Mengenal Tradisi Makepung yang Didorong Gubernur Bali Jadi Potensi Pariwisata
- Penjabat (Pj) Gubernur Bali Sang Made Mahendra Jaya baru-baru ini mendorong agar tradisi makepung khas Jembrana menjadi potensi lokal pariwisata di Bali.
Nasional
JAKARTA - Penjabat (Pj) Gubernur Bali Sang Made Mahendra Jaya baru-baru ini mendorong agar tradisi makepung khas Jembrana menjadi potensi lokal pariwisata di Bali.
Dikutip dari Antara, pernyataan ini disampaikannya saat dirinya menghadiri Lomba Makepung Gubernur Cup 2023 pada Senin, 20 November 2023.
“Selain sebagai ekspresi seni budaya tradisional yang wajib dilestarikan dan dikembangkan, makepung juga merupakan daya tarik wisata yang potensial, karena ciri khas dan keunikannya yang tiada duanya di Bali dan bahkan di tingkat nasional dan internasional,” kata orang nomor satu di Pemprov Bali itu.
Jadi apa itu tradisi makepung?
Dikutip TrenAsia.com dari laman Warisan Budaya Takbenda Indonesia pada Selasa, 21 November 2023, Makepung adalah atraksi balapan kerbau berasal dari Kabupaten Jembrana, Bali.
Kata Makepung berasal dari kata makepung-kepungan (bahasa Bali) artinya berkejar-kejaran, inspirasinya muncul dari kegiatan tahapan proses pengolahan tanah sawah yaitu tahap melumatkan tanah menjadi lumpur dengan memakai lampit.
- KAI Divre III Palembang Siapkan 40.248 Tiket untuk Libur Nataru
- PT INTI Kebut Kolaborasi Strategis
- Sambut Natal dan Tahun Baru, BRI Siapkan Kas Rp25,2 Triliun
Lampit ditarik oleh dua ekor kerbau dan sebagai alat penghias kerbau, maka pada leher kerbau tersebut dikalungi gerondongan (gongseng besar) sehingga apabila kerbau tersebut berjalan menarik lampit maka akan kedengaran bunyi seperti alunan musik.
Karena bekerja gotong royong maka ada banyak lampit yang masing-masing ditarik oleh dua ekor kerbau yang ditunggangi oleh seorang joki duduk di atas lampit.
Atraksi ini dikenal masyarakat sekitar tahun 1920-an. Atraksi Makepung di sawah ini berkembang sekitar tahun 1930 dan ada di masing-masing desa yang jokinya berpakaian seperti prajurit kerajaan di Jembrana zaman dahulu, yaitu memakai destar, selendang, selempod, celana panjang,saput poleng (warna hitam putih), tanpa alas kaki dan membawa pecut.
Dalam perkembangannya, Makepung kemudian dilakukan di jalanan yang ada di sekitar sawah. Jalan tanah berpasir merupakan lokasi favorit untuk balapan. Lintasan seperti ini mengharuskan peserta makepung melakukan beberapa perubahan agar balapan berlangsung lebih efektif.
Hal unik yang membuat Makepung menjadi sebuah tontonan yang seru dan menarik, adalah ekspresi seorang joki yang berada di atas cikar dan sedang memberi semangat pada kedua kerbaunya dengan meneriakkan yel-yel daerahnya masing-masing.
Selain itu, dalam setiap lomba hampir selalu ada joki yang gagal mengendalikan kerbaunya. Hal ini kerap terjadi saat ada peserta yang akan menyalip peserta lainnya dan saat kerbau lepas kendali, ia pun akan keluar lintasan dan akhirnya terperosok ke petakan sawah ataupun terbalik sehingga membuat penonton bersorak-sorai.
Keberadaan makepung sebagai kompetisi dan potensi wisata menurut PJ Gubernur Bali dapat membawa dampak positif bagi sektor pertanian dan peternakan khususnya pelestarian kerbau.
Selain itu makepung juga berpotensi untuk memberdayakan masyarakat serta menciptakan kesempatan usaha, bekerja, dan berinvestasi.