersamaan dengan itu memekikkan kata “Merdeka”.
- Proyek IKN Diproyeksi Rampung Seluruhnya pada 2045
- Pengamat Sebut Transisi Ekonomi Hijau Perlu Didorong Lebih Keras
- Hadiri Presidensi G20 India, Ini Misi Budi Arie
Dalam memberikan salam tersebut, tangan dibuka seperti yang telah dilakukan Bung Karno. Maksud dari hal tersebut yaitu sebagai simbol untuk kesiapan mempertahankan kemerdekaan republik Indonesia yang kala itu masih seumur jagung.
Bung Karno dalam kesempatannya berpidato di Surabaya pada 24 September 1955 menjelaskan perihal filosofi dari salam merdeka yang dipopulerkannya. Presiden pertama RI tersebut menjelaskan jika pekik merdeka merupakan pekik pengikat.
Tidak hanya itu saja, pekik tersebut juga merupakan cetusan dari bangsa yang telah merdeka dan berkuasa sendiri tanpa adanya ikatan penjajahan. Soekarno juga menyatakan jika setiap kali berjumpa satu sama lain sesama orang Indonesia, maka seyognya untuk saling memberikan salam merdeka dengan pekikan “merdeka”.
Bung Karno sendiri pernah menggunakan salam tersebut ketika bertemu orang Indonesia di Singapura dalam perjalanan hajinya dan dianggap kurang pantas karea mengucapkan di luar Indonesia.
- Proyek IKN Diproyeksi Rampung Seluruhnya pada 2045
- Pengamat Sebut Transisi Ekonomi Hijau Perlu Didorong Lebih Keras
- Hadiri Presidensi G20 India, Ini Misi Budi Arie
Meski demikian, berdasarkan filosofinya tersebut, Soekarno menyatakan jika bertemu dengan sesama orang Indonesia dan berucap salam tersebut tidaklah mengapa. “Pendek kata jikalau orang Indonesia bertemu dengan orang Indonesia, selalu memekikkan pekik Merdeka,” ujar Bung Karno saat itu.
Dalam pidatonya di Surabaya tersebut, Soekarno juga membeberkan jika salam tersebut digunakan untuk seluruh golongan. Bung Karno menjelaskan bahwa selaku umat Islam dirinya mengucapkan Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarkatuh kepada sesama.
Namun sebagai warga negara, Soekarno mengucapkan salam merdeka kepada semua golonngan tanpa terkecuali. Keberadaan salam tersebut mulai jarang digunakan ketika memasuki era orde baru.
Pada masa itu terjadi proses depolitisasi dan de-Sukarnoisme sehingga menyebabkan salam ini identik terhadap partai politik yang berafiliasi dengan PNI (partai bentukan Soekarno sejak 1927) ataupun segala gerakan yang berada di bawah partai tersebut.
Meski mulai kurang populer di kalangan masyarakat, secara yuridis penggunaan salam merdeka sebagai salam nasional masih sah dilakukan mengingat secara aturan hukum belum ada presiden yang mencabut Maklumat Pemerintah tanggal 31 Agustus 1945.