Ilustrasi bank digital di Indonesia. Infografis: Deva Satria/TrenAsia
Perbankan

Mengupas Bank Digital (Part 4): Risiko Channeling ke Fintech Lending

  • Bank digital adalah salah satu segmen industri keuangan yang gencar menyalurkan kredit dengan skema loan channeling kepada platform fintech peer-to-peer (P2P) lending.

Perbankan

Idham Nur Indrajaya

JAKARTA – Bank digital adalah salah satu segmen industri keuangan yang gencar menyalurkan kredit dengan skema loan channeling kepada platform fintech peer-to-peer (P2P) lending

Akan tetapi, risiko mengintai perbankan digital tatkala penyaluran kredit mereka mengandalkan alur channeling mengingat pinjaman di fintech P2P lending yang tidak mensyaratkan agunan dalam pengajuannya merupakan aktivitas pembiayaan dengan risiko yang tinggi. 

Bank-bank Digital yang Salurkan Kredit via Channeling Fintech P2P Lending 

Beberapa bank digital getol menyalurkan kredit melalui skema channeling di fintech P2P lending, misalnya PT Bank Neo Commerce Tbk (BNC/BBYB) yang bekerja sama dengan platform fintech P2P lending seperti Cairin.id dan 360Kredi. 

Tahun lalu, BNC bahkan bisa mencatat pertumbuhan kredit hingga lebih dari 40% berkat penyaluran kredit melalui kemitraan channeling di platform fintech P2P lending.

Kemudian, Bank Saqu dari PT Bank Jasa Jakarta baru saja menjalin kerja sama channeling dengan Danai.id yang dipilih oleh Perseroan karena Tingkat Keberhasilan Bayar dalam 90 Hari (TKB90) yang terjaga di kisaran 99%. 

Selanjutnya, PT Bank Jago Tbk (ARTO) bekerja sama dengan Kredit Pintar untuk menyalurkan kredit, yang mana pengajuan pinjaman bisa dilakukan melalui aplikasi Bank Jago.

Lalu, PT Krom Bank Indonesia Tbk (BBSI) juga telah menjalin kerja sama dengan Kredivo pada tahun lalu untuk menyalurkan kredit channeling, seperti halnya Seabank yang mengucurkan dana kepada Easycash untuk kerja sama channeling

PT Bank Amar Indonesia Tbk (AMAR) pun sempat menyalurkan kredit channeling ke fintech P2P lending Investree, namun Bank Amar telah memutus kerja sama seiring dengan adanya kasus wanprestasi yang melibatkan Investree. 

Risiko di Balik Channeling Bank Digital ke Fintech Lending

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Dian Ediana Rae mengungkap sejumlah risiko yang mengintai dalam skema kemitraan antara bank digital dan fintech P2P lending melalui skema channeling. Dian menjelaskan bahwa risiko dari skema tersebut umumnya berasal dari faktor internal dan eksternal. Sisi internal berkaitan dengan penguatan kapabilitas skor kredit.

"Diperlukan penguatan untuk terus mempertajam kapabilitas credit scoring yang dimiliki," papar Dian melalui jawaban tertulis beberapa waktu lalu. 

Sementara itu, dari sisi eksternal, Dian menyoroti dampak ekonomi global yang masih tidak stabil serta fenomena suku bunga tinggi yang berlangsung lebih lama (higher for longer), yang memiliki implikasi signifikan terhadap penurunan nilai aset keuangan.

Dian menekankan bahwa untuk mengantisipasi risiko dalam skema channeling bersama fintech lending, bank harus memiliki pemahaman yang mendalam tentang proses bisnis mitra, memilih mitra yang tepat, mematuhi regulasi yang ada, serta menerapkan skema mitigasi risiko yang efektif. 

Dari sisi regulator, OJK mengambil langkah-langkah untuk mengantisipasi potensi risiko yang meningkat dari kemitraan antara perbankan dan fintech lending. 

