Mengurai Benang Kusut Masalah Keuangan Garuda Indonesia
Korporasi

Mengurai Benang Kusut Masalah Keuangan Garuda Indonesia

  • Emiten pelat merah PT Garuda Indonesia tengah menghadapi krisis keuangan. Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) hingga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI terus berjibaku hadirkan solusi penyelamatan national flight carrier tersebut.

Korporasi
Muhamad Arfan Septiawan

Muhamad Arfan Septiawan

Author

JAKARTA – Emiten pelat merah PT Garuda Indonesia tengah menghadapi krisis keuangan. Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) hingga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI terus berjibaku hadirkan solusi penyelamatan national flight carrier tersebut.

Kendati demikian, penyebab krisis keuangan yang dialami Garuda Indonesia tidak bisa disimpulkan hanya dari satu aspek saja.  Menurut data International Civil Aviation Organization (ICAO), bisnis penerbangan di Asia Pasifik mengalami kontraksi hebat sepanjang tahun lalu.

Tingkat okupansi maskapai di Asia Pasifik terkontraksi hingga 45% year on year (yoy) dengan penurunan jumlah penumpang mencapai 921 juta orang.

Pendapatan bisnis penerbangan selama 2020 pun anjlok hingga US$120 miliar Rp1,7 kuadrilian (asumsi kurs Rp14.276,50 per dolar Amerika Serikat).

Kontraksi bisnis penerbangan di Asia Pasifik itu jauh lebih tinggi ketimbang wilayah-wilayah lain. Bisnis penerbangan di Amerika Utara misalnya, jumlah penumpang tercatat merosot sebesar 599 juta orang dengan penurunan pendapatan mencapai US$88 miliar atau Rp1,2 kuadriliun.

Pengamat BUMN Toto Pranoto mengungkapkan struktur pengeluaran di Garuda Indonesia yang tidak efisien membuat kondisi keuangannya terguncang. Sebanyak 75,7% pos pengeluaran di Garuda Indonesia dihabiskan untuk penyewaan pesawat.

Berdasarkan laporan keuangan perusahaan, biaya sewa Garuda mencapai US$4,6 juta atau Rp65 miliar pada kuartal IV-2019. Angkanya kemudian tumbuh menjadi US$5,11 juta atau Rp72 miliar pada kuartal III-2020.

“Instrumen keuangan biaya sewa pesawat itu sangat tinggi, jadi saya kira negosiasi dengan pihak lessor menjadi hal yang utama untuk meringankan beban,” kata Toto kepada Trenasia.com, Rabu, 9 Juni 2021.

Rasio sewa emiten berkode GIAA itu lebih tinggi dibandingkan sejumlah maskapai lain di Asia. Menilik Thai Airways dari Thailand, rasio sewanya berada di kisaran 8% atau 3 kali lebih kecil dibandingkan Garuda Indonesia.

Tidak jauh berbeda, maskapai lain juga efektif menekan rasio sewa di bawah 10%. Maskapai itu antara lain Scandinavian Airlines dari Swedia, Norwegia, dan Denmark (7%) dan All Nippon Airways Holdings Inc dari Jepang (6,5%).

Adapun porsi liabilitas jangka pendek dan panjang dalam keuangan Garuda Indonesia mencapai 21,8% dan 2,5%. Meski porsinya kecil, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menilai emiten pelat merah ini ugal-ugalan menarik utang dalam dolar AS beberapa tahun sebelum pandemi.

“Garuda Indonesia ini kalau di lihat cost dan revenue nya sekarang sudah bisa dikatakan pailit. Kalau ditarik ke belakang itu salah satunya karena aksi korporasi yang overconfidence terhadap penarikan utang dari mata uang asing, meski bunganya rendah tapi di situ ada fluktuasi nilai mata uang yang luput,” kata Enny dalam diskusi virtual terbatas, Rabu, 9 Juni 2021.

