Mengupas Relevansi ESG dalam Industri Nikel untuk Baterai EV di Indonesia
- Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) memandang bahwa transformasi yang perlu didorong oleh industri pertambangan ini ini tidak hanya penting untuk memenuhi target iklim global tetapi juga untuk menjaga kepercayaan investor dan pemangku kepentingan lainnya.
Transportasi dan Logistik
JAKARTA – Dengan meningkatnya permintaan mineral kritis seperti nikel, yang menjadi bahan utama dalam teknologi rendah karbon seperti baterai kendaraan listrik (EV), industri pertambangan menghadapi peluang dan tantangan besar dalam meningkatkan praktik ESG mereka.
ESG, yang merupakan singkatan dari Environmental, Social, and Governance (Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola) adalah standar internasional yang digunakan untuk mengevaluasi kinerja bisnis berdasarkan kemampuannya mengelola risiko dan merespons isu-isu keberlanjutan, seperti perubahan iklim, epidemi, isu sosial, dan kebijakan iklim.
Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) memandang bahwa transformasi yang perlu didorong oleh industri pertambangan. Ini tidak hanya penting untuk memenuhi target iklim global tetapi juga untuk menjaga kepercayaan investor dan pemangku kepentingan lainnya.
Di Indonesia, sebagai salah satu produsen nikel utama dunia, relevansi ESG dalam industri pertambangan dan produksi baterai menjadi sangat krusial.
- 10 Rekomendasi Film Keluarga untuk Mengisi Waktu Luang Libur Sekolah
- 14 Rekomendasi Film Bioskop yang Tayang Bulan Juli 2024
- 7 Tips Kelola Finansial Bagi Pekerja yang Kena PHK
Berikut adalah beberapa aspek utama dari relevansi ESG di sektor ini menurut riset dari AEER:
1. Aspek Lingkungan
Pertambangan memiliki dampak signifikan terhadap lingkungan, termasuk emisi gas rumah kaca dan pengelolaan limbah.
Industri nikel di Indonesia dihadapkan pada tekanan untuk mengadopsi praktik ramah lingkungan guna meminimalkan dampak negatif terhadap ekosistem dan mematuhi standar global.
Selain itu, kegiatan pertambangan seringkali berkontribusi pada deforestasi dan kehilangan keanekaragaman hayati, yang memerlukan upaya mitigasi yang efektif.
2. Aspek Sosial
Industri pertambangan sangat mempengaruhi masyarakat lokal, termasuk isu-isu terkait tenaga kerja, kesehatan, dan keselamatan.
Di Indonesia, penting untuk memastikan bahwa hak dan kesejahteraan masyarakat lokal serta pekerja dihormati. Selain itu, masyarakat harus mendapatkan manfaat ekonomi yang adil dari sumber daya yang diekstraksi. Pendekatan yang inklusif dan berkelanjutan sangat dibutuhkan untuk mengatasi masalah ini.
3. Aspek Tata Kelola
Aspek tata kelola dalam ESG mencakup kepatuhan terhadap peraturan, transparansi, dan pencegahan korupsi.
Ini termasuk manajemen yang bertanggung jawab atas sumber daya alam dan keadilan dalam distribusi keuntungan. Di Indonesia, tantangan tata kelola ini berhubungan dengan regulasi yang efektif dan pencegahan praktik bisnis yang tidak etis.
Pemerintah dan perusahaan harus bekerja sama untuk memastikan kepatuhan dan meningkatkan transparansi dalam operasional pertambangan.
Dalam rangka meningkatkan praktik ESG, pemerintah Indonesia melalui program PROPER (Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan) menilai dan memberikan peringkat kinerja perusahaan dalam hal pengelolaan lingkungan.
Program ini mendorong perusahaan pertambangan untuk meningkatkan praktik mereka dan berkontribusi pada keberlanjutan lingkungan dan sosial.
Tren global Environmental, Social, and Governance (ESG) semakin mendapat perhatian dalam industri pertambangan dan logam.
ESG menekankan pentingnya memperhitungkan dampak terhadap iklim dan masyarakat, serta mengadopsi model bisnis yang bertanggung jawab.
Pius Ginting, Koordinator AEER, mengatakan bahwa Indonesia, sebagai produsen nikel terbesar di dunia, tantangan dan peluang dalam menerapkan standar ESG di industri pertambangan dan produksi baterai sangat unik.
“Relevansi ESG dalam industri pertambangan dan produksi baterai sangat penting, terutama di Indonesia, yang merupakan produsen nikel penting untuk baterai kendaraan listrik,” ujar Pius dalam acara diskusi media bersama AEER di Jakarta, Sabtu, 29 Juni 2024.
