<p>Gedung Direktorat Jenderal Pajak / Pajak.go.id</p>
Industri

Menimbang Efek Kenaikkan Tarif PPN, Untung atau Buntung?

  • Pemerintah semakin serius menggodok rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) demi mendongkrak penerimaan negara.

Industri
Muhamad Arfan Septiawan

Muhamad Arfan Septiawan

Author

JAKARTA – Pemerintah semakin serius menggodok rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) demi mendongkrak penerimaan negara.

Di sisi lain, ekonom menilai kebijakan tersebut bisa menghambat pemulihan konsumsi rumah tangga yang selama ini menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia.

Ekonom Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan kebijakan tersebut bisa merusak skenario pemulihan ekonomi nasional.

Kebijakan tersebut dinilai Bhima belum tepat diterapkan di masa pemulihan ekonomi nasional. Pasalnya, sebagian besar masyarakat masih mengalami penurunan pendapatan akibat pandemi COVID-19.

Lembaga riset Ipsos dalam surveinya menyebut 84% masyarakat Indonesia mengalami penurunan pendapatan sejak adanya pandemi COVID-19. Lebih jauh lagi, survei yang dirilis tahun lalu itu menemukan pendapatan 30% masyarakat anjlok hingga lebih dari 50%.

“Dalam ekonomi yang masih tahap pemulihan bahkan hingga tahun depan sebaiknya tarif PPN tidak perlu dinaikkan. Kenaikan tarif akan berdampak terhadap melemahnya konsumsi rumah tangga karena harga jual barang di konsumen akhir meningkat,” kata Bhima saat berbincang dengan reporter TrenAsia.com, Kamis 6 Mei 2021.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan konsumsi rumah tangga masyarakat pada kuartal I-2021 masih terkontraksi 2,23% year on year (yoy).

Di sisi lain, Bhima mengatakan, daya beli masyarakat belum pulih hingga kuartal I-2021.

“Daya beli masih rendah juga ditunjukkan dari perkembangan sektor retail yang terkontraksi 0,24% yoy. Jika pemerintah tergesa-gesa menaikkan tarif PPN ujungnya malah blunder ke pemulihan ekonomi,” ungkap Bhima.

Lebih jauh lagi, Bhima mengatakan kebijakan tersebut bisa berefek terhadap pengendalian inflasi yang tengah dijaga masyarakat. BPS melaporkan angka inflasi yang terus merangkak naik dari 1,37% yoy pada Maret 2021 menjadi 1,42% pada April 2021.

Bhima menyebut, sinyal inflasi yang tinggi bisa semakin mempersulit pemulihan ekonomi Indonesia. Apalagi, Bank Indonesia (BI) menargetkan angka inflasi maksimal 2% pada tahun ini.

“Imbas terhadap inflasi juga perlu diperhatikan di masa seperti pandemi COVID-19 ini,” ucap Bhima.

Di sisi lain, rencana kebijakan ini masih terus bergulir. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan rencana kenaikkan tarif PPN masuk ke dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP).

Opsi Tax Amnesty

Alih-alih membebankan penerimaan pajak kepada PPN, asosiasi pengusaha lebih menyarankan pemerintah mengadakan tax amnesty jilid kedua. Opsi ini, kata pengusaha, bisa menjadi solusi penerimaan pajak yang anjlok akibat berbagai kebijakan relaksasi.

Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Rosan Roeslani mengungkapkan, keberhasilan tax amnesty jilid pertama menjadi cerminan kebijakan ini efektif merangsang penerimaan negara dari Wajib Pajak (WP) kelas kakap.

“Kami dari dunia usaha, memang dari teman-teman pengusaha bagaimana kembali melakukan tax amnesty kedua ini tentunya karena melihat tax amnesty pertama itu berjalan dengan baik,” kata Rosan dalam Webinar Indikator Politik Indonesia, Selasa 4 Mei 2021.

Tax amnesty digelar pemerintah Indonesia pada 2016 silam. Tax amnesty jilid pertama itu diikuti oleh 973.426 WP dengan realisasi mencapai Rp114,5 triliun.  Penerimaan itu masih di bawah target indikatif yang ditetapkan pemerintah, yakni Rp165 triliun.

Mendongkrak Penerimaan Pajak

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan kenaikan PPN bisa mendongkrak penerimaan negara. Hal ini karena tingginya beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam membiayai penanganan COVID-19 selama dua tahun ini. Apalagi, ada target defisit APBN harus kembali ke batas atas 3% pada 2023.

Pemerintah masih menggodok produk hukum dalam pelaksanaan kenaikan tarif PPN ini. “Tarif PPN kenaikannya akan dibahas dalam Undang-Undang ke depan,” kata Sri Mulyani dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional, Selasa 4 Mei 2021.

Rencana kenaikan tarif PPN ini tidak lepas dari realisasi pertumbuhan perpajakan. Komponen pajak PPN tercatat selalu tumbuh positif meski ada pandemi COVID-19.

Realisasi penerimaan PPN dalam negeri pada kuartal I-2021 tumbuh 4,11% year on year.  Sementara itu, PPN Impor pada kuartal I-2021 tercatat tumbuh lebih pesat, yakni 8,21% yoy.

Sri Mulyani membidik empuknya penerimaan PPN produk digital. Apalagi, perusahaan yang ditunjuk Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk memungut PPN kepada penggunanya semakin banyak. 

Bendahara negara ini baru menunjuk 8 perusahaan baru untuk memungut PPN produk digital pada Rabu, 5 Mei 2021. Dengan demikian, sudah ada 65 perusahaan yang penggunanya dikenai PPN.

Mempertimbangkan jumlah pengguna layanan dari 65 perusahaan tersebut, komponen PPN produk digital ini bisa jadi andalan baru penerimaan negara.  Hal ini lah yang memicu Sri Mulyani mengoptimalisasi penerimaan PPN produk digital dengan menaikkan tarif minimalnya.

Mengacu kepada Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Pertambahan Nilai atas Barang Mewah, disepakati tarif PPN saat ini sebesar 10%. Namun, Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu masih enggan membeberkan besaran dan mekanisme kenaikan tarif PPN. (LRD)