<p>Pekerja melakukan bongkar muat di salah satu agen penjualan Gas LPG 3Kg di kawasan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, Selasa, 18 Mei 2021. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia</p>
Industri

Mengurangi Impor LPG Lewat Pengembangan Bio-CNG

  • JAKARTA – Pemerintah mendorong pengembangan biogas menjadi Biomethane-Compressed Natural Gas (Bio-CNG) sebagai pengganti Liquefied Petroleum Gas (LPG) untuk industri. Tujuannya untuk meningkatkan kontribusi Energi Baru dan Terbarukan (EBT) dalam bauran energi nasional. Bio-CNG sendiri merupakan pemurnian biogas (pure methene) dengan cara memisahkan komponen karbondioksida (CO2) dan karbontetraoksida (CO4), serta menghilangkan komponen gas imperitis lainnya, untuk […]

Industri

Aprilia Ciptaning

JAKARTA – Pemerintah mendorong pengembangan biogas menjadi Biomethane-Compressed Natural Gas (Bio-CNG) sebagai pengganti Liquefied Petroleum Gas (LPG) untuk industri. Tujuannya untuk meningkatkan kontribusi Energi Baru dan Terbarukan (EBT) dalam bauran energi nasional.

Bio-CNG sendiri merupakan pemurnian biogas (pure methene) dengan cara memisahkan komponen karbondioksida (CO2) dan karbontetraoksida (CO4), serta menghilangkan komponen gas imperitis lainnya, untuk menghasilkan gas metan dengan kadar di atas 95%.

Direktur Bioenergi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Andriah Feby Misna menyebut, karakteristik dari biometan tersebut menyerupai dengan CNG.

Menurutnya, sebagai negara penghasil minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO), Indonesia memiliki potensi untuk memanfaatkan limbah CPO, limbah pertanian, dan peternakan menjadi biogas serta biomethane.

“Sumber bahan baku untuk memproduksi Bio-CNG cukup beragam. Ini bermanfaat karena Indonesia masih mengimpor LPG dalam jumlah besar,” jelasnya.

Berdasarkan data Kementerian ESDM, impor LPG pada 2020 mencapai 77,63% dari total kebutuhan nasional yang sebesar 8,81 juta ton. Bahkan, rasio impor LPG ini bisa meningkat dalam tiga tahun mendatang, yakni menjadi 83,55% dari total permintaan 11,98 juta ton.

Studi Pengembangan Bio-CNG

Adapun untuk mendorong pengembangan Bio-CNG, Kementerian ESDM bersama dengan Global Green Growth Institute (GGGI) telah melakukan studi pasar pengembangannya di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur.

Andriah mengatakan, studi ini akan ditindaklanjuti dengan pendampingan teknis untuk persiapan implementasi pembangunan Bio-CNG. Sebab, hingga saat ini Indonesia belum memiliki infrastruktur Bio-CNG. Investasinya pun membutuhkan biaya yang lebih mahal dibandingkan dengan LPG.

Keduanya disebut memiliki karakteristik yang berbeda. CNG memiliki tekanan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan LPG sehingga untuk mengangkutnya ke pelanggan (industri), membutuhkan material tabung yang lebih kuat. Ini akan berdampak pada ongkos dari sisi material menjadi lebih mahal, sebesar US$10 – US$13 per MMBTU.