- Baca Juga: Survei: Pemahaman Isu ESG Lebih Populer di Masyarakat Berpenghasilan dan Berpendidikan Tinggi
Mengapa ESG Penting untuk Indonesia?
Adopsi prinsip ESG dalam industri pertambangan dan produksi baterai tidak hanya penting untuk keberlanjutan lingkungan, tetapi juga untuk keadilan sosial dan tata kelola yang baik.
Dalam konteks global dan lokal, ESG menjadi relevan karena membantu perusahaan untuk lebih bertanggung jawab dan transparan dalam operasional mereka.
Kerangka kerja ESG berfungsi sebagai dasar praktik bisnis yang bertanggung jawab dengan membantu organisasi mengatur aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola.
ESG dan Pelaporan yang Terstruktur
Kerangka kerja ESG menyediakan skema pelaporan terstruktur yang menjamin koherensi dan konsistensi dalam pelaporan ESG.
Pelaporan ESG menjadi sarana bagi organisasi untuk mengkomunikasikan isu-isu ESG kepada pemangku kepentingan, terutama investor.
Dengan mengikuti kerangka kerja ini, organisasi dapat memastikan inisiatif ESG mereka memberikan hasil yang terukur, dapat ditindaklanjuti, dan kredibel.
Standar ESG lebih presisi dan detail dengan arahan khusus terkait laporan keberlanjutan. Standar ini mencakup isu yang dihadapi perusahaan serta bagaimana perusahaan mengelola isu tersebut.
Penerapan standar dan metode penilaian ESG diaplikasikan pada industri yang berbeda, termasuk pertambangan dan produksi baterai.
Aspek Penting dalam Standar ESG
Beberapa aspek penting dalam standar ESG mencakup:
- Metrik dan Indikator: Perusahaan harus mengukur metrik spesifik seperti besaran emisi dan persentase pekerja wanita.
- Metodologi: Standar ESG mendeskripsikan metodologi dan perhitungan yang digunakan untuk mengukur performa ESG perusahaan, memastikan konsistensi dan keterbandingan pelaporan lintas organisasi.
- Format Pelaporan: Standar ini mengarahkan format dan struktur yang digunakan dalam memaparkan performa ESG perusahaan.
Peran OJK dan BEI dalam ESG di Indonesia
Di Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui Peraturan OJK Nomor 51/2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan bagi Lembaga Jasa Keuangan, Emiten, dan Perusahaan Publik mewajibkan perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) untuk terbuka dan transparan terhadap laporan ESG.
Meski perusahaan yang tidak terdaftar di BEI tidak diwajibkan membukakan laporan ESG-nya ke publik, BEI bekerja sama dengan Morningstar Sustainalytics untuk melakukan penilaian ESG. Skor ESG dikategorikan dalam lima kategori dengan rentang 0-40, menunjukkan tingkat keberlanjutan perusahaan.
Memahami Skor dan Dimensi Penilaian ESG oleh OJK
OJK telah menetapkan sistem penilaian ESG untuk menilai risiko yang berkaitan dengan aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola dalam perusahaan. Penilaian ini terbagi dalam beberapa kategori yang menggambarkan tingkat risiko ESG yang dimiliki perusahaan.
Kategori Skor ESG
Berikut adalah kategori skor ESG yang ditetapkan oleh OJK:
- 0-10: Dapat Diabaikan
- Perusahaan dalam kategori ini dianggap memiliki risiko ESG yang sangat rendah sehingga dapat diabaikan.
- 10-20: Rendah
- Risiko ESG dalam kategori ini dianggap rendah, menunjukkan bahwa perusahaan memiliki potensi dampak negatif yang minim terhadap aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola.
- 20-30: Sedang
- Kategori ini menunjukkan bahwa perusahaan memiliki risiko ESG sedang, yang memerlukan perhatian tetapi tidak kritis.
- 30-40: Tinggi
- Perusahaan dengan skor ini memiliki risiko ESG tinggi, yang dapat berdampak signifikan pada operasional dan reputasi perusahaan.
- >40: Berat
- Risiko ESG dianggap berat dalam kategori ini, menunjukkan bahwa perusahaan menghadapi tantangan serius dalam aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola.
Dimensi Penilaian ESG
Penilaian ESG oleh OJK didasarkan pada tiga dimensi utama yaitu Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola. Setiap dimensi memiliki beberapa indikator penilaian yang harus dipenuhi oleh perusahaan. Berikut adalah rincian dimensi dan indikator penilaiannya:
- Lingkungan
- Penggunaan Energi Ramah Lingkungan: Perusahaan diharapkan menggunakan energi yang tidak merusak lingkungan.
