Ilustrasi pajak.
Makroekonomi

Menilik Potensi Cuan Rp81 T dari Pajak Orang Super Kaya

  • Indonesia berpotensi memiliki pemasukan tambahan hingga Rp241 triliun per tahun dengan menerapkan model perpajakan progresif dan berkelanjutan. Pajak tersebut dapat berupa pajak karbon, pajak produksi batu bara, pajak laba mendadak, dan pajak orang super kaya.

Makroekonomi

Chrisna Chanis Cara

JAKARTA—Indonesia berpotensi memiliki pemasukan tambahan hingga Rp241 triliun per tahun dengan menerapkan model perpajakan progresif dan berkelanjutan. Pajak tersebut dapat berupa pajak karbon, pajak produksi batu bara, pajak laba mendadak, dan pajak orang super kaya. 

Pos pemasukan terbesar diharapkan didapat dari pajak orang super kaya yang mencapai Rp81 triliun. Temuan itu mencuat dalam laporan Center of Economic and Law Studies (Celios) berjudul “Paradigma Baru Ekonomi: Dukungan Fiskal untuk Ekonomi Restoratif”.

Temuan utama dari laporan ini mengungkapkan dua tantangan utama dalam pengembangan ekonomi restoratif di Indonesia, kesenjangan investasi dan keterbatasan kebijakan. 

Meskipun kesadaran praktik berkelanjutan semakin meningkat, Indonesia masih kekurangan anggaran khusus untuk inisiatif ekonomi restoratif. Hal itu sering kali tertinggal dari upaya keberlanjutan lain seperti energi terbarukan dan mitigasi perubahan iklim dalam hal minat investor dan prioritas pemerintah.

Atasi Kesenjangan

Direktur Kebijakan Publik Celios, Media Wahyudi Askar, mengatakan pihaknya merekomendasikan model perpajakan progresif dan berkelanjutan untuk mengatasi kesenjangan tersebut. Langkah yang diusulkan, imbuhnya, meliputi pajak karbon, pajak produksi batu bara, pajak laba mendadak (windfall tax), dan pajak orang super kaya. 

“Langkah-langkah ini berpotensi menghasilkan pendapatan tambahan sebesar Rp222 – Rp241 triliun per tahun, menyediakan dasar keuangan untuk inisiatif ekonomi restoratif. Terobosan inovatif dalam perpajakan ini dapat menjadi opsi pembiayaan untuk mendukung inisiatif restoratif tanpa menambah beban utang dan membebani struktur fiskal saat ini,” ujar Askar, Senin, 29 Juli 2024. 

Dia merinci estimasi penerimaan negara dari pajak berkelanjutan dan progresif untuk pembiayaan ekonomi restoratif berasal dari pajak karbon dengan perkiraan mencapai Rp 69,75 triliun. Adapun pajak windfall Rp42, 71 triliun, pajak produksi batu bara Rp28, 76 trliun, dan pajak orang super kaya Rp81,56 triliun.

Menurutnya, pendapatan tersebut harusnya dapat dialokasikan untuk menyediakan dasar keuangan untuk inisiatif ekonomi restoratif. Ekonomi restoratif adalah model ekonomi pembangunan yang mementingkan lingkungan hingga sosial yang berkelanjutan.

Dalam melaksanakan inisiatif tersebut, Askar turut menegaskan pentingnya tata kelola partisipatif dan penyesuaian kebijakan keuangan yang berorientasi pada misi restoratif. Askar mengingatkan RI butuh setidaknya Rp892,1 triliun hingga 2045 untuk melaksanakan strategi ekonomi restoratif di berbagai sektor. 

Artinya, Indonesia membutuhkan setidaknya Rp 37 triliun per tahun hingga 20045 untuk mencapai tujuan tersebut. “Indonesia masih kekurangan anggaran khusus untuk inisiatif ekonomi restoratif meskipun kesadaran praktik berkelanjutan semakin meningkat. Hal ini menyebabkan Indonesia sering tertinggal dari upaya keberlanjutan lain seperti energi terbarukan dan mitigasi perubahan iklim,” imbuh Askar. 

Sebagai informasi, laporan terbaru Celios tersebut disusun Media Wahyudi Askar bersama Achmad Hanif Imaduddin, Galau D. Muhammad, dan Jaya Darmawan. Laporan itu menyoroti perlunya investasi pemerintah yang substansial untuk mendorong pemulihan lingkungan dan kesetaraan sosial.