Massa yang tergabung dalam Koalisi Ojol Nasional (KON)melakukan aksi damai dikawasan Jl Medan Merdeka. Mereka menyampaikan sejumlah tuntutan di antaranya meminta pemerintah untuk melegalkan ojek daring dan menuntut revisi serta penambahan Pasal Permenkominfo No 1 Tahun 2012 tentang layanan tarif pos komersial untuk mitra ojek daring dan kurir di Indonesia lebih rinci. Kamis 29 Agustus 2024. Foto : Panji Asmoro/TrenAsia
Tekno

Mengupas Tantangan Sosial dalam Model Ekonomi Gig yang Digunakan oleh Platform Ojol

  • Di balik fleksibilitas dan peluang yang ditawarkan, terdapat tantangan besar yang harus dihadapi oleh para pekerja gig di Indonesia, salah satunya adalah kurangnya perlindungan sosial.

Tekno

Idham Nur Indrajaya

JAKARTA - Ekonomi gig, yang kerap kali diidentikkan dengan fleksibilitas dan kebebasan bagi pekerja, semakin menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat. Salah satu contoh penggunaan model ekonomi gig adalah sistem kemitraan on demand service yang digunakan di platform ojek online (ojol) yang memberikan ruang bagi banyak pihak untuk menjadi mitra yang jasanya digunakan sesuai dengan permintaan konsumen. 

Kehadirannya tidak hanya membawa dampak positif, tetapi juga menghadirkan berbagai tantangan yang harus dihadapi oleh pekerja, industri digital, dan masyarakat luas. 

Riset dari Nailul Huda, Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (CELIOS), mengungkapkan berbagai manfaat dan tantangan yang dihadapi oleh pelaku ekonomi gig, terutama di Indonesia.

Manfaat Ekonomi Gig Bagi Pekerja dan Masyarakat

Nailul Huda menjelaskan bahwa ekonomi gig menawarkan sejumlah manfaat yang signifikan, terutama bagi para pekerja yang terlibat. 

"Bagi pekerja, kehadiran ekonomi gig membuka peluang besar untuk mendapatkan penghasilan tambahan, khususnya bagi mereka yang sedang menganggur," ungkap Nailul Huda melalui riset yang dikutip Selasa, 3 September 2024.

Kehadiran ekonomi gig juga membuka akses bagi masyarakat dari berbagai latar belakang dan pendidikan untuk memasuki pasar tenaga kerja melalui platform digital yang ada.

Lebih lanjut, Nailul Huda menambahkan bahwa pekerjaan gig memberikan kebebasan bagi pekerja untuk memilih jenis pekerjaan yang sesuai dengan keterampilan dan minat mereka.

Hal ini, menurutnya, dapat meningkatkan fleksibilitas dan otonomi para pekerja, serta memberikan kesempatan untuk mengembangkan keterampilan dan spesialisasi tertentu. 

"Dengan adanya ekonomi gig, pekerja dapat meningkatkan peluang kerja dan pendapatan mereka, sehingga berkontribusi pada pengembangan profesional secara keseluruhan," tambahnya.

Selain itu, ekonomi gig juga dianggap mampu meningkatkan efisiensi operasional dan mengurangi biaya bagi industri, yang pada akhirnya berdampak positif pada kesejahteraan masyarakat, terutama di sektor-sektor seperti kesehatan. 

Nailul Huda mengutip penelitian Meijerink & Keegan (2019) yang menekankan peran penting platform dalam menghubungkan pekerja gig dengan pihak yang membutuhkan jasa mereka, yang secara langsung meningkatkan permintaan dan eksekusi pekerjaan gig.

Baca Juga: Dilema Ojol: Serap Pengangguran tapi Minim Perlindungan

Tantangan Perlindungan Sosial di Ekonomi Gig

Namun, Nailul Huda juga menggarisbawahi bahwa di balik fleksibilitas dan peluang yang ditawarkan, terdapat tantangan besar yang harus dihadapi oleh para pekerja gig di Indonesia, salah satunya adalah kurangnya perlindungan sosial. 

"Pekerja gig sering kali tidak memiliki akses ke jaminan sosial yang memadai, seperti asuransi kesehatan dan jaminan pensiun," jelas Nailul Huda.

Kurangnya perlindungan sosial ini menjadi masalah serius, terutama karena pekerjaan gig umumnya tidak memberikan jaminan kesehatan dan keselamatan kerja yang setara dengan pekerjaan formal. Nailul Huda mencatat bahwa partisipasi pekerja gig dalam sistem jaminan sosial masih sangat minim. 

"Hanya 1,6% pekerja informal, termasuk pekerja gig, yang tercatat sebagai peserta jaminan sosial pada tahun 2021, angka ini tidak jauh berbeda dibandingkan tahun 2018," ungkapnya.

Ketidakpastian terkait perlindungan sosial ini berdampak pada tiga aspek utama, yaitu akses ke asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan kerja, dan jaminan pensiun. 

Nailul Huda menekankan bahwa pekerja gig sering kali harus menanggung biaya kesehatan yang tidak terduga secara mandiri, yang bisa sangat memberatkan terutama bagi mereka yang pendapatannya tidak stabil. 

Selain itu, meskipun ada asuransi kecelakaan kerja dari pemerintah, Nailul menyatakan bahwa tunjangan tersebut sulit diakses dan sering kali nominalnya tidak mencukupi untuk menutupi kebutuhan.

Ketidakstabilan Pendapatan Pekerja Gig

Selain kurangnya perlindungan sosial, Nailul Huda juga mengidentifikasi ketidakstabilan pendapatan sebagai tantangan utama yang dihadapi oleh pekerja gig. 

