Ilustrasi trader komoditas berjangka
Bursa Saham

Menilik Peluang dan Tantangan Sektor Komoditas di Tengah Ketegangan Geopolitik

  • Sejumlah emiten komoditas macam ANTM, INCO, hingga ADRO tengah merasakan dampak signifikan akibat ketegangan geopolitik di Timur Tengah dan bayang-bayang La Nina.

Bursa Saham

Alvin Pasza Bagaskara

JAKARTA – Sejumlah emiten komoditas PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), PT Vale Indonesia Tbk (INCO), hingga PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO) tengah merasakan dampak signifikan akibat ketegangan geopolitik di Timur Tengah.

Analis Mirae Asset Sekuritas, Rizkia Darmawan, mengungkapkan ketegangan tersebut memberikan pengaruh besar pada pasar komoditas khususnya berkaitan soal rantai pasok. Selain itu, emiten komoditas juga berada di dalam bayang-bayang fenomena La Nina yang semakin terasa di Tanah Air. 

Rizkia bilang ketegangan di Timur Tengah telah mempengaruhi pasar komoditas, khususnya minyak dan LNG. Diketahui, kawasan ini menyumbang sekitar 30% dari produksi minyak secara global. 

Oleh karena itu, gangguan di jalur perdagangan strategis seperti Selat Hormuz dan Terusan Suez dapat mendorong harga minyak naik 10-15%. "Harga minyak diperkirakan akan berada di kisaran US$ 80-87,5 per barel dalam waktu dekat, seiring ketegangan yang terus berlanjut," kata Rizkia dalam risetnya dikutip pada Senin, 14 Oktober 2024. 

Sementara itu, fenomena La Nina membawa curah hujan yang lebih tinggi dari rata-rata ke Asia Tenggara serta musim dingin yang lebih ekstrem ke Asia Utara dan China, memberikan dampak beragam pada komoditas. 

Rizkia mencatat di Indonesia dan Australia, curah hujan yang berlebihan mengganggu produksi batu bara, sementara suhu dingin di Asia Utara dan China justru meningkatkan permintaan batu bara termal. "La Nina juga dapat menyebabkan penurunan produksi CPO akibat banjir di Indonesia dan Malaysia, sehingga memperketat pasokan dan mendorong harga naik," tambahnya.

Di samping itu, untuk sektor komoditas logam seperti nikel, patokan harga sangat dipengaruhi oleh prospek ekonomi China serta kebijakan tarif dari Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE). 

Sementara itu, stimulus terbaru dari China menimbulkan keraguan mengenai efektivitasnya dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, yang semakin menambah ketidakpastian di pasar nikel. "Sementara itu, harga emas terus menguat sebagai aset safe haven di tengah ketegangan geopolitik dan ketidakpastian ekonomi, termasuk pemilu AS," ungkap Rizkia.

Nah, faktor-faktor tersebut membuka peluang bagi sektor komoditas. Untuk batu bara, permintaan yang kuat dan fenomena La Nina mendukung eksportir besar seperti ADRO dan PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG). 

Di sektor minyak sawit mentah (CPO), PT PP London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP) lebih unggul dibandingkan PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI), mengingat pendapatan dan profitabilitas LSIP yang lebih baik. 

Sementara itu, INCO diuntungkan oleh kenaikan harga nikel di London Metal Exchange (LME), dan PT Aneka Tambang Tbk ANTM dapat meraih keuntungan dari terus menguatnya harga emas, mengingat perannya sebagai salah satu pemurni emas terbesar di Indonesia.