Bangunan yang terbakar usai peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984. (Wikipedia)
Nasional

Mengenang 40 Tahun Peristiwa Tanjung Priok

  • Peristiwa Tanjung Priok tak kunjung menemukan jalan keluar meski sudah genap 40 tahun dan telah menuju proses pengadilan HAM internasional.

Nasional

Ilyas Maulana Firdaus

JAKARTA — Peristiwa Tanjung Priok tak kunjung menemukan jalan keluar meski sudah genap 40 tahun dan telah menuju proses pengadilan HAM internasional. Tanggal 12 September 2024 memperingati 40 tahun pelanggaran HAM berat yang mengubah wajah politik Indonesia tersebut. 

Insiden yang terjadi pada 12 September 1984 di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta ini mencerminkan ketegangan yang memuncak antara aparat keamanan dan warga sipil, serta dampaknya terhadap dinamika politik dan sosial Indonesia.

Pada tanggal tersebut, wilayah Pelabuhan Tanjung Priok menjadi lokasi kekerasan yang melibatkan pasukan militer dan kepolisian dengan demonstran. Demonstrasi yang dilakukan oleh sejumlah kelompok masyarakat dan pekerja pelabuhan awalnya dimaksudkan sebagai aksi protes terhadap kebijakan pemerintah saat itu. 

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mencatatkan  korban jiwa yang diperkirakan sekitar 64 orang menjadi korban penganiayaan, 23 orang meninggal, dan 169 orang ditahan sewenang-wenang. 

Berita mengenai insiden ini cepat menyebar, memicu reaksi keras dari berbagai kalangan, termasuk aktivis hak asasi manusia, lembaga internasional, dan masyarakat luas. Pemerintah saat itu mengklaim bahwa tindakan keras tersebut adalah respons terhadap tindakan provokatif dari demonstran. 

Namun banyak pihak menilai bahwa penanganan yang dilakukan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia dan hukum internasional. Sebagai imbas dari peristiwa ini, pemerintah menghadapi kritik domestik dan internasional yang intens. 

Kasus ini kemudian menjadi sorotan dalam diskursus tentang hubungan sipil-militer di Indonesia serta hak-hak dasar masyarakat. Banyak pihak yang menuntut pertanggungjawaban dan reformasi untuk mencegah terulangnya peristiwa serupa di masa depan. 

Sejak saat itu, berbagai upaya dilakukan untuk mengkaji ulang dan memperbaiki kebijakan penegakan hukum dan hubungan antara aparat keamanan dan masyarakat.

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Amnesty International Indonesia, dan Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI), pada 12 September 2019 melakukan siaran pers dan memandang bahwa peristiwa ini harus terus diingat karena para korban tindak kekerasan belum mendapatkan hak atas kebenaran dan pemulihan secara adil. 

Mereka meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) melakukan inisiasi pemulihan kepada korban dan keluarganya, meskipun sudah ada mekanisme pengadilan untuk kasus ini. Selain itu, Kontras meminta Pemerintah Provinsi Jakarta untuk segera melakukan memorialisasi sebagai bentuk ungkapan kebenaran terhadap kasus ini. 

Kontras menjelaskan pada tahun 2001, Pengadilan HAM ad hoc tingkat pertama memutuskan bersalah 12 terdakwa pelanggar HAM dan memerintahkan negara memberikan ganti rugi kepada korban. 

Namun, setelah terdakwa mengajukan banding, Pengadilan Tinggi membebaskan mereka. Pada tahun 2006, Mahkamah Agung menolak permintaan jaksa untuk membatalkan putusan tersebut dengan alasan kasus tersebut bukan pelanggaran HAM.

Jaksa juga gagal dalam mengungkap peran perencana, menyusun dakwaan, dan melindungi saksi dan korban. Di luar pengadilan, beberapa terdakwa menawarkan islah, menyebabkan sebagian korban dan saksi menarik kesaksian mereka.

Sebelumnya pada Januari 2023 di Istana Merdeka, Jokowi selaku Presiden Indonesia menyatakan dan mengakui bahwa adanya 12 peristiwa pelanggaran HAM berat di masa lalu. 

Namun Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) pada Januari 2023, menyatakan statement Jokowi tidak menjadi jawaban akan permasalahan pelanggaran HAM bila tidak ada langkah konkret untuk menyelesaikannya.