Menjadi Negara Industri Boleh, Potensi Alam Dilupakan Jangan
- Indonesia giat mengejar status negara industri. Padahal banyak potensi kekayaan alam yang terabaikan.
Kolom
Sebelum krisis moneter menerpa 27 tahun lampau, perekonomian Indonesia dikagumi oleh dunia internasional. Rata-rata angka pertumbuhan yang mencapai 7 persen membuat para pemimpin dunia angkat topi atas keberhasilan Presiden Soeharto. Sebagai negeri agraris Indonesia pun berambisi menjadi negara industri. Jenderal bintang lima itu berhasil meningkatkan peranan industri dari 8,9 persen (1973) menjadi 25,6 persen (1996).
Tak heran jika banyak ahli ekonomi yang begitu yakin Indonesia harus segera meninggalkan status sebagai negeri agraris yang mengandalkan hasil pertanian. Seorang pakar ekonomi dalam sebuah diskusi tertutup bahkan berani bertanya begini kepada para hadirin,”Siapa di sini yang lulusan IPB (Institut Pertanian Bogor)?” Beberapa peserta mengangkat jari, yang langsung disambut dengan ucapan tak sedap dari si pakar. “Nah ilmu kalian sekarang sudah tak berguna, sekarang kita sudah menuju menjadi negara industri.”
Setelah melalui kepemimpinan lima presiden, penegasan Indonesia bergerak menuju negara industri kembali diapungkan. Dalam sambutannnya di sela peresmian pabrik anoda baterai litium PT Indonesia BTR New Energy Material di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan. Kamis pekan lalu (8/8) menyampaikan pujiannya untuk Presiden Joko Widodo. Ia berpendapat, presiden telah meletakkan landasan untuk Indonesia menjadi negara industri.
Sah-sah saja Luhut mengutarakan pujiannya terhadap Jokowi. Pada umumnya para ekonom memang sepakat tak ada jalan lebih cepat dari industrialisasi menuju negara berpendapatan tinggi dan maju. Lihat saja pencapaian Korea Selatan, Taiwan dan Singapura. Korea Selatan pada tahun 2023 memiliki PDB per kapita US$36.194, Taiwan US$32.756 , Singapura US$84.714, sedangkan Indonesia US$4.783.
Getol Ekspor Beras Lahirkan Koruptor Baru
Namun hendaknya pemerintah tak menyia-nyiakan potensi kekayaan alam lainnya yang terdiri dari pertanian, perkebunan dan hasil laut. Bagaimana mungkin negara yang memiliki sawah jutaan hektar saban tahun harus menghamburkan uang puluhan triliun untuk mengimpor beras. Tahun lalu impor beras yang mencapai 3,5 juta ton menyedot dana Rp30 triliun. Akan halnya tahun 2024 yang berpotensi mengimpor 5,71 juta ton siap mencatat rekor baru.
Besarnya angka impor beras tak lepas dari alih fungsi lahan sawah yang terus terjadi. Ini tampak dari luas lahan panen padi nasional yang konsisten menurun dalam enam tahun terakhir. Bila pada 2018 luas lahan panen padi di Indonesia masih mencapai 11,38 juta hektar, pada 2023 hanya tersisa 10,21 juta hektar.
Luas lahan panen padi yang turun secara konsisten mengindikasikan bahwa ada sawah yang secara permanen tidak lagi menghasilkan panen karena mengalami alih fungsi lahan. Sawah pada umumnya beralih fungsi menjadi jalan umum, komplek perumahan hingga kawasan industri.
Saking getolnya pemerintah mengimpor beras, bukan hal yang aneh jika belakangan muncul isu korupsi di Badan Pangan Nasional (Bapanas) dan Badan Urusan Logistik (Bulog). Bapanas dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi untuk dugaan penggelembungan harga, sedangkan Bulog terkait masalah tertahannya beras di Tanjung Priok. Kedua perkara ditaksir menguapkan uang rakyat sebesar Rp2 triliun.
Di Sektor Hortikultura Thailand Menang Banyak
Demikian halnya di sektor perkebunan. Perhatian pemerintah hanya tertuju pada perkebunan kelapa sawit yang sangat tidak bersahabat dengan lingkungan. Sedangkan terhadap pengembangan potensi buah-buahan lokal terkesan sangat kurang. Dibandingkan para tetangga kita seperti Thailand yang getol mengekspor produk buah-buahannya serta Malaysia yang kondang akan durian musang king, petani buah-buahan lokal kurang mendapat dukungan pemerintah dalam memasarkan produknya.
Pemerintah Thailand sangat mendukung pertanian. Di tempat-tempat umum yang padat wisatawan mereka gencar menyajikan buah lokal. Negeri Gajah Putih juga memiliki kawasan penataan khusus buah dan sayur.
Siam sebagai salah satu eksportir dan buah-buahan terbesar di dunia memiliki keunggulan sebagai penghasil teratas buah-buahan segar, seperti lengkeng, durian, manggis, leci, mangga, rambutan. Nanas, sebagai salah satu komoditi ekspornya di bidang hortikultura memenuhi 54% dari permintaan dunia. Komoditi agrikultural Negeri Siam diperkirakan berkontribusi sebesar 6 persen terhadap total ekspor di semester I tahun ini.
Akan halnya Indonesia, produksi buah-buahan segar dan buah olahannya masih tergantung musim panen. Petani belum mampu memanen buah-buahan sepanjang tahun, pantas jika di kios-kios buah-buahan saat ini lebih banyak dijumpai buah impor ketimbang produk domestik.
Sesungguhnya negeri kita yang punya lahan pertanian dua kali lebih luas dibandingkan Thailand bisa lebih unggul di sektor hortikultura.
Setali tiga uang sektor perikanan. Kendati memiliki potensi senilai Rp300 triliun per tahun, nyatanya para nelayan kita tak berdaya menghadapi persaingan dengan nelayan asing yang bebas berkeliaran mencuri ikan di perairan kita.
Hingga kini praktik illegal fishing masih marak di perairan Nusantara. Kerugian akibat pencurian ikan diperkirakan mencapai Rp48 triliun per tahun.
Jangan salah, waktu krisis moneter yang berkembang menjadi multidimensi merebak hampir tiga dekade lampau sektor pertanian dan perkebunan justru mampu unjuk gigi. Di saat banyak perusahaan yang berkecimpung di sektor industri –padat komponen impor--gulung tikar, sektor agroindustri mampu mencapai tingkatan kompetitif di pasar dunia karena depresiasi nilai rupiah. Selah satu komoditi unggulan adalah coklat. Sebagai salah satu penghasil coklat terbesar di dunia, Indonesia mengekspor hampir 80 persen hasil panennnya setiap tahun ke negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris dan Jerman.
Bukan isapan jempol jika di zaman pagebluk kala itu banyak petani coklat menjadi OKB alias orang kaya. Pemandangan anak petani yang datang ke diler kendaraan dengan membawa sekarung hasil bumi lantas pulang ke rumahnya di kampung dengan sepeda motor anyar menjadi kisah yang lumrah.