Lanskap pemukiman dengan latar gedung beetingkat di Jakarta. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia
Nasional

Menguji Klaim Jokowi Soal Keberhasilan Bangun Ekonomi

  • Jokowi dinilai masih terpaku pada pembangunan ekonomi berbasis pertumbuhan, tanpa mempedulikan efek sosial, ekonomi dan ekologis yang bisa berdampak bagi masyarakat dalam jangka panjang.
Nasional
Chrisna Chanis Cara

Chrisna Chanis Cara

Author

JAKARTA—Sejumlah klaim keberhasilan yang diapungkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam pidato kenegaraan beberapa hari lalu mendapatkan sorotan. Jokowi dinilai masih terpaku pada pembangunan ekonomi berbasis pertumbuhan, tanpa mempedulikan efek sosial, ekonomi dan ekologis yang bisa berdampak bagi masyarakat dalam jangka panjang. 

Sejumlah target pertumbuhan ekonomi pun masih jauh panggang dari api. Salah satu contohnya yakni klaim Jokowi ihwal pertumbuhan ekonomi yang terjaga di angka 5%, serta penurunan kemiskinan ekstrem. Faktanya, dalam 10 tahun pemerintahan Jokowi (2014-2024), rata-rata pertumbuhan ekonomi hanya menyentuh 4,2%. 

Capaian tersebut jauh lebih rendah dibandingkan rata-rata per kuartal era awal reformasi (2000) hingga 2014 yakni 5,34%. Realisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 10 tahun pemerintahan Jokowi bahkan hampir selalu meleset dari target yang ditetapkan dalam APBN. 

Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat UI mencatat perekonomian Indonesia di masa Jokowi tumbuh lebih cepat dibandingkan masa kepemimpinan Presiden Megawati. Meski demikian, PDB tumbuh relatif lebih rendah dibandingkan masa pemerintahan Presiden SBY pada kedua periode tersebut. 

Rata-rata pertumbuhan PDB pada periode pertama Presiden Jokowi adalah sekitar 5,03% (yoy) dan 5,18% (yoy) pada periode kedua (tidak termasuk periode COVID-19). Badai PHK massal juga menjadi catatan merah di pemerintahan Jokowi. Ada sedikitnya 100 ribu pekerja yang didepak di enam bulan pertama tahun ini. 

Kelas Menengah Makin Tertekan

Sementara itu, angka kemiskinan ekstrem memang menurun. Namun penuruan itu masih jauh dari  target ambisius pemerintah yakni 0% pada 2024. Jumlah kelas menengah di Indonesia pun makin tertekan lantaran ekonomi yang tidak stabil.

Mengutip data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS yang diolah Bank Mandiri dalam Daily Economic and Market, Juli 2024, proporsi kelas menengah pada struktur penduduk Indonesia pada 2023 tinggal 17,44%. Jumlah ini menurun dari proporsi pada 2019 yang mencapai 21,45%.

Di sektor kesehatan, klaim Presiden Jokowi terhadap upaya penurunan angka tengkes (stunting) di Indonesia masih jauh dari harapan. Merujuk data Kementerian Kesehatan, angka stunting di Indonesia pada tahun 2023 tercatat sebesar 21,5%, hanya turun 0,1% dari tahun sebelumnya yang sebesar 21,6%. Padahal, target penurunan stunting di 2024 adalah 14%. 

Sejumlah aktivis lingkungan membentangkan sebuah kain bertuliskan “Indonesia is not for sale, Merdeka!” di Jembatan Pulau Balang, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, 17 Agustus 2024. (Greenpeace)

Lebih lanjut, Greenpeace Indonesia turut menyoroti pengelolaan sumber daya alam melalui hilirisasi. Alih-alih mendapat nilai tambah ekonomi dan transisi energi berkeadilan, proyek hilirisasi dinilai menyisakan banyak masalah. Hal itu antara lain kerusakan lingkungan, kemiskinan masyarakat lokal, serta kerugian negara. 

“Salah satu contoh, hilirisasi nikel di Morowali dan Halmahera Tengah memang berimplikasi pada pertumbuhan PDRB daerah. Namun pertumbuhannya tidak berkelanjutan serta memiliki dampak kesehatan yang signifikan bagi masyarakat sekitar,” ujar Kepala Greenpeace Indonesia, Leonard Simanjuntak, dalam keterangan resmi, dikutip Senin, 19 Agustus 2024. 

Di sektor ketenagakerjaan, pekerja Indonesia babak belur usai kehadiran UU Cipta Kerja. Regulasi tersebut dinilai lebih berpihak pada investor ketimbang kesejahteraan pekerja. Hal itu terlihat dari tidak adanya penyerapan tenaga kerja secara signifikan di tengah peningkatan realisasi investasi di RI. 

“BPS mencatat masih ada 7,2 juta penggangguran di Indonesia hingga Februari 2024. Lapangan kerja semakin sulit dicari, termasuk untuk Gen-Z,” ujar Green Economy Comms Specialist, Riska Rahman.

Baca Juga: 79 Tahun Indonesia Merdeka, Tampil Mewah di Tengah Kelaparan dan Banjir PHK

Ketua Tim Kampanye Greenpeace Indonesia, Arie Rompas, menilai permintaan maaf Presiden dalam pidato kenegaraan kemarin tidak ada artinya setelah satu dekade pemerintahannya membawa Indonesia makin jauh dari cita-cita kemerdekaan. 

“Di akhir masa jabatannya Jokowi mewariskan berbagai masalah ketidakadilan. IKN yang dia banggakan nyatanya merupakan proyek serampangan dan ugal-ugalan yang merampas hak-hak masyarakat adat dan lokal, tapi memberikan karpet merah untuk oligarki,” tukasnya. 

Proyek IKN dinilai bakal semakin mengancam keanekaragaman hayati apabila dilanjutkan. Informasi yang dihimpun TrenAsia, pembangunan IKN membabat habis lebih dari empat hektare mangrove di hulu Teluk Balikpapan—yang menjadi akses jalur perairan untuk alat-alat berat. 

Penghancuran mangrove dan arus mobilitas yang masif di teluk—yang sejak lama menjadi habitat pesut, duyung, serta buaya muara—mengganggu ekosistem fauna sehingga kerap berkonflik dengan warga lokal beberapa tahun terakhir.

Direktur Eksekutif Pokja Pesisir Balikpapan, Mappaselle, mengatakan kondisi terakhir menjadi penanda bahwa masyarakat pesisir belum merdeka dalam mengelola wilayah pesisir dan laut sendiri. “Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, termasuk habitat flora dan fauna di sekitarnya, kian rentan dikorbankan untuk pembangunan oligarki,” tuturnya.