Mengukur Potensi Penerimaan Negara dari Ekspor Pasir Laut
- Pendapatan negara yang diraih dari ekspor pasir laut dinilai tidak sebanding dengan biaya pemulihan lingkungan apabila ekosistem laut telah rusak.
Nasional
JAKARTA—Perhitungan nilai ekonomis menjadi salah satu pertimbangan pemerintah untuk membuka kembali keran ekspor pasir laut. Terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 20203 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut membuat moratorium ekspor yang telah berjalan selama 20 tahun dicabut.
Bertambahnya pemasukan dari sektor itu diharapkan dapat menggenjot pembangunan Nasional. Selain itu, desakan pengusaha disebut-sebut membuat pemerintah kembali membuka jalur ekspor pasir laut. Kamar Dagang dan Industri (Kadin) DKI Jakarta dalam sebuah kesempatan membeberkan potensi keuntungan dari ekspor pasir laut cukup besar.
Hanya, Kadin masih enggan buka-bukaan terkait nominal yang dapat diraih dari pengerukan pasir laut untuk ekspor. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) pun angkat bicara terkait potensi pendapatan negara dari ekspor pasir laut. Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu, Febrio Nathan Kacaribu, mengklaim mengatakan penerimaan negara dari ekspor pasir laut tak signifikan. “Pasir laut sih kecil,” ujar Febrio, dikutip TrenAsia, Kamis 1 Juni 2023.
Meski demikian, BKF tidak memerinci nominal pendapatan yang dapat diraih dari ekspor pasir laut. Febrio mengatakan pembahasan ihwal ekspor pasir laut nantinya lebih menggarisbawahi tentang kebijakan sektoral. “Itu nanti di kebijakan sektoralnya,” kata dia.
- Teman Tuli dan Perjuangan Advokasi dalam Seni
- Bos NVIDIA Sebut AI Bikin Semua Orang Dapat Menjadi Programer, Kok Bisa?
- 5 Rekomendasi Film Netflix Terbaru Juni 2023, Cocok Buat Long Weekend!
TrenAsia mencoba menelusuri harga pasaran pasir laut dari sejumlah sumber, salah satunya dari The United Nations Statistics Division (UNSD) of the Department for Economic and Social Affairs (DESA). Menurut data DESA/UNSD tahun 2018, harga pasir laut di Asia Tenggara cenderung menurun pada medio 2007 hingga 2016.
Pada 2007, harga ekspor pasir laut masih di kisaran US$ 20/metrik ton. Namun pada 2016 harganya telah merosot menjadi US$5/metrik ton atau turun hingga 75 persen. Indonesia sendiri sempat mematok harga ekspor pasir laut sebesar US$3/meter kubik (setara US$3,9/metrik ton) saat masih membuka keran ekspor tahun 2002.
Harga itu merujuk surat keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 641/MPP/Kep/9/2002 tentang Penetapan Besarnya Harga Patokan (HPE) Pasir Laut. Sebagai informasi, nilai 1 dolar US saat itu sekitar Rp8.940 menurut data Badan Pusat Statistik. Artinya harga pasir laut tahun 2002 sekitar Rp26.820/meter kubik.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan, mengatakan kebijakan terbaru membolehkan pengerukan dan ekspor pasir laut asal tidak merusak lingkungan. “Ekspor pasir laut bermanfaat untuk mendukung kegiatan ekonomi dan industri, khususnya terkait pendalaman laut,” ujar Luhut.
Tak Sebanding
Meski demikian, pejabat pemerintah sebelumnya telah mewanti-wanti bahwa pendapatan negara yang diraih dari ekspor pasir laut tidak akan sebanding dengan biaya pemulihan lingkungan apabila ekosistem laut telah rusak. Pada 2007, Freddy Numberi yang saat itu menjabat Menteri Kelautan dan Perikanan mengatakan ekspor pasir laut untuk reklamasi Singapura sempat menghilangkan dua pulau milik Indonesia.
Hal itu kemudian membuat pemerintah mengeluarkan aturan larangan ekspor pasir, tanah dan top soil yang menguatkan regulasi larangan tahun 2003. “Pulau Nipah dan Sebatik sempat hilang, karena pasir yang ada dikeruk untuk dijual ke Singapura. Ekspor pasir laut itu merugikan, karena itu saya hentikan,” ujarnya pada Mei 2007, dikutip dari Antara.
Freddy mengingatkan Indonesia tidak akan mendapatkan apa-apa dari pasir laut lantaran negara akhirnya juga dirugikan. Dia mengatakan ada potensi kerusakan lingkungan hingga hilangnya pulau lantaran kebijakan tersebut. “Dan Indonesia harus keluar uang banyak untuk memulihkan,” ujarnya.