Ilustrasi tenaga panas bumi.
Industri

Mengulik Potensi Panas Bumi Indonesia di Balik Drama Holding BUMN

  • Pada 2025, Indonesia menargetkan dapat memanfaatkan energi dari panas bumi menjadi 7.241,5 MW atau sekitar 30% dari potensi panas bumi yang dimiliki.
Industri
Reza Pahlevi

Reza Pahlevi

Author

JAKARTA – Energi panas bumi menjadi salah satu pilihan Indonesia dalam memanfaatkan energi baru dan terbarukan (EBT). Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Indonesia bahkan memiliki potensi 23.765 megawatt (MW) dari energi panas bumi yang tersebar di 357 lokasi.

Sebagai gambaran, Indonesia memiliki kapasitas pembangkit listrik sebesar 70.964 MW atau kurang lebih 71 Gigawatt (GW) per Juni 2020. Jika seluruh potensi panas bumi Indonesia dimanfaatkan, pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) dapat berkontribusi terhadap 33,5% terhadap total kapasitas listrik nasional.

Meski memiliki potensi besar, Indonesia nyatanya baru memanfaatkan 2.175,7 MW untuk PLTP per Agustus 2021. Catatan tersebut berarti Indonesia baru memanfaatkan sekitar 9% dari potensi tersebut.

Indonesia sendiri sudah menyusun Peta Jalan Panas Bumi hingga 2025 untuk memaksimalkan potensi yang dimiliki. Pada 2025, Indonesia menargetkan dapat memanfaatkan energi dari panas bumi menjadi 7.241,5 MW atau sekitar 30% dari potensi panas bumi yang dimiliki.

Untuk mencapai hal tersebut, Kementerian ESDM sendiri sudah memetakan 20 wilayah kerja panas bumi (WKP) dengan potensi sumber daya 1.844 MW dan rencana pengembangan hingga 683 MW.

Ke-20 WKP tersebut tersebar dari Indonesia barat hingga timur. Dari ke-20 WKP tersebut, ada tiga WKP yang pemerintah targetkan dapat mulai dibor tahun ini. Ketiga WKP tersebut adalah Cisolok Cisukarame di Jawa Barat, Bituang di Sulawesi Selatan, dan Nage di Nusa Tenggara Tinur (NTT).

Pada 3 September 2021, Menteri ESDM Arifin Tasrif meresmikan pengeboran sumur eksplorasi deep slim hole di WKP Cisolok-Cisukarame. Ini merupakan pengeboran deep slim hole pertama yang menggunakan dana Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN).

“Inti kegiatan adalah mengidentifikasi sumber daya panas bumi yang ada dilokasi ini. Kegiatan yang akan berjalan sekitar 1-2 bulan ini akan menghasilkan data-data yang lebih akurat dan ini tentunya dapat membuat investor tertarik untuk berinvestasi,” ujar Arifin.

Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM Eko Budi Lelono mengatakan WKP Cisolok Cisukarame itu menyimpan sumber daya yang teridentifikasi sekitar 45 MW pada kelas cadangan Mungkin (possible reserve).

Untuk lokasi titik pengeboran Eko mengatakan, ada 2 lokasi dengan rencana kedalaman masing masing 2000 m. Kegiatan pengeboran slim hole di CKK-01 dilaksanakan pada 2021 sedangkan untuk pengeboran CKK-02 pada 2022.

Di hari yang sama, Kementerian ESDM juga sukses melakukan tajak sumur (spud in) WKP Nage 1 di NTT. Selain Nage 1, Kementerian ESDM juga berencana menemukan potensi sumur Nage 2 di lokasi yang sama.

Kedua sumur ini disebut memiliki potensi energi 20 MW. Ini membuat total potensi sumber daya panas bumi di NTT mencapai 40 MW. 

Pengeboran di Nage masih dalam tahap uji coba eksplorasi. Setelah pengeboran selesai, data hasil pengeboran ini akan dikirim ke Direktorat Jenderal Energi Baru dan Terbarukan dan Konservasi Energi (Dirjen EBTKE) untuk dilakukan penawaran lelang WKP kepada BUMN atau swasta.

Pusaran Holding Panas Bumi

Di tengah pemenuhan target PLTP, pemerintah juga sedang menggodok rencana penyatuan alias holding tiga BUMN pengelola panas bumi. Ketiga BUMN tersebut adalah PT Pertamina Geothermal Energy (PGE), PT PLN Gas & Geothermal (PLN GG), dan PT Geo Dipa Energi (Persero).

Tahap pertama penggabungan ini adalah konsolidasi aset antara PGE dan PLN GG. Jumlah aset ini juga yang nantinya menjadi penentu siapa yang menjadi induk dalam holding. 

Wakil Menteri BUMN Pahala Mansury sendiri sempat menyebutkan PGE menjadi kandidat paling kuat yang dapat memimpin usaha peningkatan kapasitas listrik panas bumi di Indonesia.

“Pengembangan panas bumi saat ini berpotensi dipimpin oleh PGE. Kajian untuk proses holding terus kami lakukan,” ujar Pahala dalam sebuah webinar beberapa waktu lalu.

