Ilustrasi bank digital di Indonesia. Infografis: Deva Satria/TrenAsia
Perbankan

Mengupas Bank Digital (Part 2): Belum Terjamin LPS, Nasabah Tak Berani Setor Uang Banyak

  • Masih adanya kekhawatiran dalam menggunakan rekening bank digital pun menumbuhkan ketidakberanian untuk menyimpan uang  dalam jumlah yang banyak.

Perbankan

Idham Nur Indrajaya

JAKARTA – Belum terjaminnya bank-bank digital oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), nasabah pun tidak berani untuk menyetor uang terlalu banyak di rekening virtual mereka. 

Agus (28), karyawan swasta yang bekerja di Jakarta, mengatakan bahwa ia hanya menggunakan rekening bank digitalnya untuk keperluan mengajukan kredit dan transaksi. 

Ia tidak berani menjadikan rekening bank digital untuk menjadi tempat utama untuk menyimpan dananya karena simpanan nasabah di bank digital yang ia gunakan belum dijamin oleh LPS. 

“Karena tidak dijamin LPS, akhirnya mencoba menyimpannya sedikit-sedikit. Jadi, bukan menjadi tempat tabungan yang utama,” kata Agus kepada TrenAsia, Senin, 10 Juni 2024. 

Agus mengatakan, ia sempat menggunakan simpanan deposito di bank digital, namun ia mengambil deposito yang jangka waktunya singkat, yakni dua bulan. 

Trust issue membayangi Agus dalam memanfaatkan rekening bank digital. Kepercayaan belum bisa ia taruh sepenuhnya kepada bank digital karena tidak adanya keterjaminan melalui LPS. 

Ditambah lagi, ekosistem bank digital saat ini menurut Agus belum terlalu banyak digunakan oleh masyarakat untuk menyimpan dananya. Berhubung masih sedikit yang memanfaatkan bank digital, akhirnya keyakinan Agus terhadap bank digital pun turut ciut. 

“Belum banyak orang yang memakai bank digital seperti halnya bank konvensional. Kalau banyak yang memakai kan jadi lebih merasa aman,” kata Agus. 

Sama halnya dengan Agus, Rangga (26), yang berprofesi sebagai karyawan swasta di Jakarta, mengatakan bahwa ia masih menyimpan kekhawatiran akan penggunaan rekening bank digital. Pasalnya, bank digital sendiri masih merupakan suatu platform baru yang skalanya sendiri masih kecil. 

Adanya promo-promo yang terlalu bombastis pun menjadi suatu kekhawatiran bagi Rangga karena adanya kesan “to good to be true”.

“Belum lagi tingkat kepercayaan terhadap aplikasi yang kadang-kadang masih membuat berpikir ulang apakah data-data aman. Tapi, sejauh ini aman dan tergolong tidak ada kendala,” kata Rangga kepada TrenAsia, dikutip Jumat, 7 Juni 2024.

Kemudian, Rangga pun menyoroti kekurangan dari bank digital yang aplikasinya tampak canggih, tapi sebenarnya fungsi-fungsi mendasarnya justru kurang maksimal.

“Saya pernah mengalami gagal bayar menggunakan QRIS dengan bank digital. Saldo berkurang tapi merchant tidak menerima uang tersebut, ternyata beberapa hari kemudian, transaksi dinyatakan gagal dan uang dikembalikan. Jadi, meskipun bertumpu pada layanan digital, tetapi kurang fungsional dibandingkan layanan digital bank konvensional,” tukas Rangga. 

Mentari Puspadini (24), karyawan swasta yang bekerja di Jakarta seperti halnya Rangga dan Agus, juga memiliki kekhawatiran karena adanya peredaran berita yang sempat menyebutkan adanya nasabah yang kehilangan di rekening bank digital yang kebetulan ia gunakan.Walau ia sendiri belum pernah mengalaminya langsung, tapi kekhawatiran itu tetap ada.

“Beberapa kali pernah diberitakan kan ada yang uangnya hilang, tapi Alhamdulillah sampai sekarang tidak pernah kena dan selalu berusaha buat jaga kemanannya setiap transaksi,” tutur Mentari kepada TrenAsia, dikutip Senin, 10 Juni 2024. 

Baca Juga: Kredit Macet Ikut Naik Tatkala Profitabilitas Bank Digital Tengah Ngebut

Belum Berani Simpan Uang Banyak

Masih adanya kekhawatiran dalam menggunakan rekening bank digital pun menumbuhkan ketidakberanian untuk menyimpan uang  dalam jumlah yang banyak. 

Didorong oleh kekhawatiran akan ketidakterjaminan dari LPS, Agus mengaku bahwa ia hanya mengalokasikan sekitar 12,5% dari gaji bulanannya untuk disimpan di rekening bank digital. 

