Ilustrasi Fintech Peer to Peer (P2P) Lending alias kredit online atau pinjaman online (pinjol) yang resmi dan terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK), bukan ilegal. Ilustrator: Deva Satria/TrenAsia
Fintech

Menilik Perlindungan Hukum bagi Platform Fintech P2P Lending dalam Kasus Gagal Bayar kepada Lender

  • Dalam kaitannya dengan kasus gagal bayar, platform fintech P2P lending memperoleh perlindungan hukum selama pihak penyelenggara sebagai fasilitator yang mempertemukan lender dan borrower tidak terbukti melakukan pelanggaran yang menyebabkan gagal bayar itu bisa terjadi.

Fintech

Idham Nur Indrajaya

JAKARTA – Platform penyelenggara fintech peer-to-peer (P2P) lending berhak mendapatkan perlindungan hukum dalam kasus gagal bayar untuk kondisi-kondisi tertentu. 

Perlindungan bagi Platform

Menurut Pasal 6 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) 22 Tahun 2023, disebutkan bahwa Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK) berhak mendapat pelindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik.

Kemudian, Pasal 7 dari POJK Nomor 22 Tahun 2023 mengatur hak-hak dari PUJK dalam memastikan keabsahan informasi yang diberikan oleh calon konsumen maupun konsumen yang ada.

Pertama, PUJK memiliki hak untuk memastikan adanya itikad baik dari calon konsumen dan konsumen mereka. Hal ini berarti, PUJK berwenang untuk memastikan bahwa konsumen atau calon konsumen bertindak dengan jujur dan bertanggung jawab saat memberikan informasi.

Kedua, PUJK berhak untuk mendapatkan informasi dan dokumen yang jelas, akurat, benar, dan tidak menyesatkan dari calon konsumen atau konsumen. Ini mencakup data atau dokumen yang mencerminkan keadaan yang sebenarnya, sehingga PUJK dapat mengevaluasi keabsahan informasi tersebut.

Untuk menegakkan hak-hak ini, PUJK dapat mengambil beberapa tindakan. Salah satunya adalah dengan menelaah kesesuaian dokumen yang diserahkan oleh calon konsumen atau konsumen, untuk memastikan bahwa dokumen tersebut sesuai dengan fakta yang ada. 

PUJK juga dapat meminta calon konsumen atau konsumen untuk menyatakan bahwa seluruh informasi dan dokumen yang diberikan adalah benar dan akurat. Selain itu, PUJK dapat meminta konsumen untuk memenuhi kesepakatan yang telah dibuat dan mematuhi peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.

Lebih lanjut, untuk memastikan bahwa informasi yang diterima memang benar, PUJK berhak melakukan tindakan tambahan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Tindakan ini bertujuan untuk menjaga integritas dan kejujuran dalam hubungan antara PUJK dan konsumen, serta memastikan bahwa semua pihak beroperasi sesuai dengan regulasi yang ada di sektor jasa keuangan.

Baca Juga: Fintech Lending Bisa Kasih Pinjaman Rp10 Miliar dengan Syarat Ini

Hubungan antara Lender, Borrower, dan Fintech P2P Lending

Hendrikus Passagi, mantan Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK, mengatakan lender (pemberi dana) maupun borrower (peminjam dana) adalah pihak yang dipertemukan oleh platform fintech P2P lending, yang mana kedua belah pihak tercatut sebagai konsumen yang menggunakan jasa keuangan dari platform tersebut. 

Dalam aktivitas pinjam-meminjam antara kedua belah pihak, platform fintech P2P lending diwajibkan untuk memberikan kepastian bahwa borrower dan lender telah diberikan informasi mengenai risiko yang mungkin terjadi, termasuk kasus gagal bayar.

Pihak lender harus memahami bahwa dalam menyalurkan pinjaman di platform, kasus gagal bayar adalah risiko yang mau tidak mau harus diterima, dan juga pihak borrower harus memahami pula bahwa kegagalan bayar tersebut akan berujung kepada upaya penagihan atau bahkan bisa sampai dibawa ke ranah hukum jika terbukti adanya indikasi pidana. 

Ketentuan tersebut sesuai dengan Pasal 8 POJK 22 Tahun 2023 yang menyebutkan bahwa PUJK wajib memiliki dan menerapkan kebijakan dan prosedur tertulis Pelindungan Konsumen.

