Ilustrasi bank digital di Indonesia. Infografis: Deva Satria/TrenAsia
Perbankan

Mengupas Bank Digital (Part 1): Alasan di Balik Minat Gen Z untuk Membuka Rekening Virtual

  • Gen Z, generasi yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012, sering kali mendapat stigma generasi yang sulit untuk menabung, salah satunya disebabkan oleh gaji yang tidak sebanding dengan tingginya biaya hidup.

Perbankan

Idham Nur Indrajaya

JAKARTA – Generasi Z (Gen Z) mulai melirik bank digital sebagai salah satu platform perbankan yang dapat memberikan kemudahan untuk menabung dan tidak sekadar menjadikannya sebagai tempat penyimpanan uang. 

Sulitnya Gen Z untuk Menabung 

Gen Z, generasi yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012, sering kali mendapat stigma generasi yang sulit untuk menabung, salah satunya disebabkan oleh gaji yang tidak sebanding dengan tingginya biaya hidup. 

Di Indonesia, hanya 24% masyarakat yang memiliki dana darurat yang memadai, dan berdasarkan penelitian Finder, 31% dari Gen Z tidak memiliki tabungan. Kalaupun ada, jumlahnya jarang melebihi 10 juta rupiah.

1. Fenomena Fear Of Missing Out (FOMO)

FOMO atau "Fear of Missing Out" menjadi salah satu alasan utama mengapa Gen Z kesulitan menabung. Berdasarkan hasil sensus penduduk 2020 oleh BPS, Gen Z memiliki potensi besar sebagai pangsa pasar di berbagai segmen konsumtif maupun produktif. 

Meskipun sering dianggap boros, ada faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku ini. Salah satunya adalah akses internet yang mudah. Gen Z dapat dengan cepat mengakses informasi, berbelanja online, dan terhubung dengan media sosial.

Sayangnya, akses internet yang luas ini memicu FOMO, dimana seseorang merasa cemas dan takut ketinggalan tren. Penelitian menunjukkan bahwa Gen Z yang mengalami FOMO cenderung memiliki tingkat kepuasan hidup yang lebih rendah karena terus-menerus membandingkan diri dengan orang lain. 

Kondisi ini dapat membuat mereka terburu-buru mengambil keputusan, termasuk dalam pembelian barang, tanpa riset yang matang.

2. Ketergantungan pada Paylater

Sistem peminjaman fintech dan paylater juga menjadi penyebab Gen Z sulit menabung. Data dari OJK pada Desember 2022 menunjukkan bahwa Gen Z dan Generasi Milenial memiliki tingkat utang yang lebih tinggi dibandingkan generasi lainnya. 

62% rekening pada fintech P2P lending dimiliki oleh kelompok usia 19-34 tahun, dan sekitar 60% dari total pinjaman juga disalurkan kepada kelompok usia yang sama.

Tingginya jumlah utang di kalangan Gen Z disebabkan oleh kemudahan akses teknologi. Aplikasi fintech dan fitur paylater mempermudah pengajuan pinjaman dengan persyaratan yang lebih sederhana. 

Selain itu, aplikasi belanja online dengan fitur paylater memberikan kenyamanan dalam bertransaksi, namun mendorong praktik utang konsumtif.

Meski memiliki penghasilan, kurangnya kemampuan mengelola keuangan membuat mereka cenderung konsumtif, dan jika pendapatan tidak cukup, utang menjadi solusi sementara yang bisa menimbulkan masalah di masa depan.

3. Tuntutan Biaya Hidup yang Tinggi

Sebagian besar Gen Z menghadapi biaya hidup yang tinggi, termasuk biaya pendidikan yang semakin mahal, biaya perumahan yang melonjak, dan utang pendidikan yang memberatkan. 

Menurut laporan Federal Reserve, biaya pendidikan perguruan tinggi telah meningkat signifikan dalam beberapa dekade terakhir, melebihi laju inflasi. 

Akibatnya, banyak dari mereka terbebani oleh utang pendidikan atau student loan sejak awal dewasa, sehingga menabung menjadi lebih sulit.

4. Penghasilan yang Rendah

Meskipun Gen Z dikenal terampil dalam teknologi dan berpendidikan tinggi, mereka sering kali masuk ke pasar kerja dengan penghasilan yang relatif rendah. 

Laporan dari Pew Research Center menunjukkan bahwa tingkat pengangguran dan ketidakstabilan pekerjaan tinggi di kalangan generasi ini, menyebabkan penghasilan yang tidak pasti dan tidak cukup untuk menutupi kebutuhan dasar, apalagi menabung untuk masa depan.

5. Ketidakstabilan Ekonomi

Tantangan ekonomi global seperti resesi dan pandemi COVID-19 telah meningkatkan ketidakpastian finansial bagi Gen Z. 

Banyak dari mereka mengalami pemotongan jam kerja, pengangguran, atau penurunan penghasilan selama periode sulit ini, mengakibatkan kesulitan dalam menabung atau bahkan memenuhi kebutuhan dasar.

Baca Juga: Kredit Macet Ikut Naik Tatkala Profitabilitas Bank Digital Tengah Ngebut

Alasan Gen Z Melirik Bank Digital

1. Gen Z Menganggap Bank Digital Dapat Membuat Menabung Lebih Mudah

Ivanka Rahma (23), seorang karyawan swasta yang saat ini bekerja di Jakarta, mengatakan bahwa sebelum menggunakan bank digital, ia kesulitan menyisihkan uangnya untuk menabung.