- Pengelolaan Limbah: Mengelola limbah agar tidak menjadi polutan lingkungan.
- Partisipasi dalam Konservasi Sumber Daya Alam: Terlibat dalam upaya konservasi sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui.
- Perlakuan Wajar Terhadap Binatang: Memastikan perlakuan yang manusiawi dan tidak semena-mena terhadap binatang.
- Penerapan Sistem Manajemen Risiko Lingkungan: Menerapkan sistem manajemen risiko yang efektif untuk mengelola risiko lingkungan.
- Sosial
- Pemilihan Pemasok dengan Kebijakan ESG: Memilih pemasok yang memiliki kebijakan dan praktik ESG yang baik.
- Keterlibatan dalam Pembangunan Komunitas: Berpartisipasi dalam pembangunan komunitas, baik melalui persentase laba atau kerja sukarela oleh karyawan.
- Kepastian Lingkungan Kerja yang Sehat dan Aman: Menyediakan lingkungan kerja yang sehat dan aman bagi karyawan.
- Kepastian untuk Mempertimbangkan Masukan Pemangku Kepentingan: Mempertimbangkan masukan dan harapan pemangku kepentingan dalam pengambilan keputusan.
- Tata Kelola
- Penggunaan Metode Akuntansi yang Sesuai: Menggunakan metode akuntansi yang sesuai dengan standar yang ditetapkan.
- Kepastian Partisipasi dalam Pengambilan Suara: Memastikan semua pihak terkait diberi kesempatan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan penting.
- Kepastian Tidak Ada Kontribusi Politik untuk Perlakuan Istimewa: Memastikan tidak ada kontribusi politik untuk memperoleh perlakuan istimewa dari penerima kontribusi.
- Kepastian Tidak Terlibat dalam Kegiatan Ilegal: Memastikan perusahaan tidak terlibat dalam kegiatan ilegal.
- Gonjang-ganjing Tekstil dan Kegelisahan Soekarno
- BEI Buka Suara Soal Transaksi Saham AMMN di Bawah Harga Pasar
- Duduk Perkara Isu Sritex (SRIL) yang Terancam Gulung Tikar
Mengenal PROPER
Di tingkat nasional, terdapat standar khusus yang digunakan untuk menilai pengelolaan lingkungan oleh pelaku usaha, yaitu PROPER (Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup).
Program ini wajib dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk setiap perusahaan yang aktivitasnya berdampak signifikan pada lingkungan, tanpa memandang apakah perusahaan tersebut terdaftar di BEI atau tidak.
Prinsip Dasar PROPER
Prinsip dasar pelaksanaan PROPER adalah mendorong perusahaan untuk meningkatkan pengelolaan lingkungan mereka. Ini dilakukan melalui dua instrumen utama:
- Insentif reputasi/citra positif bagi perusahaan dengan kinerja lingkungan yang baik.
- Disinsentif reputasi/citra negatif bagi perusahaan dengan kinerja lingkungan yang buruk.
Penilaian PROPER
PROPER menilai kinerja pengelolaan lingkungan secara komprehensif, termasuk aspek air limbah, emisi udara, dan pengelolaan limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun). Namun, program ini tidak mencakup aspek sosial dan tata kelola (social dan governance).
Peringkat dalam PROPER
KLHK memberikan peringkat berdasarkan kinerja usaha atau kegiatan dalam pengelolaan lingkungan. Berikut adalah kategori peringkat PROPER:
- Emas: Diberikan kepada usaha atau kegiatan yang konsisten menunjukkan keunggulan dalam pengelolaan lingkungan, berbisnis secara etis, dan bertanggung jawab terhadap masyarakat.
- Hijau: Diberikan kepada usaha atau kegiatan yang melampaui persyaratan pengelolaan lingkungan yang ditetapkan oleh peraturan. Ini mencakup penerapan sistem pengelolaan lingkungan, pemanfaatan sumber daya secara efisien, dan tanggung jawab sosial yang baik.
- Biru: Diberikan kepada usaha atau kegiatan yang telah memenuhi persyaratan pengelolaan lingkungan sesuai ketentuan atau peraturan yang berlaku.
- Merah: Diberikan kepada usaha atau kegiatan yang belum memenuhi persyaratan pengelolaan lingkungan sesuai peraturan.
- Hitam: Diberikan kepada usaha atau kegiatan yang secara sengaja melakukan perbuatan atau kelalaian yang mengakibatkan pencemaran atau kerusakan lingkungan, serta pelanggaran terhadap peraturan yang berlaku atau tidak melaksanakan sanksi administrasi.