Ilustrasi perusahaan rintisan alias start up unicorn dan decacorn di Asia Tenggara, termasuk Indonesia / TrenAsia-Deva Satria
Fintech

Mengintip Seberapa Merdeka 1 Decacorn dan 6 Unicorn Indonesia dari Investor Asing

  • Meskipun sudah mengharumkan nama Indonesia di kancah ekonomi digital global, namun rupanya investor domestik belum sepenuhnya menguasai start up besutan anak negeri.
Fintech
Ananda Astri Dianka

Ananda Astri Dianka

Author

JAKARTA – Di usianya yang menginjak 76 tahun lebih dua hari, etalase ekonomi Indonesia terpantau mulai diisi oleh perusahaan rintisan berbasis digital (start up). Teranyar, putra putri Indonesia berhasil menelurkan 1 decacorn (startup dengan valuasi US$1 miliar) dan 6 unicorn (start up dengan valuasi US$10 miliar).

Satu-satunya decacorn yang dimiliki Indonesia saat ini adalah PT Aplikasi Karya Anak Bangsa alias Gojek Indonesia. Gojek juga menjadi start up pertama menyabet gelar unicorn pada 2017. Sedangkan, keenam unicorn asal Indonesia adalah PT Bukalapak.com Tbk (BUKA), Tokopedia, PT Trinusa Travelindo (Traveloka), OVO, J&T, dan OnlinePajak. 

Setelahnya, ada tingkatan lebih tinggi yang bernama hectocorn (start up dengan valuasi US$100 miliar). Kategori ini belum ada di Indonesia, sedangkan di dunia, contoh perusahaan dengan valuasi sebesar itu adalah Facebook, Google, Microsoft, sampai Apple.

Meskipun sudah mengharumkan nama Indonesia di kancah ekonomi digital global, namun rupanya investor domestik belum sepenuhnya menguasai start up besutan anak negeri. Faktanya, pendanaan start up Indonesia masih didominasi oleh investor asing.

Di dalam negeri, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah perusahaan modal ventura di Indonesia cenderung fluktuatif selama lima tahun terakhir. Hingga 2021, jumlahnya sebanyak 61 entitas, bertambah satu perusahaan dibandingkan dengan 2019.

Padahal, jumlah perusahaan modal ventura sempat mencapai 66 entitas pada 2016. Lalu bertambah menjadi 67 entitas setahun berikutnya. Namun, pada 2018 hingga 2019 jumlahnya berkurang.

Asal tahu saja, modal ventura adalah badan usaha yang melalukan usaha pembiayaan atau penyertaan modal ke dalam suatu perusahaaan penerima bantuan dalam jangka waktu tertentu.

Start up Banjir Investasi

Kolaborasi dua start up raksasa Indonesia, Gojek dan Tokopedia / Dok. Gojek

Laporan Cento Ventures  bertajuk SE Asia Tech Investment FY 2020 menunjukkan, pendanaan ke start up Asia Tenggara turun 3,5% secara tahunan (year on year/yoy) menjadi US$8,2 miliar tahun lalu. 

Investasi ke perusahaan rintisan Indonesia merupakan yang terbesar, yakni 70%. Penurunan pendanaan 3,5% yoy lebih kecil dibandingkan India yang mencapai 31% dan Afrika 38%.

Berdasarkan nilainya, Indonesia berkontribusi 70% terhadap total pendanaan. Lalu Singapura (14%), Malaysia (5%), Thailand (5%), Vietnam (4%), dan Filipina (2%). Sedangkan dari sisi jumlah kesepakatan investasi, Singapura memimpin dengan porsi 37%. Lalu Indonesia (27%), Vietnam (14%), Malaysia (12%), Thailand (6%), dan Filipina (5%).

Besarnya nilai investasi yang diperoleh perusahaan rintisan Indonesia ditopang oleh start up jumbo. Hampir setengah dari dana yang terkumpul masuk ke unicorn termasuk Grab Holdings, Gojek, Bukalapak, dan Traveloka. Cento Ventures mencatat, pendanaan lebih dari US$100 juta menyumbang 57% dari total investasi.

