Menilik Jejak Investasi Berbasis ESG Yang Kian Diminati
- Investasi berbasis ESG (Environmental, Social and Governance) sudah ada pascaperang dunia kedua. Sekitar tahun 1960 an, mulai dikenal investasi bertanggung jawab secara sosial, dimana para investor sudah menghindari saham atau industri seperti tembakau dan yang terkait aksi apartheid di Afrika Selatan.
TrenData
JAKARTA --Investasi berbasis ESG (Environmental, Social and Governance) sudah ada pascaperang dunia kedua. Sekitar tahun 1960 an, mulai dikenal investasi bertanggung jawab secara sosial, dimana para investor sudah menghindari saham atau industri seperti tembakau dan yang terkait aksi apartheid di Afrika Selatan.
Beberapa dekade selanjutnya, sekitar tahun 1990 an, konsep triple bottom line (people, planet, profit) pertama kali dikenal, disusul dengan berdirinya The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).
Lalu di abad milenium, tepatnya tahun 2006, Dewan PBB merilis laporan kerangka kerja The United Nations Principles for Responsible Investment (UNPRI). Dalam laporan tersebut, dikenalkan 6 prinsip investasi bertanggung jawab.
- Perkuat Likuiditas dan Kinerja Bisnis, Agung Podomoro Land (APLN) Jual 85 Persen Kepemilikan Central Park ke Perusahaan Jepang
- Produksi Beras Sepanjang 2022 Naik 2,29%
- Bos SKK Migas: Sulit Prediksi Harga Minyak 2023 di Tengah Kondisi Penuh Dinamika
Barulah di tahun 2010 an, ESG mulai masuk ke arus utama industri keuangan. Disusul dengan terbentuknya The Task Force on Climate Related Financial Disclosures (TCFD) oleh Financial Stability Board (FSB) tahun 2015. Di sisi lain, tahun 2016 Indonesia meratifikasi Perjanjian Paris.
Lalu di tahun 2017, OJK merilis POJK Nomor 51/ 2017 tentang penerapan keuangan keberlanjutan, disusul bergabungnya BEI dengan Sustainable Stock, wadah bagi bursa efek global untuk mendorong terciptanya transparansi dari perusahaan atas aktivitas yang berkontribusi ke ESG pada tahun 2019.
Tahun 2021 diluncurkan The Sustainable Finance Disclosure Regulation (SFDR) yang mewajibkan fund manager di Uni Eropa mengungkap investasinya apakah masuk kategori ESG, non ESG, ataupun impact fund. Di saat bersamaan, BEI bergabung sebagai TCFD Supporters. Lalu di awal tahun 2022 ini OJK merilis living document Taksonomi Hijau 1.0.
Minat Investasi Menggeliat
Geliat investasi berbasis ESG terus menggunung, hal itu tercermin dari besarnya animo investor secara global terhadap produk investasi berbasis ESG.
Di tingkat global, animo tersebut nampak dari dana kelolaan investasi dari 3.826 investor institusi global yang tergabung dalam United Nations of Principle of Responsible Investment (UNPRI) mencapai US$121,3 triliun setara Rp1.862 kuadriliun per akhir 2021, naik 96% dari nilai dana kelolaan di tahun 2016 sebesar US$62 triliun setara Rp951,7 kuadriliun.
Sebenarnya apa yang dicari para investor yang dikenal sebagai responsible investor ini? Menurut studi tahunan yang dilakukan Schroders sejak tahun 2020 lalu lewat Studi Investor Global (GIS), kebanyakan investor tertarik pada dana investasi berkelanjutan karena beberapa pertimbangan, di antaranya prinsip-prinsip kemasyarakat, dampak lingkungan yang lebih luas dan tingkat pengembalian investasi yang lebih tinggi.
Mayoritas investor sepakat bahwa pendekatan berkelanjutan (misalnya investasi kepada pendidikan berkualitas, bebas kemiskinan, bebas kelaparan, air bersih dan sanitasi, kesehatan dan kesejahteraan yang baik, mengurangi ketimpangan, aksi iklim maupun kesetaraan gender) adalah satu-satunya cara untuk memastikan pengembalian investasi jangka panjang.
Indeks Sektoral
S&P Global Rating sejak tahun 2019 lalu sebetulnya sudah merilis studi terkait penilaian ESG per sektor industri, bertajuk The ESG Risk Atlas. The ESG Risk Atlas menyajikan ranking sektor industri secara global berdasarkan eksposur atau dampaknya terhadapan lingkungan dan sosial. NIlainya berkisar dari 1 (berdampak minimal) hingga 6 (berdampak maksimal).
Dari aspek lingkungan, sektor migas, tambang, pembangkit, kimia, agribisnis, otomotif, transportasi dan material termasuk dalam kategori high risk. Sektor migas, baik di hulu maupun hilir, secara bawaan sangat rentan dengan emisi GRK dan polusi lainnya, termasuk dampaknya terhadap keanekaragaman hayati. Aktivitas eksplorasi dan produksi khususnya, memiliki risiko dan dampak lingkungan terbesar.
Sementara dari aspek sosial, sektor media bersama migas dan tambang termasuk dalam kategori high risk. Sektor media sangat berdampak secara sosial lantaran rawan terjadi pencurian kekayaan intelektual atau intellectual property (IP), privasi data, regulasi konten, kampanye media sosial, dan retensi talenta kunci.