Langkah-langkah ini termasuk menerapkan regulasi yang fleksibel agar dapat beradaptasi dengan perkembangan teknologi, menggunakan regulatory sandbox dan innovation office untuk memantau dan menguji inovasi dengan aman, serta membangun keterampilan dan kapabilitas baru dalam manajemen risiko dan pengawasan.

Selain itu, penyesuaian regulasi perlindungan konsumen dan koordinasi antara regulator nasional dan internasional juga penting untuk memastikan bahwa fintech lending beroperasi dalam kerangka yang aman dan adil bagi semua pihak yang terlibat. 

 “Kondisi ini menuntut perbankan yang bermitra dengan perusahaan fintech untuk mempertimbangkan kebijakan manajemen risiko yang lebih ketat dan inovasi dalam teknologi untuk tingkatkan keamanan dan efisiensi,” ujar Dian. 

Mengenai rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) di sejumlah bank digital sepanjang tahun lalu, Dian mencatat bahwa NPL perbankan secara industri menunjukkan perbaikan yang signifikan pasca pandemi COVID-19 hingga saat ini, sejalan dengan pemulihan ekonomi digital.

Bank Amar adalah salah satu bank digital yang merasakan dampak dari buruknya kemitraan channeling dengan fintech P2P lending. Pasalnya, dengan adanya kasus Investree yang berhubungan dengan gagal bayar kepada lender, NPL Bank Amar pun melonjak signifikan, yang mana per-kuartal I-2024, Amar mencatat NPL di level 10,26%, melonjak 378 basis poin dari 6,48% yang tercatat pada periode yang sama tahun sebelumnya. 

Baca Juga: Mengupas Bank Digital (Part 2): Belum Terjamin LPS, Nasabah Tak Berani Setor Uang Banyak

OJK Akan Tindak Tegas Bank yang Salurkan Kredit ke Fintech dalam Kondisi Ini

OJK akan menindak tegas bank yang menyalurkan kredit ke sektor fintech peer-to-peer P2P lending dalam suatu kondisi tertentu. 

Dian menyampaikan, pihaknya berkomitmen untuk mengambil tindakan tegas apabila suatu bank memiliki konsentrasi eksposur channeling yang tinggi, namun tidak bersifat prudent.

Oleh karena itulah OJK secara proaktif mengawasi tren di industri Fintech P2P Lending, terutama terkait dengan pembiayaan melalui skema channeling bank. 

“Tindakan tegas akan diambil terhadap bank yang memiliki konsentrasi eksposur bisnis fintech yang tinggi namun tidak prudent antara lain penghentian kerjasama dan aktivitas bank terkait serta meminta dilakukannya evaluasi terhadap bisnis proses dimaksud,” kata Dian. 

Untuk diketahui, skema channeling dari bank ke Fintech Lending tentunya mengandung risiko, terutama terkait dengan gagal bayar. 

Beberapa fintech telah mengalami kesulitan dan bank, terutama bank digital, yang menjadi lender fintech melalui skema channelling. Oleh karena itulah OJK terus mengawasi secara ketat tren penyaluran kredit via channeling ini. 

Fokus utama pengawasan ini adalah pada analisis risiko dan evaluasi eksposur bank, dengan tujuan memastikan praktik manajemen risiko yang baik dan kecukupan pencadangan.

Hal ini menjadi langkah penting untuk memastikan bahwa bank memiliki kontrol dan strategi yang tepat untuk mengelola risiko yang terkait dengan keterlibatannya dalam pembiayaan fintech.

Sebagai langkah preventif, OJK mendorong bank untuk terus melakukan diversifikasi dan peningkatan kualitas portofolio kredit mereka. 

Diversifikasi portofolio menjadi strategi yang efektif dalam mengurangi risiko konsentrasi pada satu sektor, termasuk fintech. Dengan demikian, bank dapat lebih tangguh menghadapi potensi risiko gagal bayar yang mungkin muncul dari industri fintech.

Dian menyebutkan bahwa pihaknya mendorong bank untuk meningkatkan transparansi dan komunikasi dengan nasabah serta pihak terkait lainnya.