Jika dilihat dari kepemilikan aset, PGE memang memiliki lebih banyak PLTP dibandingkan PLN GG. Berdasarkan data Indonesian Geothermal Association, dari 17 PLTP yang ada di Indonesia, ada 14 PLTP yang melibatkan PGE sebagai pengembangnya. Dari situs resmi PGE, anak Pertamina tersebut mengoperasikan total 672 MW kapasitas listrik dari panas bumi.

Pahala menargetkan holding BUMN ini bisa memacu kapasitas pembangkit listrik tenaga panas bumi hingga 2,5 Gigawatt (GW) pada 2025. 

Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Satya Widya Yudha menilai proses holding BUMN panas bumi bisa meningkatkan efisiensi pengelolaan. Selain itu bisa membawa sentimen positif terhadap persaingan industri panas bumi di dalam negeri.

Holding BUMN bisa menimbulkan efisiensi dan market share yang tumbuh sehingga membawa dampak positif bagi persaingan geothermal dunia,” ungkap Satya dalam diskusi virtual belum lama ini.

Ketua Umum Asosiasi Daerah Penghasil Panas Bumi Indonesia (ADPPI), Hasanuddin pun mendukung kebijakan pemerintah dalam mengintegrasikan berbagai badan usaha di bidang panas bumi.

“Holding BUMN panas bumi ini sebagai wujud efisiensi dan optimalisasi pemanfaatan potensi panas bumi untuk pembangkit listrik yang bersumber dari energi bersih dan berkelanjutan,” ujarnya di Jakarta, Jumat, 20 Agustus 2021. 

Kendati begitu, ia menilai Kementerian BUMN sebaiknya fokus terlebih dahulu pada pembentukan Holding Geothermal Indonesia dan memisahkan rencana IPO atau menempatkan IPO sebagai bagian dari langkah perusahaan holding yang terbentuk, bukan bagian dari pembentukan holding.

Bagi Hasanuddin, pembentukan holding sendiri perlu akselerasi yang komprehensif karena menyangkut pengintegrasian sumber daya berbagai badan usaha milik negara yang perlu dilakukan secara cermat dengan prinsip kehati-hatian.

“Khususnya menyangkut aset dan berbagai kontrak kerja sama diberbagai lapang panas bumi sehingga negara tidak dirugikan dan/atau menghindari masalah hukum dikemudian hari,” imbuhnya.

Tantangan Pemanfaatan Panas Bumi

Menteri ESDM Arifin Tasrif menyebut salah satu kendala pemanfaatan panas bumi di Indonesia saat ini adalah tingginya tarif listrik yang dihasilkan dari PLTP jika dibandingkan dengan sumber energi terbaru lainnya.

Mahalnya tarif listrik ini akibat besarnya biaya dan risiko dari kegiatan eksplorasi panas bumi. Tidak seperti EBT lainnya, panas bumi membutuhkan eksplorasi pengeboran yang memakan biaya cukup tinggi yang lalu membuat harga listriknya pun mahal.

“Selama ini tarif panas bumi itu tidak kompetitif, karena seluruh biaya-biaya itu sangat besar, resiko yang dikeluarkan untuk eksplorasi sangat mahal, dan tarif listrik biaya listrik yang dihasilkan dari panas bumi itu paling tinggi diantara sumber-sumber energi lainnya,” jelas Arifin ketika meresmikan pengeboran panas bumi Cisolok-Cisukarame.

Salah satu langkah menekan tarif tersebut adalah pemerintah terlibat dalam proses eksplorasi. Dengan begitu, pemerintah pun dapat memiliki data yang lebih pasti terkait potensi panas bumi dari suatu daerah yang lalu dapat ditawarkan ke investor.

“Kita bisa menyiapkan satu data yang baik, bisa menyiapkan perizinan-perizinan, kemudian juga seluruh persiapan pekerjaan, sehingga memang investor itu bisa lebih nyaman masuk dan bisa lebih cepat menyelesaikan pekerjaannya,” katanya.

Selain biaya yang mahal, Rencana Strategis Direktorat Jenderal EBTKE Kementerian ESDM (2020-2024) juga menyebutkan tantangan lain di balik pemanfaatan panas bumi.

Tantangan lain tersebut adalah lokasi WKP yang kebanyakan berada di hutan konservasi hingga membuat perizinan menjadi satu kendala. 

Selain itu, pengembang yang harus membabat hutan untuk membangun jalan, air, hingga transmisi listrik pun menambah biaya eksplorasi yang sudah tinggi.

Selanjutnya, lokasi WKP yang kebanyakan terpencil juga berujung pada ketimpangan kebutuhan listrik setempat yang jauh dari pusat industri dengan pasokan yang ada. 

Terpencilnya lokasi juga berarti masyarakat sekitar memiliki daya beli rendah sehingga investasi tidak bisa langsung dibebankan ke pelanggan.

Dengan besarnya potensi dan tantangan ini, menarik melihat bagaimana langkah pemerintah memaksimalkan potensi energi ini. Terlebih, Indonesia butuh sekitar 5.000 MW energi dari panas bumi, kurang lebih dua kali kapasitas saat ini, untuk mencapai targetnya pada 2025.