Ketua MK Anwar Usman bersama Wakil Ketua MK Saldi Isra dan Panitera MK Muhidin saat Sidang Pengucapan putusan uji materiil batas usia Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden, Senin (16/10) di Ruang Sidang MK. (Foto: Laman resmi MK/Humas/Ifa)
Nasional

Menilik Beda Pendapat 4 Hakim MK Dalam Putusan Syarat Capres-Cawapres

  • Dalam sidang putusan tersebut, terdapat perbedaan pendapat (dissenting opinion) oleh hakim konstitusi yang menyidangkan perkara. Kondisi itu telah diprediksi sebelumnya oleh para pakar dengan melihat track record MK saat memutuskan sebuah perkara.

Nasional

Khafidz Abdulah Budianto

JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) membacakan putusan terhadap sejumlah perkara permohonan ambang batas usia calon presiden (capres)–calon wakil presiden (cawapres) pada Senin, 16 Oktober 2023. 

Pembacaan putusan yang disiarkan live melalui saluran Youtube Mahkamah Konstitusi terkait materi dalam Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu soal batas usia calon presiden dan wakil presiden.

Dalam sidang putusan tersebut, terdapat perbedaan pendapat (dissenting opinion) oleh hakim konstitusi yang menyidangkan perkara. Kondisi itu telah diprediksi sebelumnya oleh para pakar dengan melihat track record MK saat memutuskan sebuah perkara.

Masing – masing memiliki pandangan tersendiri soal ambang batas usia capres–cawapres. Berikut ulasanya. 

Hakim Konstitusi Suhartoyo

Hakim Konstitusi Suhartoyo memberikan dissenting opinion dalam perkara nomor 29/PPU-XXI/2023 dan 51/PUU-XXI/2023. Dirinya berpendapat permohonan a quo yang diajukan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dan Partai Garuda selaku pemohon tidak memenuhi syarat formil dan menyatakan permohonan para pemohon tidak diterima. 

Menurutnya, para pemohon tidak memiliki kepentingan langsung untuk turut mencalonkan sebagai capres – cawapres. 

Oleh karenanya, MK seharusnya tidak memberikan legal standing kepada para pemohon dalam memohonkan perubahan materi dalam Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu soal batas usia calon presiden dan wakil presiden. "

Sehingga dalam amar putusan a quo menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima,” ujar Suhartoyo dalam sidang.

Hakim Konstitusi Arief Hidayat

Hakim Konstitusi Arief Hidayat memberikan dissenting opinion dengan alasan bahwa pemohon dalam perkara Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 91/PUU-XXI/2023 telah mempermainkan marwah lembaga peradilan dan tidak serius dalam mengajukan permohonan. 

Arief menyebut tindakan kuasa hukum pemohon mencerminkan ketidakprofesionalan (unprofessional conduct) sebagai kuasa hukum karena tanpa melakukan koordinasi dengan pemohon principal, kuasa hukum pemohon melakukan penarikan atau pencabutan permohanannya.

Menurutnya, permohonan yang telah dicabut tidak dapat diajukan kembali, meskipun belum ada putusan berupa ketetapan penarikan kembali yang dikeluarkan oleh MK. Oleh karenanya MK seharusnya menolak surat pembatalan pencabutan perkara dan mengabulkan pencabutan perkara pemohon karena pemohon telah ternyata tidak serius dalam mengajukan permohonan a quo.

Dengan begitu maka akan timbul konsekuensi hukum di mana pemohon tidak dapat melakukan pembatalan pencabutan perkara a quo dan perkara yang telah dicabut atau ditarik tidak dapat diajukan kembali.

Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams

Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams memberikan dissenting opinion dengan alasan pengaturan batasan usia untuk capres cawapres sangat lazim diakukan oleh pembentuk undang-undang. 

Sebab, jabatan presiden dan wakil presiden secara esensial sangat berbeda dengan jabatan raja/ratu/sultan/kaisar dan lain sebagainya yang dapat diangkat kapan saja berdasarkan umur mereka sebab menganut garis keturunan

Alasan lain dari Wahiduddin Adams apabila MK mengabulkan permohonan ini, baik seluruhnya maupun sebagian, maka MK sejatinya telah melakukan praktik yang lazim dikenal sebagai “legislating or governing from the bench” tanpa didukung dengan alasan-alasan konstitusional yang cukup (sufficient reason) dalam batas penalaran yang wajar. 

Hakim Konstitusi Saldi Isra

Hakim Konstitusi Saldi Isra dalam pandangannya telah memberika putusan menolak perkara Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023. Hal ini berlaku juga pada perkara a quo nomor 90/PUU-XXI/2023. Ia menyatakan bahwa MK seharusnya juga menolak permohonan a quo tersebut.

Saldi Isra mengaku benar-benar bingung untuk menentukan harus dari mana memulai pendapat berbeda ini terkait dengan pemaknaan baru terhadap norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 yang diajukan dalam perkara a quo.  

Pasalnya, sejak menapakkan kaki sebagai Hakim Konstitusi di gedung Mahkamah ini pada 11 April 2017, atau sekitar enam setengah tahun yang lalu, baru kali ini ia mengalami peristiwa “aneh” yang “luar biasa”. 

Bahkan, Saldi berujar peristiwa itu dapat dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar dimana Mahkamah berubah pendirian dan sikapnya hanya dalam sekelebat.

Sebelumnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUUXXI/2023 secara eksplisit, lugas, dan tegas menyatakan bahwa ihwal usia dalam norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 adalah wewenang pembentuk undang-undang untuk mengubahnya. Dengan begitu, ketiga putusan tersebut telah menutup ruang adanya tindakan lain selain dilakukan oleh pembentuk undang-undang

Saldi Isra mempertanyakan fakta penting apa yang telah berubah di tengah masyarakat sehingga Mahkamah mengubah pendiriannya dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 dengan amar menolak sehingga berubah menjadi amar mengabulkan dalam Putusan a quo seperti dikutip dari salinan putusan Mahkamah Konstitusi, Selasa 17 Oktober 2023.