Menurut laporan keuangan terakhir Garuda Indonesia, rata-rata bunga liabilitas jangka pendek dalam dolar AS pada kuartal III-2020 memeng berada di kisaran yang rendah, yakni 2,01%-5,50%. Namun, jumlahnya membengkak bila dikonversi menjadi rupiah, yakni menjadi 8,25%-10,50%

Keputusan ini lah yang diklaim Enny menjadi awal mula kisruh keuangan Garuda Indonesia. Sementara dari segi bisnis, Garuda Indonesia dihimpit maskapai lain menawarkan low cost carrier (LCC) dengan harga tiket yang jauh lebih rendah dibandingkan perusahaan pelat merah tersebut.

Kalah Saing, Pendapatan Garuda Babak Belur

Meski secara market sangat besar, Enny menilai Garuda Indonesia gagal mengambil celah dari potensi di pasar domestik.

“Masyarakat sama sekali ga punya suara soal mahalnya tiket Garuda, apalagi pemain di bisnis ini cuman sedikit. Makanya sulit bagi Garuda Indonesia untuk bermain,” ujar Enny.

Dalam hal ini, Garuda semakin tersalip dengan adanya Lion Group yang mulai malang-melintang di udara sejak tahun 2000. Saat pertama kali terbang, tidak ada yang mengira Lion Group akan menjadi ancaman bagi keuangan Garuda Indonesia.

Pada 2001, Lion Group hanya memberangkatkan 181.840 penumpang. Pada periode yang sama, Garuda Indonesia jauh mengungguli dengan catatan 4,40 juta penumpang.

Mengandalkan bisnis penerbangan LCC, Lion Group akhirnya semakin menunjukan taringnya di industri maskapai Indonesia. Menurut dokumen perusahaan, Lion Group berhasil menguasai 51% penerbangan domestik pada 2018.

Untuk diketahui, Lion Group tercatat memiliki enam maskapai. Selain Lion Air, maskapai lain yang dioperasikan Lion Group antara lain Wings Air, Batik Air, Malindo Air, Thai Lion, dan Lion Bizjet.

Lion Group juga mengungguli Garuda Indonesia dari segi jumlah armada. Hingga Februari 2021, Lion Group tercatat memiliki 238 uni pesawat, sementara Garuda Indonesia hanya 190 pesawat.

Dengan rasio sewa yang tinggi, Garuda Indonesia mau tidak mau harus menancap rem untuk ekspansi. Enny menyebut keuangan yang tidak prudent di tubuh Garuda Indonesia menjadikan bisnis penerbangan bakal semakin dikuasai Lion Group.

Apalagi, Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengatakan akan mempercepat pengembalian pesawat secara bertahap. Irfan mengungkap tengah menyelesaikan pengembalian dua pesawat dari salah satu lessor dalam waktu dekat ini.

Mantan Menteri BUMN era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Sugiharto, mendorong direksi Garuda Indonesia untuk mempercepat pengembalian pesawat demi mengembalikan ‘kesehatan’ keuangan perusahaan. Menurutnya, keuangan Garuda harus diperbaiki terlebih dahulu untuk mengembalikan daya saing bisnis penerbangan.

“Garuda ini harus diselamatkan, once kondisi keuangan BUMN kita tertekan, saya kira perlu moratorium serta menyusun kembali struktur keuangan yang lebih sehat agar bisa selamat,” ujar Sugiharto.

Ancang-ancang penyehatan keuangan Garuda, kata Sugiharto, perlu segera dilakukan. Pasalnya, awan gelap di sektor ini diprediksi Indonesia National Air Carriers Association (INACA) mulai hilang pada 2022.

Dalam riset kolaborasi INACA dan Universitas Padjadjaran (Unpad) bertajuk “White Papers”, bisnis penerbangan domestik diperkirakan bakal mendekati kondisi pra pandemi COVID-19 pada 2022. Sementara, pemulihan bisnis penerbangan internasional diramal baru akan terjadi mulai 2023.

“Kemungkinan peningkatan mencapai business as usual kurang lebih di akhir tahun 2022,” kata tim riset White Papers Yayan Satyakti dalam webinar beberapa waktu lalu. (RCS)