Tak Jeli Lihat Potensi, Investor Domestik Telat 

Ilustrasi perusahaan rintisan alias strat up Indonesia yang menyandang gelar unicorn dan decacorn pada 2020. / Foto: Mime.asia

Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira membenarkan, start up dalam negeri masih didominasi oleh investor asing. Bukan tanpa alasan, sebab pada awal masa kemunculannya di Indonesia, start up masih dianggap sebagai bisnis yang berisiko tinggi oleh lembaga pembiayaan seperti perbankan.

Kala itu perbankan belum bisa menganalisis prospek bisnis start up di  masa depan, terutama lagi era ekonomi digital tak semaju sejak pandemi COVID-19 melanda dunia. Walhasil, lembaga keuangan maupun investor domestik enggan berinvestasi di start up.

“Itulah anggapan lima tahun lalu, sehingga mau tidak mau start up mencari pendanaan dari investor asing,” kepada TrenAsia, Rabu 18 Agustus 2021.

Gayung bersambut, investor asing justru menyambut start up Indonesia dengan tangan terbuka. Satu per satu start up lokal mendapat injeksi modal dari berbagai modal ventura asing. Kejelian investor asing melihat potensi start up inilah yang pada akhirnya berperan membesarkan start up Indonesia hingga kini menjelma menjadi decacorn.

Kabar baiknya, pandemi COVID-19 seolah membuka mata serta mengubah konstelasi perekonomian Indonesia. Kini, ekonomi digital alias new economy digadang-gadang akan melengserkan old economy dari berbagai sektor konvesional.

Tercermin dari fenomena banyaknya konglomerasi dan perbankan yang mulai gencar menabur investasinya di start up lokal. Bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pun kini memiliki cabang bisnis di bidang modal ventura.

“Meskipun terbilang relatif terlambat, namun lembih baik memang start up kita didominasi oleh investor domestik,” lanjut Bhima.

Mengapa? 

Pertama, ketika start up mulai menghasilkan profit, keuntungan tersebut cenderung lebih banyak dibawa keluar dari Indonesia menuju negara asal investornya masing-masing. Keluarnya devisa dari tiap pembagian profit ke investor asing bisa mengakibatkan tekanan nilai tukar rupiah dan memengaruhi neraca pembayaran Indonesia.

Kedua, muncul kekhawatiran start up lokal akan menjadi saluran barang-barang impor dari negara asal investor. Suntikan modal ke start up dianggap sebagai salah satu jalinan rantai distribusi produk asing ke Indonesia. 

“Itu sudah terjadi, kenapa e-commerce banyak barang impor? Karena ada ketergantungan modal dari asing, sedangkan investor luar punya kepentingan untuk penetrasi barang impor di Indonesia,” terang Bhima.

‘Memerdekakan’ Start up dari Investor Asing

Pengunjung mengantre dengan latar belakang promo 50% Cashback ShopeePay Day di Drive Thru McDonald’s Salemba, Jakarta Pusat, Jum’at, 18 Desember 2020. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia

Momentum meleknya mata investor domestik perlu dijaga agar menjadi tren yang terus meningkat. Sinyal-sinyal penguatan investor domestik sejatinya sudah terlihat dari aksi penawaran saham perdana (initial public offering/IPO) Bukalapak awal bulan lalu. 

Meski pemegang sahamnya masih diwarnai oleh asing, namun antusiasme investor ritel atau publik juga tak bisa dinafikan. Buktinya, Bukalapak mengalami kelebihan permintaan (oversubscribed) saat bookbuilding. Sehingga, Bukalapak harus menambah porsi pooling allotment bagi investor ritel dari semula 2,5% ke 5% dari total pemesanan yang tersedia.

Bhima melihat fenomena tersebut sebagai sinyal positif, namun ia juga menjelaskan bahwa IPO bukan satu-satunya cara agar investor domestik bisa mendanai start up

“Pertama lewat pendaan tertutup, artinya pelepasan saham tanpa IPO yang biasanya dilakukan oleh start up pemula. Kedua, penerbitan surat utang atau obligasi dalam bentuk rupiah/ valas. Ketiga ada special purpose acquisition company (SPAC), dan keempat pembiayaan dari perbankan/ lembaga keuangan.”

Lebih lanjut, Ketua Indonesia Fintech Society (IFSoc), Mirza Adityaswara menilai, penerapan Multiple Voting Shares (MVS) atau saham dengan hak suara multipel (SHSM) sangat diperlukan oleh pasar modal Indonesia untuk mendukung perusahaan-perusahaan unicorn tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI).

