Menimbang Energi Nuklir Sebagai Solusi Energi Ramah Lingkungan dari Sisi Pembiayaan
- Biaya pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) dengan kapasitas 1.000 MegaWatt (MW) diperkirakan memerlukan biaya yang sangat besar.
Energi
JAKARTA - Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah global sedang berfokus untuk menyediakan energi yang ramah lingkungan melalui sumber energi selain batu bara dan minyak yang dipercaya menyumbang emisi karbon yang besar. Oleh karena itu, terjadi peningkatan permintaan dunia akan sumber energi yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Dari sejumlah pilihan sumber energi pengganti batu bara, nuklir muncul sebagai pilihan yang diperhitungkan. Hal tersebut karena proses pengolahan nuklir menjadi listrik disebut tidak mengeluarkan gas rumah kaca.
Melansir Energy Portal, tenaga nuklir diolah dengan memanfaatkan reaksi nuklir untuk menghasilkan listrik yang melibatkan pemanfaatan energi yang dilepaskan dari pembelahan atom dalam proses yang disebut fisi nuklir. Proses tersebut menghasilkan sejumlah besar energi dan tidak mengeluarkan emisi karbon sehingga dianggap menjadi pilihan yang menarik untuk memerangi perubahan iklim.
- Tito Ancam Copot Kepala Daerah yang Gagal Tangani Inflasi
- Salah Satu Kapal Tercanggih Rusia Kembali Jadi Korban Perang
- Fokus ke UMKM, Jasa Marga Luncurkan Panduan Baru Pengadaan Barang dan Jasa
Namun, biaya pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) dengan kapasitas 1.000 MegaWatt (MW) diperkirakan memerlukan biaya yang sangat besar. Energy Portal menyebutkan biaya rata-rata pembangunan PLTN berkapasitas 1.000 MW berada di antara US$5 miliar atau sekitar Rp77,73 triliun (kurs Rp15.547) hingga US$10 miliar (Rp155,46 triliun). Namun, angka tersebut dapat lebih tinggi atau lebih rendah tergantung sejumlah faktor termasuk lokasi, desain konstruksi, regulasi yang berlaku, dan teknologi yang digunakan.
Angka tersebut hanya biaya dari pembangunan bangunan PLTN saja yang biasanya terdiri dari reaktor nuklir, yang menghasilkan panas melalui fisi nuklir terkendali, dan turbin uap, yang mengubah panas menjadi energi listrik dan tidak termasuk biaya lain seperti pembebasan lahan, perizinan, dan dekomisioning. Selain itu, biaya bahan bakar, pengoperasian, dan pemeliharaan selama umur pembangkit juga belum masuk dalam hitungan tersebut.
Angka tersebut diperkirakan akan terus mengalami penurunan seiring dengan kemajuan teknologi dan skala ekonomi.
Dilihat dari sisi pegawai, rata-rata gaji untuk pegawai bekerja di PLTN yang harus disediakan juga cukup tinggi. Melansir Indeed, situs lowongan kerja yang juga menyediakan informasi rata-rata gaji di setiap sektor, teknisi nuklir di Amerika Serikat tercatat sebesar US$8.184 (Rp127,23 juta). Rata-rata gaji terendahnya pun masih berada di kisaran US$5.338 (Rp82,99 juta). Tentu hal tersebut juga harus diperhatikan agar tidak memberikan gaji di bawah standar dengan keilmuan dan keahlian yang dimiliki pegawai.
Risiko PLTN
Walau dianggap ramah lingkungan karena tidak menghasilkan gas rumah kaca selama prosesnya, namun PLTN menghasilkan limbah nuklir yang berbahaya. Limbah nuklir sendiri mengacu pada bahan radioaktif yang dihasilkan selama pengoperasian pembangkit listrik tenaga nuklir atau selama pemrosesan ulang bahan bakar nuklir bekas.
Limbah nuklir mengandung bahan radioaktif tinggi yang tetap berbahaya walau sudah ribuan tahun. Paparan bahan-bahan ini dapat menimbulkan dampak kesehatan yang parah termasuk meningkatkan risiko kanker dan mutasi genetik.
Oleh karena itu, sangat penting untuk mengolah dan menyimpan limbah nuklir dengan benar untuk mencegah potensi bahaya terhadap manusia dan lingkungan.
Untuk mengurangi risiko bahaya tersebut, limbah nuklir sering kali disimpan dalam wadah yang dirancang khusus dan ditempatkan di fasilitas aman jauh di bawah tanah. Metode yang disebut sebagai deep geological disposal ini bertujuan untuk mengisolasi limbah dari lingkungan untuk meminimalisasi risiko kontaminasi.