<p>Logo Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) / Twitter @KPK_RI</p>
Nasional

Menteri Edhy Prabowo Jadi Tersangka Kasus Suap, Begini Tanggapan Para Pegiat Lingkungan

  • Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah resmi menetapkan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo sebagai tersangka dugaan suap ekspor benih lobster pada Rabu 25 November 2020 dini hari.

Nasional
Drean Muhyil Ihsan

Drean Muhyil Ihsan

Author

JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah resmi menetapkan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo sebagai tersangka dugaan suap ekspor benih lobster pada Rabu 25 November 2020 dini hari.

Selain Edhy, ada enam orang lainnya yang turut ditetapkan sebagai tersangka, satu di antaranya adalah pemberi suap. Mereka adalah Staf Khusus Menteri Edhy Prabowo, Safri Muis; pengurus PT Aero Citra Kargo, Siswadi; staf istri Menteri KP, Ainul Faqih; Amiril Mukminin; Stafsus Edhy, Andreau Pribadi Misanta; dan Direktur PT Dua Putra Perkasa, Suharjito.

Berdasarkan laporan KPK, Edhy Prabowo menerima suap dari Direktur PT Dua Putra Perkasa Pratama, Suharjito.

Tujuannya agar perusahaan Suharjito ditetapkan sebagai eksportir benih lobster melalui ekspedisi, PT Aero Citra Kargo (PT ACK). 

Perusahaan ini merupakan satu-satunya forwarder ekspor benih lobster yang sudah disepakati dan dapat restu dari Edhy Prabowo sebagai Menteri KKP.

Untuk itu, sejumlah perusahaan eksportir benih lobster harus menggunakan jasa PT ACK dengan tarif Rp1.800 per benih. 

Perusahaan-perusahaan yang berminat kemudian mentransfer uang kepada PT ACK dengan total Rp9,8 miliar. Uang tersebutlah yang diduga kuat, dijadikan dana untuk menyuap Edhy Prabowo.

Berdasarkan temuan KPK, Edhy menerima Rp3,4 miliar dari PT ACK beserta US$100.000 atau setara Rp1,41 miliar (asumsi kurs Rp14.100 per dolar AS) dari Suharjito. Sehingga, total yang Edhy terima sebesar Rp4,8 miliar.

Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo / Dok. KKP
Desak KPK Usut Tuntas

Menanggapi hal tersebut, organisasi non-pemerintah Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mengapresiasi langkah cepat yang diambil oleh KPK dalam merespons kasus ini.

Sekretaris Jenderal Kiara, Susan Herawati menyebutkan bahwa pemberian izin ekspor benih lobster sangat bermasalah sejak dari awal, khususnya ketiadaan transparansi dan akuntabilitas.

Susan menyebut Ombudsman Republik Indonesia (ORI) pernah mengingatkan dalam kebijakan pemberian izin ekspor lobster ini terdapat banyak potensi kecurangan.

ORI menyebut bahwa izin ekspor benih lobster itu bertentangan dengan konstitusi. “Sayangnya, Edhy Prabowo tidak mendengarkan penilaian tersebut,” ujarnya kepada awak media di Jakarta, Kamis 26 November 2020.

Ia juga mendesak KPK untuk melakukan penyelidikan dan pengusutan lebih dalam kepada sejumlah perusahaan yang telah melakukan ekspor benih lobster berdasarkan izin yang telah diberikan oleh Edhy Prabowo.

Setidaknya, telah ada sembilan perusahaan yang sudah melakukan ekspor benih lobster per Juli 2020, yaitu CV Setia Widara, UD Samudera Jaya, CV Nusantara Berseri, PT Aquatic SSLautan Rejeki, PT Royal Samudera Nusantara, PT Indotama Putra Wahana, PT Tania Asia Marina, PT Indotama Putra Wahana, dan PT Nusa Tenggara budidaya.

“Jika kesembilan perusahaan praktik gratifikasi dengan nominal yang sama kepada Edhy, maka setidaknya Edhy telah menerima uang lebih dari sepuluh miliar rupiah,” tutup Susan. 

Bibit lobster / Foto: Litbang Kemendagri
Syarat Kepentingan

Senada dengan Kiara, organisasi lingkungan tertua dalam negeri, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia alias Walhi menyatakan bahwa dugaan aturan ekspor benur syarat kepentingan.

Hal ini terbukti dengan ditangkapnya menteri yang juga menjabat Wakil Ketua Umum Partai Gerindra tersebut.

Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Nur Hidayati menuturkan bahwa penolakan aturan ekspor benih lobster telah ramai dilakukan berbagai pihak. Namun, kata dia, Menteri Edhy mengabaikan protes tersebut.

“Edhy Prabowo bisa terindikasi menjadi bagian dari oligarki yang selama ini meraup keuntungan besar dari ekspor benur tersebut, ujung-ujungnya yang dikorbankan adalah sumber daya alam di Indonesia,” imbuhnya melalui keterangan resmi yang diterima TrenAsia.com, Kamis 26 November 2020.

Nur menilai, adanya kasus operasi tangkap tangan (OTT) Edhy Prabowo juga menjadi preseden buruk bagi kinerja kabinet Joko Widodo (Jokowi). Kasus ini, sambungnya, turut menjadi bukti bahwa kebijakan yang dibuat secara brutal dan ugal-ugalan, syarat akan kepentingan.

Bahkan ia menyebut, rantai penguasaan para oligarki sudah masuk sampai ke internal kementerian dan bisa menjerat seorang menteri dan tidak menutup kemungkinan akan muncul jeratan ke menteri-menteri lainnya. (SKO)