Saat ini, BEI tengah menyiapkan sejumlah regulasi untuk mengakomodasi unicorn agar segera melakukan IPO di pasar modal Indonesia. Salah satu aturan yang tengah digodok oleh regulator pasar modal yakni peraturan mengenai SHSM tersebut.

Mirza menyampaikan, aturan SHSM juga dapat mengakomodasi aturan Bank Indonesia (BI) terkait dengan kepemilikan asing di perusahaan-perusahaan teknologi finansial atau payment system. Dengan diperbolehkannya MVS atau SHSM maka pemodal asing dapat memiliki 85% saham di perusahaan payment system di Indonesia, tapi hak suaranya dibatasi hanya 49%.

Unicorn memiliki keahlian dan inovasi untuk mengembangkan perusahaan ekonomi digital. Akan tetapi, kemampuan dana terbatas, sedangkan perusahaan masih perlu mendapatkan injeksi modal untuk berkembang,” kata Mirza dalam keterangan resmi, Rabu 18 Agustus 2021.

Sepakat dukung unicorn untuk IPO, Bhima berpesan agar penyelenggarannya tetap memperhatikan keamanan dan prospek bisnis ke depan. Ia tak ingin kejadian bubble dot com alias gelembung dot com pada era 2000-an kembali terjadi.

Di mana saat itu, banyak perusahaan teknologi digital yang ‘latah’ IPO, namun akhirnya hanya gugur satu per satu dan menimbulkan kerugian bagi investornya. Perusahaan yang bangkrut itulah yang diibaratkan sebagai gelembung yang pecah dan lenyap begitu saja.

“Investor terutama ritel juga harus lihat kinerja, prospek, peta persaingan, karena start up itu relatif berbeda valuasi dibandingkan dengan perusahaan konvensional. Ada yang start up masih merugi tapi prospeknya bagus,” terang Bhima.

Jejak investasi di decacorn dan unicorn Indonesia

 

Gojek

Didirikan pada 2010 oleh oleh Nadiem Anwar Makarim beserta dua rekannya, Kevin Aluwi, dan Michaelangelo Moran, Gojek diketahui mendapatkan suntikan dana pertama dari beberapa venture capital company, antara lain NSI Ventures, Sequoia Capital dan DST Global.

PT Astra International Tbk (ASII) pun diketahui turut mendanai decacorn super app ini dengan nilai US$136 juta atau sekitar Rp2 triliun. Pendanaan itu adalah investasi terbesar sepanjang sejarah raksasa otomotif Grup Astra di dunia digital.

Penyedia teknologi pembayaran asal Amerika Serikat, Visa juga disebut-sebut memberikan dana segarnya kepada Gojek. Hal itu sekaligus menambah jajaran investor utama Gojek dalam pendanaan Seri F Gojek setelah Mitsubishi, Google, JD.com, dan Tencent.

Selain itu, perusahaan milik orang terkaya di dunia, Amazon diduga sempat bernegosiasi untuk terlibat dalam putaran pendanaan itu. Meski belum jelas terkonfirmasi, namun pada Juni 2020, Gojek menunjuk Severan Rault, mantan eksekutif Amazon, sebagai Chief Technology Officer (CTO).

Selain nama-nama di atas, masih ada beberapa investor yang terdaftar menjadi investor Gojek. Mereka adalah Unilever Swiss Holding, PT Pusaka Citra Djokosoetono (Group Blue Bird), SMDV II SG Pte Ltd, PT Mandiri Capital Indonesia, dan  Pegasus Tech Ventures.

Bukalapak

Bukalapak merupakan perusahaan rintisan unicorn di bidang e-commerce kedua setelah Tokopedia. Start up ini didirikan oleh Achmad Zaky, Nugroho Herucahyono dan Fajrin Rasyid, 10 tahun yang lalu. Saat ini tampuk kepemimpinan perusahaan dipegang oleh Rachmat Kaimuddin.

Bukalapak memiliki empat pemegang saham utama yakni, PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (Emtek), Ant Financial (Alipay), GIC Singapura, dan Mirae Asset-Naver Asia Growth Fund.

Diketahui bahwa konglomerat media Emtek milik Eddy Kusnadi Sariaatmadja memiliki 49,21% saham Bukalapak melalui pendanaan seri B dengan total pendanaan senilai US$20 juta. Terdengar kabar bahwa Emtek telah mendanai start up e-commerce ini sejak setahun sebelumnya, yaitu pada tahun 2014 dengan nilai investasi US$2,2juta.

