Artificial-Intelligence-in-Indonesia-The-current-state-and-its-opportunities.jpeg
Makroekonomi

Menilik Potensi AI Guyur Ekonomi RI Rp5.816 Triliun pada 2030

  • Teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) diproyeksi berkontribusi US$366 miliar atau setara Rp5.816 triliun (kurs Rp16.293 per US$) terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia pada 2030. Ketimpangan penggunaan AI menjadi tantangan dalam meraih potensi tersebut.

Makroekonomi

Chrisna Chanis Cara

JAKARTA—Teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) diproyeksi berkontribusi US$366 miliar atau setara Rp5.816 triliun (kurs Rp16.293 per US$) terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia pada 2030. Ketimpangan penggunaan AI menjadi tantangan dalam meraih potensi tersebut. 

Hal itu disampaikan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Budi Arie Setiadi, dalam acara IBM AI Summit Indonesia 2024 di Jakarta, Kamis, 8 Agustus 2024. Budi mengatakan kontribusi AI terhadap perekonomian ASEAN diprediksi mencapai US$1 triliun.

Adapun Indonesia diproyeksi meraih kue sekitar US$366 miliar atau setara Rp5.816 triliun. Meski demikian, Menkominfo menyebut ada sejumlah tantangan menuju pertumbuhan tersebut. Hal itu salah satunya ketimpangan dalam penggunaan AI di kawasan negara bagian utara dan selatan.

Menurut Budi, ini terlihat terlihat dari besaran investasi pihak swasta terhadap pengembangan AI dan persentase pertumbuhan talenta global yang mayoritas tumbuh di negara kawasan utara. 

“Perkembangan AI Global bakal menunjukkan kemajuan sangat signifikan pada 2030. Namun saat ini penggunaan AI masih didominasi negara utara seperti Amerika Serikat dan Inggris,” ujarnya. 

Baca Juga: Potensi Teknologi AI dalam Transformasi Bisnis Industri Keuangan

Merujuk kajian Universitas Stanford, rincian investasi AI oleh swasta yakni Amerika Serikat US$67,22 miliar, China US$7,76 miliar, serta Inggris US$3,78 miliar. Adapun persentase pertumbuhan talenta AI global didominasi Inggris (263%), Siprus (229%) Denmark (213%), Kanada (188%), Singapura (172%) dan Jerman (169%).

Budi membeberkan sejumlah faktor pemicu belum meratanya pengembangan AI di negara bagian selatan, termasuk Indonesia. Hal itu yakni keterbatasan infrastruktur AI dan pendanaan serta minimnya platform untuk menjembatani kolaborasi dengan negara bagian utara.

Selain itu, belum ada kesepakatan dan forum bersama yang menfasilitasi diskusi negara global south mengenai model tata kelola AI yang lebih mengakomodasi nilai-nilai negara berkembang. “Ketiadaan transfer pengetahuan dari negara pengembang AI juga menjadi penyebab,” ujar Menkominfo. 

Dukung Kebutuhan Bisnis

Teknologi AI belakangan semakin dikembangkan untuk mendukung berbagai kebutuhan, termasuk bisnis. Menurut survei McKinsey bertajuk The State of AI in 2022, sektor industri yang paling banyak memakai AI untuk pengembangan produk yakni jasa keuangan.

 Sekitar 31% dari jasa keuangan menggunakan AI untuk meningkatkan kualitas produk dan layanan. Sektor lain yang tak kalah masif menggunakan AI yakni jasa, telekomunikasi, layanan kesehatan, dan retail. Porsinya kurang dari 10%. 

Perusahaan yang mengadopsi AI juga meningkat dari 20% pada 2017 menjadi 50% pada 2022 dengan total 1.492 responden. Sementara itu, pekerja kantoran di Indonesia pun semakin terampil memanfaatkan AI dalam kesehariannya. 

Dalam laporan Microsoft dan LinkedIn, sebanyak 92% pekerja kantoran yang terdiri dari Gen Z, milenial dan boomers di Indonesia sudah menggunakan kecerdasan buatan. Merujuk laporan bertajuk Work Trend Index 2024, porsi pekerja di Indonesia yang telah memakai AI bahkan melebihi rata-rata global 75% dan Asia Pasifik 83%. 

Laporan itu berdasarkan survei terhadap 31 ribu responden di 31 negara, tren ketenagakerjaan dan perekrutan di LinkedIn, triliunan sinyal produktivitas Microsoft 365, serta riset bersama pelanggan yang berasal dari perusahaan Fortune 500. 

Lebih lanjut, sebanyak 76% karyawan di Indonesia berinisiatif membawa teknologi AI sendiri ke tempat kerja, yang disebut sebagai Bring Your Own AI (BYOAI). Namun tren BYOAI berpotensi mengurangi manfaat yang bisa diraih ketika AI digunakan secara strategis dalam skala besar, serta membawa risiko tertentu terhadap data perusahaan. 

Tugas pemimpin perusahaan dalam waktu dekat adalah mempertimbangkan bagaimana penerapan AI dalam skala besar, sembari menghasilkan return on investment (ROI) secara optimal. Saat ini, sebanyak 69% pemimpin perusahaan di Indonesia menyatakan mereka tidak akan merekrut seseorang tanpa keterampilan AI. 

Sebanyak 76% bahkan cenderung merekrut orang dengan pengalaman kerja yang lebih sedikit, asal piawai menggunakan AI. Presiden Direktur Microsoft Indonesia, Dharma Simorangkir, mengatakan kecepatan dalam beradaptasi dan bertumbuh di era AI menunjukkan Indonesia berada di jalur yang tepat untuk merealisasikan peluang ekonomi digital.

“Serta menciptakan dampak positif yang lebih besar bagi masyarakat luas,” ujar Dharma belum lama ini. Indonesia Country Lead LinkedIn, Rohit Kalsy, menambahkan perusahaan yang memberdayakan karyawan dengan alat dan pelatihan AI akan menarik talenta terbaik. “Sedangkan profesional yang meningkatkan keterampilan akan lebih unggul. Dampak AI sudah tidak dapat dipungkiri.”