<p>Ilustrasi: Rumah tapak milik emiten properti PT Intiland Development Tbk (DILD) / Intiland.com</p>
Industri

Menkeu: Sektor Properti Berdampak Besar Bagi Perekonomian

  • Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan sektor perumahan pun memiliki multiplier effect dan mampu menyerap tenaga kerja yang signifikan.

Industri

wahyudatun nisa

JAKARTA – Sektor perumahan dinilai memiliki dampak yang besar bagi perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi sektor tersebut terhadap produk domestik bruto (PDB).

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan sektor perumahan pun memiliki multiplier effect dan mampu menyerap tenaga kerja yang signifikan.

“Pengeluaran rumah tangga dari sektor ini akan bisa menambahkan peningkatan PDB sebesar 0,6 hingga 1,4 persen dan bisa menyerap tenaga kerja di sektor perumahan sebanyak 4,23 juta orang,” ujarnya, Kamis, 15 Oktober 2020.

Dengan demikian, kata Menkeu, setiap pembiayaan yang dilakukan pada sektor perumahan memiliki dampak besar bagi ekonomi Indonesia. Setiap input di sektor tersebut berpotensi menunjang perekonomian sektor lainnya.

Misalnya, sektor perdagangan, jasa real estate, perdagangan mobil dan motor, pendidikan, serta perkembangan jasa ataupun industri lainnya.

“Sesuai dengan target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), maka sektor perumahan akan ditingkatkan kontribusinya terhadap PDB kita dari 2,9 persen menjadi 4 persen,” tuturnya.

Untuk itu, perlu adanya sinergi dan kerja sama seluruh pelaku usaha dan pemangku kepentingan di sektor perumahan. Sehingga sektor ini dapat bergerak diiringi dengan peningkatan nilai tambah.

Backlog Perumahan

Kendati demikian, menurut Sri Mulyani terdapat sejumlah permasalahan di dalam sektor perumahan. Menurut data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, jumlah backlog perumahan mencapai 7,6 juta unit pada awal 2020. Sebagian besar merupakan kebutuhan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).

Backlog ini merupakan suatu kebutuhan untuk memenuhi perhitungan ideal, bahwa satu rumah ditempati satu rumah tangga atau keluarga. “Terkait permasalahan ini kita masih melihat kebutuhan rumah baru yang meningkat sekitar 800.000 unit per tahunnya,” ujarnya.

Tak hanya itu, sektor perumahan di Tanah Air juga memiliki permasalahan terkait keterjangkauan harga dan daya beli masyarakat. Perencanaan tata ruang juga manjadi kendala lainnya. Pasalnya, perumahan dan permukiman semakin jauh dari pusat kota.

Menurutnya tanpa infrastruktur yang memadai, masyarakat tentu akan terbebani dengan tempat tinggal yang jauh dari lokasi bekerja.

Dari sisi urban planning, tata ruang yang meluas dalam bentuk urban sprawl pasti akan menciptakan kondisi ekosistem yang juga sangat tidak efisien, termasuk emisi kabondioksida yang meningkat.

Sementara permasalahan di sektor konstruksi perumahan ada pada standar keandalan bangunan. Hal ini tidak hanya berhubungan dengan kualitas hidup masyarakat, namun juga dengan keselamatan mereka. Apalagi, Indonesia meruapakan negara rawan bencana.

“Dari aspek kelayakan di mana 41,7 persen masyarakat atau rumah tangga menempati hunian yang hanya memiliki satu aspek kelayakan dan sebagian di antaranya bahkan menempati pemukiman yang kumuh,” tuturnya. (SKO)