“Platform fintech P2P lending harus transparan, kalau emang berisiko katakan berisiko sebagai suatu disclaimer. Katakan bahwa pinjaman ini berisiko dan sebutkan apa akibatnya, sampaikan kepada publik,” papar Hendrikus saat ia menghadiri sidang kasus wanprestasi TaniFund yang diselenggarakan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa, 13 Agustus 2024. 

Hendrikus mengatakan, apabila penyelenggara layanan fintech P2P lending tidak mencantumkan disclaimer yang menyatakan bahwa pinjaman yang disalurkan ke platform itu mengandung risiko di samping imbal hasil yang ditawarkannya, maka penyelenggara dapat dianggap telah melanggar ketentuan POJK dan dapat diberikan sanksi administratif. 

Apakah Platform Fintech P2P Lending Bertanggung Jawab atas Kasus Gagal Bayar?

Dalam kaitannya dengan kasus gagal bayar, platform fintech P2P lending memperoleh perlindungan hukum selama pihak penyelenggara sebagai fasilitator yang mempertemukan lender dan borrower tidak terbukti melakukan pelanggaran yang menyebabkan gagal bayar itu bisa terjadi. 

Jika lender telah menyetujui dan menandatangani dokumen yang di dalamnya sudah menyatakan risiko, maka penyelenggara tidak dapat dituntut atas wanprestasi, karena mereka hanya berfungsi sebagai fasilitator dan bukan sebagai pihak yang menanggung risiko.

“Ketika saya meminjamkan uang, itu ada kemungkinan orang itu (peminjam) tidak bayar kan, ini adalah wanprestasi. Ketika misalnya si A meminjamkan kepada si D sementara penyelenggara tidak boleh menyentuh urang orang itu, maka ketika uang tidak dikembalikan, penyelenggara tidak melakukan kejahatan wanprestasi karena  fintech peer to peer lending hanya mempertemukan, menagih, atau melakukan gugatan hukum,” kata Hendrikus.

Menurut Hendrikus, apabila ada pihak lender yang melayangkan gugatan kepada pihak penyelenggara meskipun pihak lender sendiri sudah diberi penjelasan mengenai risikonya, maka perilaku lender tersebut bisa dianggap sebagai perilaku konsumen yang tidak beritikad baik, dan penyelenggara memperoleh perlindungan hukum atas hal itu sebagaimana yang telah disebutkan di atas mengenai isi Pasal 6 POJK Tahun 2023. 

Dalam kesempatan yang sama, Hendrikus pun menjelaskan bahwa pihak penyelenggara diwajibkan untuk mencantumkan prospektus dari peminjam dana sebagai medium untuk mengukur risiko. 

Dari prospektus itulah pihak lender atau pemberi dana dapat menentukan profil risikonya dalam memberikan pinjaman kepada borrower. Dengan demikian, ketika terjadi kasus gagal bayar, maka itu merupakan risiko bagi lender

Lain halnya jika dalam kasus gagal bayar ditemukan adanya fakta bahwa pihak penyelenggara telah melakukan penyelewengan, maka pihak penyelenggara pun bisa diseret ke meja pengadilan.

Hendrikus pun menyandingkan penyaluran pinjaman dari lender ini sebagai investasi dari investor di pasar modal. Apabila nilai investasi anjlok karena performa saham dari suatu perusahaan menurun, maka pihak investor tidak bisa lantas melakukan gugatan kepada pihak pasar modalnya sendiri. Sama halnya dengan platform fintech P2P lending, lender tidak bisa melakukan gugatan kepada pihak penyelenggara jika terjadi gagal bayar. 

Pentingnya Edukasi bagi Lender

Hendrikus menyoroti pentingnya edukasi publik tentang model bisnis fintech P2P lending. Ia menyatakan bahwa banyak orang yang masih salah paham tentang peran fintech P2P lending, terutama dalam hal tanggung jawab terhadap dana yang dipinjamkan. 

Ia menegaskan bahwa fintech P2P lending adalah model bisnis yang berbasis pinjaman antarpihak, di mana penyelenggara hanya berfungsi sebagai fasilitator dan tidak memiliki kepentingan langsung terhadap dana yang dipinjamkan.

Kesaksian Hendrikus ini menekankan pentingnya pemahaman yang jelas tentang peran dan tanggung jawab fintech P2P lending dalam ekosistem keuangan digital. 

Edukasi yang lebih luas dan lebih mendalam diperlukan untuk memastikan bahwa semua pihak yang terlibat memahami risiko dan tanggung jawab masing-masing dalam transaksi P2P lending.