<p>ilustrasi</p>
Nasional

Menimbang Kesiapan Indonesia Membangun Kawasan Silicon Valley Bukit Algoritma

  • Program Director Esther Sri Astuti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mengatakan Indonesia belum siap untuk membangun proyek Silicon Valley Bukit Algoritma di Sukabumi, Jawa Barat.

Nasional
Muhamad Arfan Septiawan

Muhamad Arfan Septiawan

Author

JAKARTA – Program Director Esther Sri Astuti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mengatakan Indonesia belum siap untuk membangun proyek Silicon Valley Bukit Algoritma di Sukabumi, Jawa Barat.

“Dari segi infrastruktur mau pun kesiapan inovasi Indonesia ini masih belum siap,” kata Esther dalam diskusi virtual, Kamis 15 April 2021.

Menurut data World Economic Forum, nilai kapasitas inovasi dan kesiapan teknologi Indonesia masih rendah. Pada 2017, nilai kapasitas Indonesia dan kesiapan teknologi Indonesia berada di posisi 4,8.

Global Innovation index yang dirilis oleh World Intellectual Property menempatkan Indonesia pada posisi ke 85 dari 131 negara. Posisi Indonesia jauh tertinggal dari negara tetangga seperti Thailand dan Malaysia yang masing-masing berada di posisi 44 dan 35.

Indeks inovasi global ini mengukur kesiapan suatu negara dari aspek infrastruktur fisik, teknologi informasi dan komunikasi, serta keberlanjutan ekologis inovasi.

“Rendahnya inovasi yang ada di Indonesia memicu pemerintah untuk membangun Silicon Valley di Indonesia. Padahal kita masih kalah dari segi inovasi dari negara tetangga” ujar Esther.

Kompetensi SDM Dipertanyakan

Pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Bukit Algoritma, kata Esther, memang dapat membuka lebih banyak kesempatan kerja. Namun, Esther melihat kompetensi Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia masih kurang kompetitif dalam menjalankan kawasan high tech zone ini.

“Memang akan banyak membuka lapangan pekerjaan. Tapi lapangan pekerjaan yang ada di sini harus match dengan pasar di kawasan ekonomi khusus ini,” kata Esther.

Senada, Kepala Center of Innovation and Digital Economy Nailul Huda juga menyatakan sumber daya manusia Indonesia belum cukup mumpuni untuk masuk ke dalam industri 4.0. Hal ini, kata Huda nampak dari adanya digital divide atau ketimpangan digital yang masih tinggi di Indonesia.

United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) dalam risetnya mengungkapkan proporsi penduduk Indonesia yang mampu mengoperasikan komputer secara andal masih sangat rendah. 

Penduduk Indonesia yang ahli dalam pemrograman komputer masih 3,5% dari penduduk muda dan dewasa. Angka itu jauh lebih rendah dibandingkan Malaysia dan Singapura yang telah mencapai 8,2% dan 7,1% dari total penduduk muda dan dewasa.

“Kalau kita lihat, pengoperasian komputer yang advanced ini merupakan hal dasar menghidupan industri 4.0,” tutur Huda.

Ekosistem Riset Minim Dukungan

Huda menilai keputusan pemerintah untuk membangun Bukit Algoritma sangat tergesa-gesa. Dia melihat itu dari ekosistem Research and Development (R&D) Indonesia yang masih minim dukungan.

Untuk diketahui, proporsi dana R&D di Indonesia masih sebesar 0,24% dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Minimnya dana R&D, sambung Huda, menjadi penyebab dari rendahnya ekspor manufaktur high tech Indonesia.

 Menurut data Bank Dunia pada 2021, ekspor manufaktur high tech di Indonesia baru mencapai 8,50% dari keseluruhan ekspor manufaktur. Lagi-lagi, Indonesia tertinggal dari Malaysia, Vietnam, serta Thailand yang ekspor high tech nya sudah menyentuh angka 51,85%, 40,44%, dan 23,61%.

“Untuk membangun tempat yang dipenuhi teknologi, perlu dukungan industri high tech. Kalau nanti yang masuk (ke Bukit Algoritma) itu tidak high tech, sama aja bohong,” terang Huda.