“Sekitar 12,5% saja. Pertimbangannya lebih ke mengukur risiko jadinya tidak mau menyimpan banyak. Jadi, bukan dimanfaatkan sebagai simpanan utama, makanya jadi lebih untuk transaksi dan kredit,” ujar Agus. 

Rangga bahkan menyisihkan pendapatannya dalam porsi yang lebih kecil dibanding Agus. Di rekening bank digital yang dimilikinya, Rangga hanya menyimpan sekitar 10% dari pendapatannya.

“Sekitar 10% kali ya. Lewat berbagai instrumen, baik tabungan atau investasi,” tutur Rangga.

Mentari pun mengiyakan kekhawatirannya karena adanya berita-berita mengenai hilangnya uang di rekening bank digital sehingga ia pun tidak berani mengalokasikan terlalu banyak untuk disimpan. 

“Tidak banyak. Yang benar-benar saya taruh di rekening aktif mungkin sekitar 25% dari gaji. Benar-benar untuk keperluan transaksi sehari-hari saja,” ungkap Mentari. 

Kelebihan Bank Digital

Ivanka Rahma (23), seorang karyawan swasta yang saat ini bekerja di Jakarta, mengatakan bahwa sebelum menggunakan bank digital, ia kesulitan menyisihkan uangnya untuk menabung.

Akhirnya, ia pun tercetus untuk menggunakan salah satu bank digital karena melihat adanya fitur pocket yang bisa membuatnya lebih mudah membuat pos-pos alokasi dana yang diperolehnya dari gaji bulanan. 

Berawal dari membaca ulasan di media sosial Twitter/X, ia pun tertarik untuk mulai menggunakan bank digital karena fitur yang ia rasa butuhkan. 

“Jadi di satu akun itu saya bisa bikin banyak pocket dan bisa menabung bersama pengguna lainnya. Saya membuat banyak pocket. Ada pocket menabung tentunya, terus pocket untuk membayar token kos, membayar Netflix, Spotify, dan pocket menabung dengan teman,” ujar Ivanka kepada TrenAsia, dikutip Senin, 10 Juni 2024. 

Ivanka menambahkan, selain bisa mempermudahnya untuk menabung, ia pun menjadi lebih mudah untuk melakukan investasi karena ada kerja sama antara bank digital yang ia gunakan dengan platform investasi digital. 

Senada, Mentari menyebutkan bahwa fitur bank digital lebih canggih dan practical.  Fitur pocket yang bisa memisahkan tabungan untuk pos-pos tertentu pun menjadi alasan yang membuat Mentari tertarik untuk menggunakan bank digital. 

“Ada fitur split pay juga untuk yang mau membayar dengan metode split bill. Terus, bisa menambah e-card jadi seperti bisa payment Visa menggunakan e-card itu, tapi tidak menggunakan kartu utama kita, jadi lebih aman,” kata Mentari.

Sementara itu, Rangga, mengatakan bahwa fitur rekening bersama juga bisa membuat ia lebih mudah mengatur keuangan, terutama bersama keluarga atau teman-teman ketika perlu mengirim atau melakukan penagihan. 

“Selain itu, fitur lain yang membuat tertarik adalah deposito yang pada awalnya lumayan tinggi dibandingkan bank konvensional, meskipun sekarang terus turun tetapi tetap lebih menguntungkan dibandingkan perbankan konvevnsional,” kata Rangga.

Rangga pun menegaskan bahwa bank digital memberikan layanan yang fleksibel dan cocok dengan gaya hidup anak muda, termasuk untuk menabung, sementara itu pengaturan tabungan dan investasi di bank konvensional dinilainya masih kaku dan berbelit.

Untuk Agus, bank digital memberikan kemudahan untuk mengajukan kredit dan memperoleh reward berupa bunga tambahan untuk simpanan deposito ataupun uang meskipun jumlahnya terbilang kecil. 

Dikatakan oleh Agus, mengajukan kredit ke bank digital yang ia gunakan sama cepatnya dengan fintech peer-to-peer (P2P) lending dalam pencairannya. Namun, bunga yang dibebankan kepadanya tidak sebesar fintech P2P lending

“Paling besar pinjam Rp2,1 juta karena limitnya memang segitu, bunga harian 0,138% dan itu flat, itu dengan tenor tiga bulan,” katanya. 

Untuk diketahui, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menetapkan suku bunga fintech P2P lending paling tinggi 0,3%, dan pembatasan itu pun diterapkan setelah sebelumnya fintech P2P lending menerapkan bunga yang lebih tinggi. 

Oleh karena itu, Agus memandang bahwa meminjam uang di bank digital lebih menguntungkan walaupun limit-nya lebih kecil. Ditambah lagi, sama halnya dengan fintech P2P lending, saat Agus meminjam di bank digital pun ia tidak perlu menyertakan agunan.