Akhirnya, ia pun tercetus untuk menggunakan salah satu bank digital karena melihat adanya fitur pocket yang bisa membuatnya lebih mudah membuat pos-pos alokasi dana yang diperolehnya dari gaji bulanan. 

Berawal dari membaca ulasan di media sosial Twitter/X, ia pun tertarik untuk mulai menggunakan bank digital karena fitur yang ia rasa butuhkan. 

“Jadi di satu akun itu saya bisa bikin banyak pocket dan bisa menabung bersama pengguna lainnya. Saya membuat banyak pocket. Ada pocket menabung tentunya, terus pocket untuk membayar token kos, membayar Netflix, Spotify, dan pocket menabung dengan teman,” ujar Ivanka kepada TrenAsia, dikutip Jumat, 7 Juni 2024. 

Ivanka menambahkan, selain bisa mempermudahnya untuk menabung, ia pun menjadi lebih mudah untuk melakukan investasi karena ada kerja sama antara bank digital yang ia gunakan dengan platform investasi digital. 

Senada, Mentari Puspadini (24), karyawan swasta yang juga kini bekerja di Jakarta, menyebutkan bahwa fitur bank digital lebih canggih dan practical.

Fitur pocket yang bisa memisahkan tabungan untuk pos-pos tertentu pun menjadi alasan yang membuat Mentari tertarik untuk menggunakan bank digital. 

“Ada fitur split pay juga untuk yang mau membayar dengan metode split bill. Terus, bisa menambah e-card jadi seperti bisa payment Visa menggunakan e-card itu, tapi tidak menggunakan kartu utama kita, jadi lebih aman,” kata Mentari kepada TrenAsia, dikutip Jumat, 7 Juni 2024. 

Sementara itu, Rangga (26), mengatakan bahwa fitur rekening bersama juga bisa membuat ia lebih mudah mengatur keuangan, terutama bersama keluarga atau teman-teman ketika perlu mengirim atau melakukan penagihan. 

“Selain itu, fitur lain yang membuat tertarik adalah deposito yang pada awalnya lumayan tinggi dibandingkan bank konvensional, meskipun sekarang terus turun tetapi tetap lebih menguntungkan dibandingkan perbankan konvevnsional,” kata Rangga kepada TrenAsia, dikutip Jumat, 7 Juni 2024. 

Rangga pun menegaskan bahwa bank digital memberikan layanan yang fleksibel dan cocok dengan gaya hidup anak muda, termasuk untuk menabung, sementara itu pengaturan tabungan dan investasi di bank konvensional dinilainya masih kaku dan berbelit.

2. Tampilan yang Sesuai dengan Preferensi Anak Muda

Ivanka menilai bahwa tampilan fitur pocket dana sangat cocok dengannya karena enak dilihat. Setiap pocket yang dibuat dapat disesuaikan nama dan warnanya sesuka hati. 

Pocket-nya bisa diatur nama dan warna, jadi lucu abis sesuai yang saya mau,” kata Ivanka.

Mentari pun sependapat dengan Ivanka. Ia mengatakan bahwa user interface (UI) dan user experience (UX) yang disajikan bank digital sangat cocok untuk anak muda.

“UI dan UX-nya juga enak dan up to date buat anak muda,” papar Mentari. 

Kekhawatiran dalam Menggunakan Bank Digital

Rangga mengatakan bahwa ia masih menyimpan kekhawatiran akan penggunaan rekening bank digital. Pasalnya, bank digital sendiri masih merupakan suatu platform baru yang skalanya sendiri masih kecil. 

Adanya promo-promo yang terlalu bombastis pun menjadi suatu kekhawatiran bagi Rangga karena adanya kesan “to good to be true”.

“Belum lagi tingkat kepercayaan terhadap aplikasi yang kadang-kadang masih membuat berpikir ulang apakah data-data aman. Tapi, sejauh ini aman dan tergolong tidak ada kendala,” kata Rangga. 

Kemudian, Rangga pun menyoroti kekurangan dari bank digital yang aplikasinya tampak canggih, tapi sebenarnya fungsi-fungsi mendasarnya justru kurang maksimal.

“Saya pernah mengalami gagal bayar menggunakan QRIS dengan bank digital. Saldo berkurang tapi merchant tidak menerima uang tersebut, ternyata beberapa hari kemudian, transaksi dinyatakan gagal dan uang dikembalikan. Jadi, meskipun bertumpu pada layanan digital, tetapi kurang fungsional dibandingkan layanan digital bank konvensional,” tukas Rangga. 

Mentari juga memiliki kekhawatiran karena adanya peredaran berita yang sempat menyebutkan adanya nasabah yang kehilangan di rekening bank digital yang kebetulan ia gunakan.Walau ia sendiri belum pernah mengalaminya langsung, tapi kekhawatiran itu tetap ada.

“Beberapa kali pernah diberitakan kan ada yang uangnya hilang, tapi Alhamdulillah sampai sekarang tidak pernah kena dan selalu berusaha buat jaga kemanannya setiap transaksi,” tutur Mentari.