Ilustrasi e-Commerce
Tekno

Mengupas Dampak PPN 12 Persen terhadap E-Commerce dan Solusi Alternatif untuk Pajak

  • Sektor e-commerce di Indonesia banyak menjual barang-barang elektronik dan produk lainnya yang tergolong mahal. Dengan diberlakukannya PPN 12%, harga produk-produk tersebut otomatis meningkat. Nailul menjelaskan bahwa kebijakan ini akan berdampak signifikan pada konsumsi masyarakat.

Tekno

Idham Nur Indrajaya

JAKARTA - Fenomena shrinking middle class atau menyusutnya kelas menengah menjadi perhatian berbagai pihak. Dalam konteks Indonesia, dinamika ini semakin kompleks dengan adanya kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%. Nailul Huda, Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (CELIOS), menyoroti dampak kebijakan ini terhadap sektor e-commerce serta kelas menengah di tanah air.

Menurut Nailul, kenaikan tarif PPN sebesar 12% akan memengaruhi harga barang yang dijual di platform e-commerce. “Harganya bisa naik minimal sekitar 9%,” ungkapnya saat ditemui seusai peluncuran Indonesia Digital Economy Outlook oleh CELIOS di Jakarta, Kamis, 19 Desember 2024. Kebijakan ini dianggap dapat mempersempit daya beli kelas menengah yang menjadi salah satu pilar utama konsumsi domestik.

Kenaikan PPN dan Implikasinya pada E-Commerce

Sektor e-commerce di Indonesia banyak menjual barang-barang elektronik dan produk lainnya yang tergolong mahal. Dengan diberlakukannya PPN 12%, harga produk-produk tersebut otomatis meningkat. Nailul menjelaskan bahwa kebijakan ini akan berdampak signifikan pada konsumsi masyarakat.

“Kebijakan fiskal kontraktif seperti ini menarik lebih banyak uang dari masyarakat, yang berimbas pada penurunan konsumsi rumah tangga,” tambahnya. Ia juga mencatat bahwa tren pertumbuhan konsumsi rumah tangga telah mengalami penurunan dari 5% pada 2019 menjadi 4,91% pada 2024. Penurunan ini menjadi indikator bahwa daya beli masyarakat, termasuk kelas menengah, sedang tertekan.

E-Commerce dan Digital Services dalam Tekanan

Selain barang fisik, layanan digital seperti Netflix dan Spotify juga terkena dampak kebijakan ini. Barang dan jasa yang sebelumnya tidak dikenakan PPN kini turut terpengaruh. Nailul menjelaskan bahwa perluasan cakupan PPN akan menyebabkan penurunan permintaan terhadap berbagai produk digital.

“Ketika PPN diterapkan pada layanan digital, hal ini dapat berdampak negatif pada sektor tersebut. Sebagai contoh, konsumen mungkin akan mengurangi langganan mereka akibat kenaikan harga,” jelas Nailul.

Alternatif Kebijakan Pajak yang Lebih Optimal

Nailul menyarankan bahwa pemerintah seharusnya mencari alternatif lain untuk meningkatkan penerimaan negara tanpa membebani kelas menengah. Salah satu opsinya adalah optimalisasi pajak sektor tambang yang kontribusinya terhadap PDB besar, namun penerimaan pajaknya relatif kecil.

“Pajak sektor tambang masih sedikit kontribusinya terhadap total penerimaan pajak. Ini bisa ditingkatkan untuk menambah pemasukan negara tanpa terlalu membebani masyarakat,” ujarnya.

Selain itu, wacana penerapan pajak kekayaan atau wealth tax juga diusulkan sebagai opsi. Nailul menyebutkan bahwa pajak kekayaan sebesar 2% saja sudah dapat membiayai berbagai program sosial seperti pemenuhan gizi gratis untuk masyarakat.

Mengapa Pemerintah Memilih PPN?

Namun, Nailul mengakui bahwa PPN tetap menjadi pilihan utama pemerintah karena merupakan instrumen termudah untuk meningkatkan penerimaan pajak. Hal ini juga didorong oleh kebutuhan anggaran yang mendesak.

“Pemerintah tampaknya lebih memilih langkah intensifikasi PPN dibandingkan mengejar wajib pajak yang belum taat atau mengotak-atik pajak kekayaan,” kata Nailul. Ia menyoroti bahwa kebijakan ini lebih cepat diimplementasikan meski dampaknya lebih besar terhadap konsumsi masyarakat.

Perluasan Definisi Barang Mewah

Nailul juga mengkritisi perluasan definisi barang mewah yang dikenakan PPN. Menurutnya, barang-barang seperti kapal pesiar dan kondominium sudah diatur dalam PPNBM (Pajak Penjualan atas Barang Mewah), sehingga tidak seharusnya barang digital seperti layanan streaming turut dikenakan tarif tinggi.

Ia menyarankan agar pemerintah lebih fokus pada optimalisasi PPNBM daripada memperluas cakupan PPN secara umum. “Barang mewah sudah memiliki instrumen tersendiri. Jadi, mengapa tidak memaksimalkan itu terlebih dahulu?” ujarnya.