Daftar investor selanjutnya datang dari Ant Financial atau dikenal dengan Alipay. Merupakan anak usaha Alibaba Group yang bergerak di bidang teknologi finansial, Ant Financial menjadi investor utama dalam ronde pendanaan senilai US$1,1 miliar atau lebih dari Rp16 triliun pada Agustus 2017.

Pendanaan Bukalapak selanjutnya bersumber dari Mirae Asset Naver Asia Growth Fund dan GIC Singapura. Mirae Asset merupakan perusahaan yang bergerak di sektor finansial. Sementara, Naver bergerak di bisnis internet, termasuk platform chatting Line.

Tahun lalu, melalui putaran pendanaan seri F perusahaan, Shinhan GIB dari Korea Selatan turut mengambil bagian dalam mendanai e-commerce dengan warna khas ungu ini. Shinhan GIB adalah unit perbankan investasi terintegrasi dari Shinhan Financial Group (SFG) asal negeri K-Pop. 

Kemudian, Bukalapak disebut-sebut mendapatkan investasi US$100 juta dari Microsoft Corp dan GIC Pte. Awal tahun ini, e-commerce itu juga dikabarkan memperoleh dana segar US$200 juta atau sekitar Rp2,8 triliun dari Standard Chartered Plc.

Tokopedia

Berdiri pada 2009, marketplace yang didirikan oleh William Tanuwijaya berhasil mendapatkan investasi pertamanya dari PT Indonusa Dwitama senilai Rp2,4 miliar.

Setelah beroperasi, e-commerce berwarna hijau itu kembali mendapatkan suntikan dana dari sebuah perusahaan modal ventura asal Singapura, East Ventures. Dana segar diberikan pada saat Tokopedia membuka putaran pendanaan seri A.

Pada pendanaan seri B, venture capital company lainnya menyusul East Ventures yang terlebih dulu mendukung Tokopedia. Nama CyberAgent Venture diketahui turut mendanai e-commerce yang identik dengan warna hijau ini dengan nilai lebih dari Rp10 miliar.

Pada 2012, melalui pendanaan seri C, Tokped berhasil mengumpulkan sejumlah modal tambahan dari perusahaan modal ventura Beenos Partner.

Di putaran pendanaan selanjutnya, perusahaan yang berbasis di Jepang yaitu Softbank Group juga ikut serta mendanai Tokopedia. Langkah Softbank kemudian disusul oleh Sequoia Capital yang berasal India untuk berinvestasi di platform itu.

Pada 2017, tepatnya 8 tahun setelah didirikan, Tokopedia mengumumkan telah menerima suntikan dana segar dari Alibaba Group senilai US$1,1 miliar atau lebih dari Rp16 triliun. Pendanaan seri F ini sekaligus membawa Tokopedia berstatus unicorn.

Pada 2020,  Tokopedia memperoleh pendanaan sekitar US$500 juta atau sekitar Rp7,1 triliun dari investor asal Singapura, Temasek. Suntikan dana itu disebut sebagai bagian dari putaran pendanaan platform e-commerce tersebut.

Traveloka

PT Trinusa Travelindo atau dikenal dengan nama Traveloka merupakan start up penyedia layanan perjalanan berbasis online (Online Travel Agent/OTA). Perusahaan rintisan ini didirikan oleh Ferry Unardi, Derianto Kusuma, dan Albert Zhang pada 2012.

Saat ini diperkirakan valuasi saham Traveloka mencapai lebih dari US$2 miliar atau setara dengan Rp28 triliun. Butuh waktu kurang lebih lima tahun bagi OTA ini untuk memiliki saham di atas US$1 miliar atau Rp14 triliun setelah beberapa investor kelas kakap mendanai perusahaan tersebut.

East Ventures, Hillhouse Capital Group, Expedia, JD.com dan Sequoia Capital merupakan jajaran investor Traveloka. Traveloka juga mengumumkan perolehan investasi US$250 juta atau sekitar Rp3,6 triliun. Salah satu institusi keuangan global terlibat dalam putaran pendanaan ini. Investor terdahulu (existing investor) seperti EV Growth berpartisipasi.