"Pekerjaan gig yang fleksibel memang memungkinkan pekerja untuk mendapatkan pendapatan tambahan, tetapi sering kali pendapatan tersebut sangat bergantung pada kondisi permintaan di pasar," ujarnya. 

Fluktuasi permintaan ini membuat pendapatan pekerja gig tidak menentu, sehingga sulit bagi mereka untuk merencanakan keuangan jangka panjang.

Dalam penelitiannya, Nailul Huda mencatat bahwa inflasi yang tinggi dapat mempengaruhi kemampuan konsumen untuk menggunakan layanan gig, seperti transportasi online, yang pada akhirnya berdampak pada pendapatan para mitra pekerja gig. 

"Pendapatan mitra pekerja gig dapat sangat berbeda di tiap daerah, tergantung pada tingkat ekonomi dan kesediaan bayar konsumen di daerah tersebut," jelasnya.

Terdapat dua aspek utama dalam ketidakstabilan pendapatan yang dialami oleh pekerja gig, yaitu fluktuasi pendapatan bulanan dan kesulitan memenuhi kebutuhan dasar. 

Nailul Huda mengutip studi Pew Research Center yang menyebutkan bahwa sekitar 30% pekerja gig mengalami fluktuasi pendapatan yang signifikan dari bulan ke bulan, yang menyebabkan ketidakpastian ekonomi bagi mereka. 

Hal ini juga berdampak pada kemampuan mereka untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, perumahan, dan pendidikan.

Dampak Ride-Hailing terhadap Pengangguran dan Kemiskinan

Nailul Huda juga menyoroti dampak positif dari hadirnya layanan ride-hailing sebagai salah satu bentuk pekerjaan gig berbasis lokasi. 

Pekerja gig berbasis lokasi adalah mereka yang melakukan pekerjaan yang memerlukan kehadiran fisik di lokasi tertentu, seperti mitra Gojek, Grab, Maxim, dan InDriver yang menyediakan layanan antar jemput penumpang, barang, dan makanan.

"Dengan menggunakan metode difference-in-difference, riset kami menemukan bahwa kehadiran layanan ride-hailing memberikan dampak signifikan terhadap penurunan tingkat pengangguran dan kemiskinan," ungkap Nailul Huda. 

Kota atau kabupaten yang dilayani oleh layanan ride-hailing memiliki tingkat pengangguran yang 37% lebih rendah dibandingkan dengan daerah yang belum terlayani oleh layanan tersebut. Selain itu, tingkat kemiskinan di daerah yang terlayani ride-hailing juga 18% lebih rendah.

Sebagai contoh, Nailul Huda mencatat bahwa di DKI Jakarta, tingkat pengangguran mulai menurun tajam sejak layanan ride-hailing mulai beroperasi pada tahun 2014. 

"Dari tahun 2011 hingga 2014, tingkat pengangguran di Jakarta berada pada kisaran 11%. Namun, angka tersebut menurun drastis menjadi 5,79% pada tahun 2018," jelasnya. 

Kondisi serupa juga terjadi di tingkat nasional, di mana tingkat pengangguran menurun seiring dengan berkembangnya transportasi online.

Tantangan Bagi Industri Gig

Di sisi lain, Nailul Huda juga mengakui bahwa kehadiran ekonomi gig menghadirkan tantangan bagi industri yang bergerak di sektor ini. "Formalisasi pekerja gig dapat berdampak pada peningkatan biaya operasional dan pendanaan, yang pada akhirnya dapat menghambat ekspansi bisnis perusahaan gig," ujarnya.

Masalah pembengkakan biaya ini menjadi tantangan besar bagi perusahaan gig untuk terus berkembang dan memberikan manfaat optimal bagi pekerja dan masyarakat. Nailul Huda menyarankan perlunya kebijakan yang seimbang untuk mengatasi tantangan ini, tanpa mengurangi manfaat utama dari ekonomi gig.

Perlunya Regulasi dan Kesadaran Finansial

Meskipun ekonomi gig menawarkan berbagai manfaat, Nailul Huda menekankan pentingnya regulasi tenaga kerja yang memadai untuk melindungi hak dan kesejahteraan pekerja gig. 

"Pertumbuhan pesat ekonomi gig harus diimbangi dengan regulasi yang tepat, agar tidak terjadi eksploitasi terhadap pekerja gig, terutama terkait keamanan fisik, mental, dan ekonomi mereka," tegasnya.

Selain itu, Nailul Huda juga menyoroti pentingnya meningkatkan kesadaran di kalangan pekerja gig tentang perencanaan keuangan dan investasi untuk masa depan mereka.

"Penting bagi pekerja gig untuk memahami pentingnya perencanaan keuangan dan berinvestasi untuk masa depan, agar mereka dapat menghadapi ketidakpastian ekonomi dengan lebih baik," ujarnya.

Penutup

Ekonomi gig memang menawarkan peluang besar bagi pekerja dan masyarakat, namun juga membawa tantangan yang tidak bisa diabaikan. 

Nailul Huda, dalam penelitiannya, mengajak semua pihak untuk bekerja sama dalam mengatasi tantangan-tantangan tersebut. 

Pendekatan kolaboratif antara pemerintah, perusahaan platform, organisasi pekerja, dan lembaga keuangan dapat menjadi kunci untuk memberikan perlindungan sosial yang lebih baik dan memastikan stabilitas pendapatan bagi pekerja gig di Indonesia.

Dengan kebijakan yang tepat dan kesadaran finansial yang meningkat, ekonomi gig dapat terus berkembang sebagai solusi yang berkelanjutan bagi pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif dan sejahtera.