Screenshot_4.jpg
Dunia

Mengulik Pendapatan Jepang dari Industri Pornografi

  • Pendaptan dari inndustri seks dan pornografi di Jepang sangat menguntungkan negara.

Dunia

Rizky C. Septania

JAKARTA - Industri pornografi menjadi hal yang dianggap lumrah di Jepang. Tak seperti di Indonesia atau negara Asia lain yang menganggap seks dan pornografi sebagai hal tabu, bisnis sektor lendir seolah memiliki pasar sendiri di Negeri Matahari Terbit.

Ekonom Jepang Takashi Kadokura lewat bukunya Sexonomic: Profits in The Globalsex Economy menjabarkan legalitas industri seks dan pornografi di Jepang.

Tak hanya industri film, bisnis seks dan pornografi di Jepang dengan dalih model, klub, panti pijat hingga opera sabun dinilai telah memasuki tren yang semakin mengkhawatirkan.

Sebagai contoh, dalam buku Takashi disebutkan, bisnis seks berkedok pijat yang legal di Jepang menghasilkan pundi pundi kurang lebih US$8 miliar atau kisaran Rp125,124 triliun  per tahun (asumsi kurs Rp15.600 per dolar AS).

Jika menyesuaikan dengan tarif pajak yang dikenakan pemerintah Jepang untuk pelaku industri sebesar 30%, maka hitungan kasar yang masuk dalam kas negara adalah kisaran Rp37 triliun.

Nilai fantastis juga terjadi pada Industri seks dan pornografi Jepang lainnya yang tak melibatkan kontak fisik seperti produksi video dewasa (JAV) atau foto model pakaian dalam (Gravure).

Mengutip data dari Yano Research Institute, pasar industri pornografi di Jepang mencatatkan kenaikan per tahunnya sejak tahun 2015.

Pada 2015, nilai pasar industri pornografi non kontak di Jepang tercatat sebesar 101,4 miliar Yen atau kisaran Rp10,8 triliun (asumsi kurs Rp107 per JPY). Tahun 2016, angkanya naik jadi 104,5 miliar Yen atau kisaran Rp11,2 triliun.

Pada tahun 2017 dan 2018, angkanya sedikit mengalami penurunan. Pada 2017, nilai pasar industri ini kisaran 103,4 miliar yen atau kisaran Rp11,1 triliun. Kemudian pada 2018 angkanya turun ke 103 miliar Yen atau kisaran Rp11,07 Triliun.

Pada tahun riset terahir yakni 2018, industri seks dan pornografi dari visual dan audio visual legal di Jepang kembali melonjak dan bernilai lebih dari 106 miliar Yen Jepang atau setara Rp11,3 triliun.

Artinya, jika secara kasar industri JAV dan Gravure ditarik pajak pemerintah kisaran 30%, maka kas yang masuk kisaran Rp3,39 triliun.  

Tapak Tilas Industri Film Porno Jepang

Sejak diterapkan pada 1907, Pasal 175 KUHP Jepang tetap menjadi dasar hukum utama yang mengatur industri pornografi Jepang.

Undang-undang yang tercatat, menganggap distribusi, penjualan, atau tampilan publik berbau cabul dapat dihukum dengan hukuman penjara jangka pendek atau denda. Sayangnya ketidakjelasan istilah cabul sejak itu menyebabkan inkonsistensi dalam keputusan pengadilan dan banyak celah hukum.

Pada umumnya, tindakan cabul ditafsirkan sedemikian rupa sehingga alat kelamin dan hubungan seksual disensor atau diburamkan dalam pornografi cetak dan digital Jepang.

Meskipun demikian, sekitar 2.000 orang menghadapi penangkapan karena ketidaksenonohan publik dan pelanggaran kecabulan per tahun.

Berdasarkan data dari Badan Riset Yano, jumlah bisnis terkait video dewasa Jepang (JAV) tetap stabil selama beberapa tahun terakhir, termasuk berbagai platform obrolan video, situs web pornografi, dan saluran televisi.

Sekadar informasi, JAV modern biasanya didahului oleh produksi pornografi soft-core yang dijuluki film merah muda yang pertama kali mendapatkan popularitas pada 1960-an-Jepang.

Ketika bioskop mengalami penurunan jumlah penonton di tengah meningkatnya popularitas televisi, perusahaan produksi besar seperti Nikkatsu mulai memasuki pasar film merah muda yang lebih menguntungkan, yang hingga saat ini sebagian besar independen.

Berdasar data Kepolisian Nasional Jepang, Jumlah bisnis JAV juga menunjukkan peningkatan setiap tahunnya.

Pada 2015, bisnis  JAV yang tercatat adalah kisaran 2.473. Tahun 2016, angkanya mengalami kenaikan menjadi 2.536 dan kembali melonjak 2.612 pada 2017.

Pada 2018 dan 2019, angka bisnis JAV mengalami penurunan dengan masing masing menjjadi 2584 dan 2575 bisnis. Pada 2020 dan 2021, jumlah industri JAV kembali melonjak jadi 2641 unit dan 2935 unit.

Menakar Pendapatan Aktris JAV

Bicara mengenai video dewasa pastinya akan lekat dengan nama sejumlah bintang JAV yang populer. Sebagai bagian dari industri, kiprah mereka di video dewasa tentunya menghasilkan pundi-pundi yang pastinya dikenakan pajak.

Menurut kesaksian salah satu bintang JAV Emiri Okazaki, bintang porno biasanya dibayar sesuai dengan popularitas mereka.

Mengutip wawancara Youtube Asian Money Guide Rabu, 9 November 2022, ia mendapat bayaran kisaran US$10.000 atau Rp156 juta (asumsi kurs Rp15.600 per dolar AS) hingga US$30.000 atau Rp486 juta dalam sekali pemotretan.

Sedangkan aktris lain yang merupakan pendatang baru dibayar kisaran US$2000-US$6000 atau kisaran Rp31 juta hingga Rp93 juta. Sejumlah pekerjaan yang hanya membutuhkan aktris yang menunjukkan bagian tubuh tertentu akan dibayar kisaran US$200 atau kisaran Rp3 juta per pemotretan.

Meski penghasilan tergolong fantastis, Okazaki yang telah berhenti di industri pornografi sejak 2016 mengatakan bahwa menjadi bintang porno lebih sulit dari banyangan.

Menurutnya, menjadi bintang porno tak sekadar berhubungan seks di depan kamera. Harus ada perlakuan yang berbeda dari berhubungan seks secara normal seperti bagaimana penampilan para bintang porno di depan kamera.

Tak hanya itu, pengambilan gambar biasanya mengharuskan bintang porno untuk berada di lokasi dari jam 7 hingga jam 4 pagi. Dalam sebulan, jam kerja bintang porno bisa mencapai 28 hari dan hanya dua hari untuk beristirahat. Celakanya, pada jadwal libur, mereka seringkali menjadwalkan kegiatan fan meeting