Di tengah terpaan krisis akibat pandemi, santer kabar bahwa perusahaan sedang melakukan negosiasi lanjutan dengan sejumlah investor besar lainnya seperti Commercial Bank Pcl, FWD Group Ltd., dan GIC Pte. Dari rencana crowdfunding ini, Traveloka menargetkan dana segar sebanyak US$250 juta atau sekitar Rp3,6 triliun.

Kabar terakhir, Chief Executive Officer Traveloka Ferry Unardi menuturkan Traveloka akan melakukan IPO melalui SPAC. 

OVO

PT Visionet Internasional atau OVO merupakan startup layanan keuangan digital yang diluncurkan pada Maret 2017. Perusahaan ini merupakan rintisan Lippo Group yaitu LippoX.

Pada awalnya, layanan OVO digunakan untuk memfasilitasi sejumlah perusahaan Lippo lainnya seperti Hypermart dan juga RS Siloam. Barulah pada 2018, Tokyo Century memberikan investasi sebesar US$120 juta atau setara Rp1,7 triliun untuk membesarkan OVO melalui Lippo Group.

Pada Juli 2018, OVO mengumumkan kemitraan strategis dengan beberapa perusahaan kakap Indonesia. Perusahaan yang digandeng antaralain Bank Mandiri, Alfamart, Grab, dan Moka. Kemitraan baru ini, bersama dengan kemitraan yang telah dijalin dengan jaringan Lippo, menjadikan OVO sebagai platform pembayaran dengan penerimaan terluas di Indonesia.

Untuk memperluas basis penggunanya, OVO juga mengumumkan kerja sama dengan platform belanja online Tokopedia pada bulan November di tahun yang sama. Tokopedia resmi menggandeng OVO sebagai digital payment pengganti Tokocash. Start up Indonesia di bidang e-wallet ini resmi menyandang status unicorn pada 2019 lalu. 

J&T

J&T Express didirikan pada tanggal 20 Agustus 2015 oleh founder sekaligus owner J&T Express Jet Lee. J&T yang memiliki nama resmi PT Global Jet Express mulai beroperasi pada awal September 2015. Perusahaan ini memiliki kantor pusat di Pluit, Jakarta Utara.

Sebelumnya, Jet Lee adalah CEO Oppo Indonesia dan telah membangun jaringan selama 3 tahun. Ia memutuskan mundur dari jabatan tersebut dan mendirikan J&T Express. Bersama dengan Tony Chen, founder Oppo lainnya mereka menginvestasikan dana awal Rp400 miliar untuk J&T Express.

The Information melaporkan bahwa J&T Express mendapatkan pendanaan lebih dari US$2 miliar pada 5 April. Investor yang berpartisipasi yakni PE China Hillhouse Capital, Boyu Capital, dan Sequoia Capital China.

OnlinePajak

Start up perpajakan daring OnlinePajak berhasil menjadi unicorn ke-7 di Indonesia. Menurut laporan terbaru CB Insight, valuasi OnlinePajak berhasil menembus US$1,7 miliar atau Rp24,64 triliun (asumsi kurs Rp14.498,50 per dolar Amerika Serikat).

OnlinePajak “naik kelas” menjadi unicorn seusai menghimpun pendanaan seri C senilai US$12 juta atau setara Rp173 miliar. Menurut laporan Venture Cap, Tencent dikabarkan menjadi pemimpin putaran pendanaan seri C di start up yang menawarkan Service as a solution (SaaS) tersebut.

OnlinePajak hanya butuh dua tahun untuk masuk dalam putaran pendanaan seri C. Pasalnya, start up ini baru saja meraih pendanaan seri A dari Alpha JWC Ventures pada 2017.

Alpha JWC Ventures kemudian dikabarkan berpartisipasi dalam pendanaan seri B OnlinePajak pada 2018. Nama investor lain yang masuk pada pendanaan Seri B adalah Sequoia capital dan Primedge.

Setelah itu, terdapat total delapan investor yang bergabung dalam pendanaan seri C OnlinePajak di tahun ini. Untuk diketahui, start up Online Pajak berdiri sejak 2015 dan menawarkan solusi end-to-end perpajakan,

OnlinePajak mengadopsi Teknologi blockchain through Aplikasi Yang dikembangkan Oleh Achilles Advanced System. Start up yang didirikan oleh Charles Guinot ini telah menjadi mitra resmi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu).